Abul Faiz Tuban bin Ibrahim al Mishri, yang dijuluki Dzun Nun, lahir di kota Ekhmin yang terletak di pedalaman Mesir, sekitar tahun 180 H/796 M. banyak guru-guru yang telah diikuti oleh Dzun Nun dan banyak pengembaraan yang telah dilakukannya di negeri Arab dan Syria. Pada tahun 214 H/829 M, Dzun Nun ditangkap dengan tuduhan bid’ah dan dikirim ke kota Baghdad untuk dipenjarakan di sana. Setelah diadili, khalifah memerintahkan agar ia dibebaskan dan dikembalikan ke Kairo. Di kota ini ia meninggal tahun 246 H/861 M. makam Dzun Nun sampai kini masih terpelihara dengan baik. Secara legendaris ia dianggap sebagai seorang ahli kimia yang mempunyai kekuatan-kekuatan ghaib dan telah mengetahui rahasia tulisan Heroglif Mesir. Serangkaian syair dan risalah diduga sebagai karya-karyanya, tetapi kebanyakannya masih diragukan.
Dzun Nun si Orang Mesir dan Kisah Pertaubatannya
Mengenai pertaubatan Dzun Nun si orang Mesir dikisahkannya sebagai berikut:
Suatu hari aku mendengar bahwa di suatu tempat berdiam seorang pertapa, maka pergilah aku ke pertapaan itu. Sesampainya di sana kudapati si pertapa sedang bergantung pada sebatang pohon dan berseru kepada dirinya sendiri, “Wahai tubuh, bantulah aku dalam menaati perintah Allah. Kalau tidak, akan kubiarkan engkau tergantung seperti ini sampai engkau mati kelaparan.”
Menyaksikan hal itu aku tak dapat menahan tangis sehingga tangisku terdengar oleh si pertapa pengabdi Allah itu. Maka bertanyalah ia, “Siapakah itu yang telah menaruh belas kasihan kepada diriku yang tidak mempunyai malu dan banyak berbuat aniaya ini?”
Aku menghampirinya dan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian aku bertanya, “Mengapakah engkau berbuat seperti ini?”
”Tubuhku ini telah menghalang-halangiku untuk mentaati perintah Allah,” jawabnya. “Tubuhku ini ingin bercengkerama dengan manusia-manusia lain.”
Tadi aku mengira bahwa ia telah menumpahkan darah seorang Muslim atau melakukan dosa besar semacam itu.
Si pertapa melanjutkan, “Tidakkah engkau menyadari bahwa begitu engkau bergaul dengan manusia-manusia ramai, maka segala sesuatu dapat terjadi?”
“Engkau benar-benar seorang pertapa yang kukuh!” kataku kepadanya.
“Maukah engkau menemui seorang pertapa yang lebih dari aku?” tanyanya kepadaku.
“Ya,” jawabku.
“Pergilah ke gunung yang berada di sana itu. Di situlah engkau akan menemuinya,” si pertapa menjelaskan.
Maka pergilah aku ke gunung yang ditunjukkannya. Di sana kujumpai seoramg pemuda yang sedang duduk di dalam sebuah pertapaan. Sebuah kakinya telah terputung putus dan dilemparkan keluar, cacing-cacing sedang menggerogotinya. Aku menghampirinya lalu mengucapkan salam, kemudian kutanyakan perihal dirinya.
Si pertapa berkisah kepadaku: “Suatu hari ketika aku sedang duduk di dalam pertapaan ini, seorang wanita kebetulan lewat di tempat ini. Hatiku bergetar menginginkannya dan jasmaniku mendorongku agar mengejarnya. Ketika sebuah kakiku telah melangkah keluar dari pertapaan ini terdengarlah olehku sebuah seruan: “Setelah mengabdi dan menaati Allah selama tiga puluh tahun, tidakkah engkau merasa malu untuk mengikuti syetan dan mengejar seorang wanita lacur?” Karena menyesal kupotonglah kakiku yang telah kulangkahkan itu. Kini aku duduk menantikan apa yang akan terjadi menimpa diriku. Tetapi apakah yang telah mendorong dirimu untuk menemui orang berdosa seperti aku ini? Jika engkau ingin menjumpai seorang hamba Allah yang sejati, pergilah ke puncak gunung ini.”
