Kisah Wafatnya Syekh Syamsuddin Habibullah Jan Janan (q)
Mawlana Syekh Hisyam berziarah ke Makam Syekh Syamsuddin Habibullah Jan Janan di Delhi, India |
Menjelang wafatnya, Syekh Mazhar (q) berada dalam keadaan emosi tinggi dan dalam cinta yang intens kepada Allah. Ia mengalami perasaan yang sangat tidak membahagiakan karena begitu lama berada di dunia yang fana ini. Ia menghabiskan hari-hari terakhirnya dengan bertafakur, dan ketika ditanya, ia akan selalu mengatakan bahwa ia berada dalam Maqamul Fana dan Wujud dalam Allah (swt).
Ia meningkatkan zikirnya pada hari-hari terakhirnya, dan sebagai hasilnya muncul cahaya yang mempunyai daya tarik yang kuat sehingga ribuan salik masuk ke dalam tarekat. Setiap hari ada tiga ribu orang yang datang ke pintunya, dan ia tidak akan membiarkan seorang pun di antara mereka yang tidak bertemu dengannya. Akhirnya, ia menjadi begitu kelelahan sehingga ia dijadwalkan hanya 2 kali sehari bertemu dengan orang-orang.
Suatu hari, salah seorang pengikutnya, yaitu Syekh Mullah Nasim, meminta izin untuk melakukan perjalanan dan mengunjungi orang tuanya di kampung halamannya. Ia berkata, “Wahai anakku, jika engkau ingin pergi, silakan. Tetapi mungkin aku tidak ada di sini ketika engkau kembali.” Jawaban ini beredar dari mulut ke mulut, dan mengguncangkan hati orang-orang, karena itu menandakan bahwa eranya akan berakhir.
Dengan tetesan air mata dan hati yang luka, orang-orang di sekitar Punjab mulai bersedih. Rumahnya penuh dan tidak seorang pun yang tahu apa yang terjadi bila ia wafat. Kemudian ia mengambil sehelai kertas dan menulis kepada salah seorang penerusnya, Mullah Abdur-Razzaq, “Wahai anakku, kini aku sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun, dan ajalku sudah dekat. Ingatlah aku di dalam doamu.”
Ia mengirim surat itu padanya dan ia juga mengirim surat yang sama kepada banyak orang lainnya. Bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya, ia berkata, “Tidak ada yang tersisa di dalam hatiku apapun yang ingin kuraih atau sesuatu yang belum tercapai. Tidak ada sesuatu yang kuminta kepada Allah yang belum kuterima. Keinginanku sekarang hanyalah meninggalkan dunia ini dan berada dalam Hadirat-Nya seterusnya. Allah telah memberiku segala sesuatu, kecuali izin untuk bertemu dengan-Nya. Aku memohon kepada Allah untuk membawaku kepada-Nya pada hari ini, sebelum besok.
Tetapi aku tidak ingin menemui-Nya sebagai orang biasa. Aku ingin menemui-Nya sebagaimana yang digambarkan Allah di dalam kitab suci al-Qur’an, sebagai seorang syahid yang selalu hidup. Jadi, ya Allah, jadikanlah aku seorang syahid di dunia ini dan bawalah aku kepada-Mu sebagai seorang syahid. Kematian semacam ini akan memberi kebahagiaan bagi hatiku dan akan menjadikan aku berada di hadirat Nabi-Mu (s) dan Ibrahim (a) dan Musa (a) bersama 124.000 Nabi-Mu; dan bersama semua Sahabat Nabi (s), dan bersama dengan al-Junayd (q) dan mursyid tarekat ini, Syah Naqshband (q), dan bersama mursyid seluruh tarekat.
Ya Allah, aku ingin menggabungkan antara menyaksikan kesyahidan fisik dengan kematian spiritual dalam Maqam Penyaksian, dalam Maqamul Fana’.”
Sore harinya, pada hari Rabu, tanggal 7 Muharram 1195 H/1780 M. seorang pelayannya mendatanginya dan berkata, “Ada tiga orang di pintumu. Mereka ingin bertemu denganmu.” Ia berkata, “Biarkan mereka masuk.” Ketika mereka masuk, ia keluar dari kamarnya dan menyalami mereka. Salah seorang di antara mereka berkata, “Apakah engkau Mirza Jan Janan Habibullah?” Ia menjawab, “Ya.” Kemudian orang kedua berkata kepada orang ketiga, “Ya, ini orangnya.” Salah seorang di antara mereka mengambil pisau dari kantongnya dan menikamnya dari belakang, menusuk ginjalnya.
Karena usianya, ia tidak mampu menahan beratnya tusukan itu sehingga ia jatuh tersungkur ke lantai. Ketika waktunya shalat Subuh, Raja mengirim seorang dokter. Ia meminta dokter itu untuk pulang dan berkata, “Aku tidak memerlukannya. Dan untuk orang yang telah menikamku, aku mengampuninya, karena aku senang untuk mati sebagai seorang syahid dan mereka datang sebagai jawaban atas doaku.”
Ia wafat pada hari Jum'at. Ketika sampai pada tengah hari, ia membaca Surat al-Fatihah dan Ya Sin sampai waktu `Ashar. Ia bertanya pada muridnya, berapa jam lagi sampai matahari terbenam. Mereka berkata, “Empat jam.” Ia menjawab, “Masih lama sampai aku bertemu Tuhanku.” Ia berkata, “Aku telah melewatkan 10 shalat dalam hidupku, semuanya terjadi dalam dua hari terakhir ini, karena tubuhku penuh dengan darah dan aku tidak dapat mengangkat kepalaku.”
Mereka bertanya kepadanya, “Jika seorang yang sakit dalam kondisi yang lemah seperti itu, apakah ia wajib untuk shalat dengan gerakan matanya dan dahinya atau menunda shalatnya?” Ia menjawab, “Keduanya benar.” Ia menunggu dengan sabar hingga matahari terbenam, kemudian ia wafat. Saat itu adalah malam `Asyura, 1195 H./1781 M.
Sumber:
Milis Muhibbin Naqsybandi
Post a Comment Blogger Disqus