Puncak gunung itu terlampau tinggi untuk kudaki. Oleh karena itu aku hanya dapat bertanya-tanya tentang dirinya.
Seseorang mengisahkan kepadaku, “Memang ada seorang lelaki yang sudah sangat lama mengabdi kepada Allah di dalam pertapaan di puncak gunung itu. Pada suatu hari seseorang mengunjunginya dan berbantah-bantah dengannya. Orang itu berkata bahwa setiap manusia harus mencari makanannya sendiri sehari-hari. Si pertapa kemudian bersumpah tidak akan memakan makanan yang telah diusahakan. Berhari-hari lamanya ia tidak makan sesuatu pun. Tetapi akhirnya Allah mengutus sekawanan lebah yang melayang-layang mengelilinginya kemudian memberikan madu kepadanya.”
Segala sesuatu yang telah kusaksikan dan segala kisah yang telah kudengar itu sangat menyentuh hatiku. Sadarlah aku bahwa barangsiapa memasrahkan diri kepada Allah, niscaya Allah akan kian memeliharanya dan tidak akan menyia-nyiakan penderitaannya. Di dalam perjalanan menuruni gunung itu aku melihat seekor burung yang sedang bertengger di atas pohon. Tubuhnya kecil dan setelah kuamati ternyata matanya buta. Aku lantas berkata dalam hati, “Dari manakah makhluk lemah yang tak berdaya ini memperoleh makanan dan minumannya?”
Seketika itu juga si burung melompat turun. Dengan mematukkan paruhnya, dicungkilnya tanah dan tidak berapa lama kemudian terlihatlah olehku dua buah cawan. Yang sebuah dari emas dan penuh biji gandum, sedang yang lainnya dari perak dan penuh dengan air mawar. Setelah makan sepuasnya, burung itu meloncat kembali ke atas dahan sedang cawan-cawan tadi hilang kembali tertimbun tanah. Dzun Nun sangat heran menyaksikan keanehan itu. Sejak saat itulah ia mempercayakan jiwa-raganya dan benar-benar bertaubat kepada Allah.
Setelah beberapa lama berjalan, Dzun Nun dan para sahabatnya sampai di sebuah padang pasir. Di sana mereka menemukan sebuah guci berisi kepingan-kepingan emas dan batu permata dan di atas tutupnya terdapat sebuah papan yang bertuliskan nama Allah. Sahabat-sahabatnya membagi-bagi emas dan permata- permata itu di antara sesama mereka sedang Dzun Nun hanya meminta: “Berikanlah kepadaku papan yang bertuliskan nama Sahabatku itu!”
Papan itu diterimanya, siang malam diciuminya. Berkat papan itu ia memperoleh kemajuan yang sedemikian pesatnya sehingga pada suatu malam ia bermimpi. Dalam mimpi itu ia mendengar suara yang berseru kepadanya, “Semua sahabat-sahabatmu lebih suka memilih emas dan permata karena benda-benda itu mahal harganya. Tetapi engkau telah memilih nama-Ku yang lebih berharga daripada emas dan permata. Oleh karena itu Aku bukakan untukmu pintu pengetahuan dan kebijaksanaan.”
Setelah itu Dzun Nun kembali ke kota. Kisahnya berlanjut pula sebagai berikut ini:
Suatu hari aku berjalan-jalan sampai ke tepian sebuah sungai, di situ kulihat sebuah villa. Di sungai itu aku bersuci, setelah selesai, tanpa sengaja aku memandang ke loteng villa itu. Di atas balkon sedang berdiri seorang dara jelita. Karena ingin mempertegasnya aku pun bertanya, “Upik, siapakah engkau ini?”
Si Dara menjawab, “Dzun Nun, dari kejauhan kukira engkau seorang gila, ketika agak dekat kukira engkau seorang terpelajar. Dan ketika sudah dekat kukira engkau seorang mistikus. Tetapi kini jelas bagiku bahwa engkau bukan gila, bukan seorang terpelajar dan bukan pula seorang mistikus.”
Aku bertanya, “mengapakah engkau berkata demikian?”
Si dara menjawab, “Seandainya engkau gila, niscaya engkau tidak bersuci. Seandainya engkau terpelajar niscaya engkau tidak memandang yang tak boleh dipandang. Dan seandainya engkau seorang mistikus pasti engkau tidak akan memandang sesuatu pun juga selain dari Allah.”
Setelah berkata demikian dara itu pun hilang. Sadarlah aku bahwa ia bukan manusia biasa. Sesungguhnya ia telah diutus Allah untuk memberi peringatan kepada diriku. Api sesal membakar hatiku. Maka aku teruskan pengembaraanku kearah pantai.
Sesampainya di pantai, aku melihat orang-orang sedang naik ke atas sebuah kapal. Aku pun berbuat seperti mereka. Beberapa lama berlalu, seorang saudagar yang menumpang kapal itu kehilangan permata miliknya. Satu persatu para penumpang digeledah. Akhirnya mereka menarik kesimpulan bahwa permata itu ada di tanganku. Berulangkali mereka menyiksa dan memperlakukan diriku sedemikian hinanya, tetapi aku tetap membisu. Akhirnya aku tak tahan lagi lalu berseru, “Wahai Sang Pencipta, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Tahu!” Seketika itu juga beribu-ribu ekor ikan mendongakkan kepala ke atas permukaan air dan masing-masing membawa sebuah permata di mulutnya.
Aku mengambilnya sebuah dan memberikannya kepada si saudagar. Menyaksikan keajaiban ini semua orang yang berada di atas kapal berlutut dan meminta maaf padanya. Karena peristiwa inilah aku dijuluki Dzun Nun (manusia ikan).
Dzun Nun Ditangkap dan Dibawa Ke Kota Baghdad
Dzun Nun telah mencapai tingkat keluhuran yang tinggi tetapi tak seorang pun menyadari ini. Orang-orang di negeri Mesir bahkan sepakat mencap dirinya bid’ah dan melaporkan segala perbuatannya kepada khalifah al Mutawakkil. Mutawakkil segera mengirim para perwiranya untuk membawa Dzun Nun ke kota Baghdad. Ketika memasuki istana khalifah, Dzun Nun berkata, “Baru saja kupelajari Islam yang sebenarnya dari seorang wanita tua dan sikap satria tulen dari seorang kuli pemikul air.”
“Bagaimana?” Tanya mereka kepadanya.
Dzun Nun menjawab, “Sesampainya di istana khalifah dan menyaksikan kemegahan istana dengan para pengurus dan pelayan yang hilir mudik di koridor-koridornya, aku berpikir alangkah baiknya seandainya terjadi sedikit perubahan pada wajahku ini. Tiba-tiba seorang wanita tua dengan sebuah tongkat di tangannya menghampiriku. Sambil menatapku dengan tajam ia berkata kepadaku, “Jangan engkau takuti jasad-jasad yang akan engkau hadapi, karena mereka dan engkau adalah sama-sama hamba Allah Yang Maha Besar. Kecuali apabila dikehendaki Allah, mereka tidak dapat berbuat sesuatu pun terhadapmu,”
“Di tengah perjalanan tadi aku bertemu dengan seorang pemikul air. Aku diberinya seteguk air yang menyegarkan. Kepada seorang teman yang menyertaiku aku memberi isyarat agar ia memberikan sekeping uang dinar kepadanya. Tetapi si pemikul air menolak, tidak mau menerima uang itu dan berkata kepadaku, “Engkau adalah seorang yang terpenjara dan terbelenggu. Bukanlah suatu kekesatriaan yang sejati apabila menerima sesuatu dari seseorang yang terpenjara seperti engkau ini, seorang asing yang sedang terbelenggu,”
Setelah itu, diperintahkan supaya Dzun Nun dijebloskan ke dalam penjara. Empat puluh hari empat puluh malam lamanya ia mendekam dalam kurungan itu. Setiap hari saudara perempuannya mengantarkan sekerat roti yang telah dibelinya dengan upah dari pekerjaan memintal benang. Ketika Dzun Nun dibebaskan, ditemukan empat puluh potong roti di kamar kurungannya dan tak satu pun di antara roti-roti itu yang telah disentuhnya. Ketika saudara perempuan Dzun Nun mendengar hal ini, ia menjadi sangat sedih.
“Engkau tahu bahwa roti-roti itu adalah halal dan tidak kuperoleh dengan jalan meminta-minta. Mengapa engkau tidak mau memakan roti-roti pemberianku itu?”
“Karena pinggannya tidak bersih,“ jawab Dzun Nun. Yang dimaksudkannya adalah bahwa pinggan itu telah terpegang oleh penjaga penjara.
Ketika keluar dari penjara itu, Dzun Nun tergelincir dan dahinya terluka. Diriwayatkan bahwa lukanya itu banyak mengeluarkan darah tetapi tak setetes pun mengotori muka, rambut maupun pakaiannya. Setiap tetes darah yang terjatuh ke tanah, seketika itu juga lenyap dengan izin Allah.
Kemudian Dzun Nun dibawa menghadap khalifah. Ia diharuskan menjawab tuduhan-tuduhan yang memberatkan dirinya. Maka dijelaskannyalah doktrin-doktrinnya sedemikian rupa sehingga Mutawakkil menangis tersedu-sedu sedang menteri-menterinya terpesona mendengar kefasihan Dzun Nun. Khalifah menganugerahinya dengan kehormatan yang besar.
Dzun Nun Dan Seorang Murid Yang Saleh
Dzun Nun mempunyai seorang murid yang telah bertapa selama empat puluh kali, masing-masing selama empat puluh hari. Empat puluh kali ia telah berdiri di Padang Arafah dan selama empat puluh tahun ia telah mengendalikan hawa nafsunya. Suatu hari si murid datang menghadap Dzun Nun dan berkata, “Semua itu telah kulakukan. Tetapi untuk semua jerih payahku Sang Sahabat tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun dan tidak pernah memandang diriku. Dia tidak memperdulikanku dan tak mau memperlihatkan keghaiban-keghaiban-Nya padaku. Semua itu kukatakan bukan untuk memuji diriku sendiri, aku semata-mata menyatakan hal yang sebenarnya. Aku telah melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan oleh diriku yang malang ini. Aku tidak mengeluh kepada Allah. Aku hanya menyatakan hal sebenarnya bahwa aku telah mengabdikan jiwa ragaku untuk berbakti kepada-Nya. Aku hanya menyampaikan kisah sedih dari nasibku yang malang ini, kisah ketidakberuntungan diriku ini. Semua itu kukemukakan bukan karena hatiku telah jemu untuk mematuhi Allah. Aku kuatir jika masa-masa mendatang aku mengalami hal yang sama. Seumur hidup aku telah mengetuk dengan penuh harap, namun tak ada jawaban. Sangat besar bagiku untuk lebih lama menanggungkan. Karena engkau adalah tabib bagi orang-orang yang sedang berduka dan penasehat tertinggi bagi orang-orang suci, sembuhkanlah duka citaku ini.”
“Malam ini makanlah sepuas-puasnya,” kata Dzun Nun menasehati. “Tinggalkanlah shalat ‘Isya dan tidurlah dengan nyenyak sepanjang malam. Dengan demikian jika Sang Sahabat selama ini tidak memperhatikan diri-Nya dengan kebajikan, maka setidak-tidaknya Dia akan memperlihatkan diri-Nya dengan penyesalan terhadapmu.
Jika selama ini Dia tidak mau memandangmu dengan kasih sayang maka Dia akan memandangmu dengan kemurkaan.”
Si murid pun pergi dan pada malam itu ia makan sepuas-puasnya. Tetapi untuk melalaikan shalat ‘Isya hatinya tidak mengizinkan. Ia tetap melakukan shalat dan setelah itu ia pun tidur. Malam itu di dalam mimpinya ia bertemu dengan Nabi dan berkata kepadanya, “Sahabatmu mengucapkan salam kepadamu. Dia berkata, ‘Hanya seorang malang yang lemah serta bukan manusia sejatilah yang datang ke hadirat-Ku dan cepat merasa puas. Inti permasalahan adalah hidup lurus tanpa keluhan,’ Allah yang Maha Besar menyatakan, ‘Telah Kuberikan empat puluh tahun keinginan kepada hatimu dan Aku jamin bahwa engkau akan memperoleh segala sesuatu yang engkau harapkan dan memenuhi segala keinginanmu itu. Tetapi sampaikan pula salam-Ku kepada Dzun Nun, si manusia bajingan dan suka berpura-pura itu. Katakanlah kepadanya, “Wahai manusia pendusta yang suka berpura-pura, jika tidak Aku bukanlah Rabbmu. Awas, janganlah engkau sesatkan kekasih-kekasihku yang malang dan janganlah engkau jauhkan mereka dari hadirat-Ku.”
Si murid terjaga dari tidurnya lalu menangis. Kemudian ia pergi kepada Dzun Nun dan mengisahkan segala sesuatu yang disaksikan dan didengarnya dalam mimpi itu. Ketika Dzun Nun mendengar kata-kata ‘Tuhan mengirim salam dan menyatakan bahwa engkau adalah seorang pendusta yang suka berpura-pura,’ ia pun berguling-guling kegirangan dan menangis penuh kebahagiaan.
Anekdot-Anekdot Mengenai Diri Dzun Nun
Dzun Nun mengisahkan: Ketika aku sedang berjalan-jalan di gunung, terlihat olehku sekumpulan orang-orang yang menderita sakit. Aku bertanya kepada mereka, “Apakah yang telah terjadi terhadap kalian?”
Mereka menjawab, “Di dalam pertapaan yang terletak di tempat ini berdiam seorang yang saleh. Setahun sekali ia keluar dari pertapaannya, meniup orang-orang ini lalu semuanya sembuh. Setelah itu ia pun kembali ke dalam pertapaannya dan setahun kemudian barulah ia keluar lagi.”
Dengan sabar aku menantikan si pertapa itu keluar dari dalam pertapaannya. Ternyata yang kusaksikan adalah seorang lelaki berwajah pucat, berbadan kurus dan bermata cekung. Tubuhku gemetar karena kagum memandang dirinya. Dengan penuh kasih si pertapa memandangi orang banyak itu, kemudian menengadahkan pandangannya ke atas. Setelah itu semua orang-orang yang menderita sakit itu ditiupnya beberapa kali. Dan semuanya sembuh dari penyakitnya.
Ketika si pertapa hendak kembali ke dalam pertapaannya, aku segera meraih pakaiannya dan berseru, “Demi kasih Allah engkau telah menyembuhkan penyakit-penyakit lahiriah, tetapi sembuhkanlah sekarang penyakit di dalam batinku ini.”
Sambil memandang diriku si pertapa berkata, “Dzun Nun lepaskanlah tanganmu dariku. Sang Sahabat sedang mengawasi dari puncak kebesaran dan keagungan. Jika Dia lihat berapa engkau bergantung kepada seseorang selain daripada-Nya, pasti Dia akan meninggalkan dirimu bersama orang itu maka celakalah engkau di tangan orang itu.”
Setelah berkata demikian ia pun kembali ke dalam pertapaannya.
***
Suatu hari sahabat-sahabatnya mendapati Dzun Nun sedang menangis.
“Mengapa engkau menangis?” tanya mereka.
“Kemarin malam ketika bersujud di dalam shalat, mataku tertutup dan aku pun tertidur. Terlihat olehku Allah dan Dia berkata kepadaku, ‘Wahai Abul Faiz, aku telah menciptakan semua makhluk terbagi dalam sepuluh kelompok. Kepada mereka aku berikan harta kekayaan dunia. Semuanya berpaling kepada kekayaan dunia kecuali satu kelompok. Kelompok ini terbagi pula menjadi sepuluh kelompok. Kepada mereka kuberikan Surga. Semua berpaling kepada Surga kecuali satu kelompok. Kemudian kelompok ini terbagi pula menjadi sepuluh kelompok. Kepada mereka aku tunjukkan neraka. Semua lari menghindar kecuali satu kelompok yaitu orang-orang yang tidak tergoda oleh harta kekayaan dunia, tidak mendambakan Surga dan tak takut pada neraka. Apakah yang sebenarnya kalian kehendaki?’ Semuanya menengadahkan kepalanya sambil berseru, ‘Sesungguhnya Engkau lebih mengetahui apa yang kami kehendaki!’”
***
Pada suatu hari seorang anak lelaki menghampiri Dzun Nun lalu berkata, “Aku mempunyai uang seribu dinar. Aku ingin menyumbangkan uang ini untuk kebaktianmu kepada Allah. Aku ingin agar uangku ini dapat digunakan oleh murid-muridmu dan para guru sufi.”
“Apakah engkau sudah cukup umur?” tanya Dzun Nun.
“Belum,” jawab anak itu.
“Jika demikian engkau belum berhak untuk mengeluarkan uang itu. Bersabarlah hingga engkau cukup dewasa,” Dzun Nun menjelaskan.
Setelah dewasa, anak itu kembali menemui Dzun Nun. Dengan pertolongan Dzun Nun ia bertaubat kepada Allah dan semua uang dinar emas itu diberikannya untuk para guru sufi, sahabat-sahabat Dzun Nun.
Suatu ketika para guru sufi itu mengalami kesulitan sedang mereka tak memiliki apa-apa lagi karena uang telah habis dipergunakan.
Anak lelaki yang telah menyumbangkan uangnya itu berkata, “Sayang sekali, aku tak mempunyai seratus dinar lagi untuk membantu manusia-manusia berbudi ini.”
Kata-kata itu terdengar oleh Dzun Nun, maka sadarlah ia bahwa anak itu belum menyelami kebenaran sejati dari kehidupan mistik karena kekayaan dunia masih penting dalam pandangannya. Anak itu dipanggil Dzun Nun dan berkata kepadanya, “Pergilah ke tabib Anu, katakan padanya bahwa aku menyuruh dia untuk menyerahkan obat seharga tiga ribu dirham kepadamu.”
Si pemuda segera pergi ke tabib itu dan tak lama kemudian ia telah kembali lagi.
“Masukkanlah obat-obat itu ke dalam lumpang dan tumbuklah sampai lumat,” Dzun Nun menyuruh si pemuda. “Kemudian tuangkanlah sedikit minyak sehingga obat-obat itu berbentuk pasta. Kemudian kepal-kepallah ramuan itu menjadi tiga buah butiran, dan dengan sebuah jarum lobangilah ketiga-tiganya. Setelah itu bawalah ketiga butirnya kepadaku.”
Si pemuda melaksanakan seperti yang diperintahkan kepadanya. Setelah selesai, ketiga butiran itu dibawanya kepada Dzun Nun. Butiran-butiran itu diusap-usap oleh Dzun Nun kemudian ditiupnya. Tiba-tiba butir-butir itu berubah menjadi tiga buah batu mirah delima dari jenis yang belum pernah disaksikan manusia. Kemudian Dzun Nun berkata kepada si pemuda, “Bawalah permata-permata ini ke pasar dan tanyakanlah harganya, tetapi jangan engkau jual.”
Si pemuda membawa batu-batu permata itu ke pasar. Ternyata setiap butirnya berharga seribu dinar. Si pemuda kembali untuk mengabarkan hal ini kepada Dzun Nun. Dzun Nun berkata, “Sekarang masukkanlah permata-permata itu ke dalam lesung, tumbuklah sampai halus dan setelah itu lemparkanlah ke dalam air.”
Si pemuda melakukan seperti yang disuruhkan, melemparkan tumbukan permata itu ke dalam air. Setelah itu Dzun Nun berkata kepadanya, “Anakku, para guru sufi itu bukan lapar karena kekurangan. Semua ini adalah kemauan mereka sendiri.”
Si pemuda bertaubat lalu jiwanya terjaga. Dunia ini tak berharga lagi dalam pandangannya.
***
Dzun Nun berkisah sebagai berikut:
Selama tiga puluh tahun aku mengajak manusia untuk bertaubat, tetapi hanya seorang yang telah menghampiri Allah dengan segala kepatuhan. Beginilah peristiwanya.
Pada suatu hari sewaktu aku berada di pintu sebuah masjid, seorang pangeran beserta para pengiringnya lewat di depanku. Kuucapkan kata-kata, “Tak ada yang lebih bodoh daripada si lemah yang bergulat melawan si kuat.”
Si pangeran bertanya kepadaku, “Apakah makna kata-katamu itu?”
“Manusia adalah makhluk yang lemah, tetapi ia bergulat melawan Allah Yang Maha Kuat,” jawabku.
Wajah si pangeran remaja itu berubah pucat. Ia bangkit lalu meninggalkan tempat itu. Keesokkan harinya ia kembali menemukannya dan bertanya, “Manakah jalan menuju Allah?”
“Ada jalan yang kecil, dan ada jalan yang besar, yang manakah yang engkau sukai? Jika engkau menghendaki jalan yang kecil, tinggalkan dunia dan hawa nafsu, setelah itu jangan berbuat dosa lagi. Jika engkau menghendaki jalan yang besar, tinggalkanlah segala sesuatu kecuali Allah lalu kosongkanlah hatimu.”
“Demi Allah akan kupilih jalan yang besar,” jawab si pangeran.
Esoknya ia mengenakan jubah yang terbuat dari bulu domba dan mengambil jalan mistik. Di kemudian hari ia menjadi seorang manusia suci.
***
Kisah berikut ini diriwayatkan oleh Abu Ja’far yang bermata satu.
Aku bersama Dzun Nun dengan sekelompok murid-muridnya berada di suatu tempat. Mereka sedang membicarakan bahwa sesungguhnya manusia dapat memerintah benda-benda mati.
“Inilah sebuah contoh,” kata Dzun Nun, “Bahwa benda-benda mati mematuhi perintah-perintah manusia-manusia suci. Jika kukatakan kepada sofa itu ‘Menarilah mengelilingi rumah ini’ maka ia pun menari.”
Belum lagi Dzun Nun selesai dengan kata-katanya, sofa itu mulai bergerak kemudian mengelilingi rumah lalu membalik ke tempatnya semula. Seorang pemuda yang menyaksikan peristiwa ini tidak dapat menahan ledakan tangisnya dan tak berapa lama kemudian menemui ajalnya. Mereka memandikan mayat si pemuda di atas sofa itu kemudian menguburkannya.
Pada suatu ketika seorang lelaki datang kepada Dzun Nun dan berkata, “Aku mempunyai hutang tetapi aku tak mempunyai uang untuk melunasinya.”
Dzun Nun memungut sebuah batu. Batu itu berubah menjadi zamrud. Dzun Nun menyerahkannya kepada lelaki itu. Ia membawanya ke pasar dan menjualnya dengan empat ratus dirham kemudian ia melunasi hutangnya.
***
Ada seorang pemuda yang seringkali mencemoohkan kaum sufi. Suatu hari Dzun Nun melepaskan cincin di jarinya kemudian memberikan cincin itu kepada si pemuda itu sambil berkata, “Bawalah cincin ini ke pasar dan gadaikanlah dengan harga satu dinar.”
Si pemuda membawa cincin itu ke pasar tetapi tak seorang pun mau menerimanya dengan harga di atas satu dirham. Si pemuda kembali dan menyampaikan hal itu kepada Dzun Nun.
“Sekarang bawalah cincin ini kepada pedagang permata dan tanyakan harganya,” Dzun Nun berkata kepada si pemuda.
Ternyata pedagang-pedagang permata menaksir harga cincin itu seribu dinar. Ketika si pemuda kembali, Dzun Nun berkata kepadanya, “Engkau hanya mengetahui kaum sufi seperti pemilik-pemilik warung di pasar tadi mengetahui harga cincin ini.”
Si pemuda bertaubat dan ia tak mau lagi mencemooh para sufi.
***
Telah sepuluh tahun lamanya Dzun Nun ingin memakan Sekbaj, tetapi keinginan itu tak pernah dilampiaskannya. Kebetulan esok hari adalah hari raya dan batinnya berkata, “Bagaimana jika esok engkau memberi kami sesuap sekbaj sekadar untuk menyambut hari raya?”
“Wahai hatiku, jika demikian yang engkau kehendaki, maka biarkanlah aku membaca seluruh ayat al Qur’an di dalam shalat sunnat dua raka’at malam nanti.
Hatinya mengizinkan. Keesokan harinya Dzun Nun mempersiapkan sekbaj di depannya. Ia telah membasuh tangan tetapi sekbaj itu tidak disentuhnya, ia segera mengerjakan shalat.
“Apakah yang telah terjadi??” seseorang yang menyaksikan hal itu bertanya kepada Dzun Nun.
“Barusan, hatiku berkata kepadaku,” jawab Dzun Nun. “Akhirnya setelah sepuluh tahun lamanya barulah tercapai keinginanku,” tetapi segera kujawab, “Demi Allah, keinginanmu tidak akan tercapai.”
Yang meriwayatkan kisah ini menyatakan bahwa begitu Dzun Nun mengucapkan kata-kata itu, masuklah seorang yang membawakan semangkuk sekbaj ke hadapannya dan berkata, “Guru, aku tidak datang kemari atas kehendakku sendiri, tetapi sebagai utusan. Baiklah kujelaskan duduk persoalannya kepadamu. Aku mencari nafkah sebagai kuli padahal aku mempunyai beberapa orang anak. Telah beberapa lamanya mereka meminta sekbaj dan untuk itu aku telah menabung uang. Kemarin malam kubuatkan sekbaj ini untuk menyambut hari raya. Tadi aku bermimpi melihat wajah Rasulullah yang cerah menerangi bumi. Rasulullah berkata kepadaku, ‘Jika engkau ingin melihatku pada hari berbangkit nanti, bawalah sekbaj itu kepada Dzun Nun dan katakanlah kepadanya bahwa Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib telah memohon ampun untuk dirinya agar ia untuk sementara dapat berdamai dengan hatinya dan memakan sekbaj ini dengan sekadarnya.”
“Aku taati,” sahut Dzun Nun sambil menangis.
***
Ketika Dzun Nun terbaring menunggu ajalnya, sahabat-sahabatnya bertanya, “Apakah yang engkau inginkan pada saat ini?”
Dzun Nun menjawab, “Keinginanku adalah walau untuk sesaat saja, aku dapat mengenal-Nya.” Kemudian Dzun Nun bersyair:
Takut telah meletihkan diriku,
Hasrat telah membakar diriku,
Cinta telah memperdayaiku
Tetapi Allah telah menghidupkan aku kembali.
Pada suatu hari ketika Dzun Nun tidak sadarkan diri. Pada malam kematiannya, tujuh puluh orang telah bertemu dengan Nabi Muhammad di dalam mimpi mereka. Semuanya mengisahkan bahwa di dalam mimpi itu Nabi berkata, “Sahabat Allah sudah tiba. Aku datang untuk menyambut kedatangannya.”
Ketika Dzun Nun meninggal dunia, orang-orang menyaksikan tulisan berwarna hijau di dahinya: “Inilah sahabat Allah. Ia mati di dalam kasih Allah. Inilah manusia yang telah dijagal Allah dengan pedang-Nya.”
Ketika orang-orang mengusung mayatnya ke pemakaman, matahari sedang bersinar dengan sangat teriknya. Burung-burung turun dari angkasa dan dengan sayap-sayap mereka meneduhi peti mati Dzun Nun sejak dari rumah sampai ke pemakaman. Ketika mayatnya diusung itu muadzin menyerukan adzan. Sewaktu si muadzin mengucapkan kata-kata syahadah, dari balik kain kafan terlihat jari tangan Dzun Nun mengacung ke atas.
“Ia masih hidup!” orang-orang berseru lagi.
Mereka menurunkan usungan itu. Memang jari tangan Dzun Nun mengacung ke atas, tetapi ia telah mati. Betapa pun mereka mencoba namun mereka tak dapat membetulkan jarinya yang mengacung itu. Ketika orang-orang Mesir mendengar hal ini, mereka semua merasa malu dan bertaubat dari kejahatan-kejahatan yang telah mereka lakukan terhadap Dzun Nun. Sebagai tanda penyesalan, di atas kuburan Dzun Nun telah mereka lakukan berbagai hal yang tak dapat diterangkan dengan kata-kata.
Sumber : Tadzkiratul Awliya’ (Kisah Teladan Kehidupan Para Wali Allah) – Fariduddin al Attar
Post a Comment Blogger Disqus