Ahlul Bayt Dan Sahabat Nabi: Dua Sisi Mata Uang
Ahlul Bayt dan Sahabat adalah dua pihak yang tak dapat dipisahkan. Orang yang ingin memisahkan Ahlul Bayt dan Sahabat, bagai memisahkan dua sisi mata uang.
Dai muda asal Hadhramaut ini sudah cukup akrab bagi kita. Sayyid Zaid Bin Abdurrahman Bin Husein Bin Yahya. Kakeknya, Habib Husein, adalah putra Habib Abubakar Bin Umar Bin Yahya, seorang wali besar yang makamnya berada di Surabaya.
Sayyid kelahiran Aden tahun 1971 ini, menimba ilmu dari para ulama sepuh Hadhramaut, di antaranya, Habib Salim Asy-Syathiri, Habib Abdullah Bin Syihab, Habib Abubakar Al-‘Adni Al-Masyhur, Habib Umar Bin Hafidz. Ia juga pernah tabarrukan, ngalap barakah, dengan beristifadah (mengambil faidah ilmu) pada ulama besar Habib Abdul Qadir Bin Ahmad Assegaf, Jeddah.
Selain menjalani pendidikan salaf, pendidikan akademis pun ia tempuh. Di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, salah satunya. Bahkan saat ini disertasinya di bidang ilmu Fiqh tengah diselesaikannya di Al-Azhar.
Dari tangan dinginnya telah pula terlahir sejumlah karya, di antaranya Idhah Adh-Dhalalah, yang menjadi salah satu bacaan wajib dalam kurikulum Darul Musthafa, dan Ahlul Bayt Mawaddatuhum Wa Madzhabuhum, sebuah kitab yang mengurai tentang kecintaan terhadap Ahlul Bayt dan juga tentang madzhab mereka. Ia juga mentahqiq beberapa kitab, di antaranya terhadap Kitab Al-Bid’ah dan Daf’ul Irtiyab karya Habib Ali Bin Yahya, salah seorang tokoh ulama Hadhramaut tempo dulu.
Sebagai seorang yang terpelajar, keahliannya kini disalurkannya dalam mengelola markaz An-Nur, yang menjadi aktivitas utamanya saat ini. Markaz An-Nur adalah sebuah institusi yang secara khusus memelihara kitab-kitab karya Salaf Hadhramiyyin, baik dari kalangan Alawiyyin maupun bukan.
Saat kedatangannya baru-baru ini ke tanah air, pengurus Rabithah Alawiyah pusat menggelar muhadharah (kuliah umum) di gedung Rabithah Alawiyah lt. 5 jalan TB. Simatupang, bertemakan hu-bungan antara Ahlul Bayt dan sahabat Nabi saw, dan mendaulat Sayyid Zaid sebagai pembicara tunggal di sana.
Di bangku depan, selaku tuan rumah, yaitu sebagai salah seorang pengurus Rabithah Alawiyah, Habib Ali Bin Hasan Al-Bahr mendampingi Sayyid Zaid. Sementara pada sisi lainnya Habib Hamid Bin Ja’far Al-Gadri turut mendampingi dalam kapasitasnya sebagai penerjemah. Berikut ini di antara yang disampaikan Sayyid Zaid dalam pertemuan itu.
Keagungan Didikan Nabi SAW
Merupakan kebahagiaan bagi Sayyid Zaid ketika ia bisa hadir di sekretariat Rabithah Alawiyah (RA), sebagai perkumpulan dan organisasi yang memiliki sejarah tersendiri, terutama dalam berbagai kegiatan kebaikan, sejak dahulu kala. Bukan hal yang asing, bilamana lembaga seperti RA mengadakan acara semacam ini. Acara semacam ini adalah acara yang dapat menyatukan hubungan dan mempererat persaudaraan, dan memang seperti itulah semestinya.
Tidak ada suatu perkumpulan yang sempurna dalam segala hal. Itu merupakan hal yang telah digariskan sebagai sunnatullah. Namun demikian, cermin dari sebuah perkumpulan yang menggalang usaha-usaha kebaikan bisa dilihat dari contoh keberadaan sebuah komunitas yang dididik oleh Rasulullah, di mana di antara mereka adalah para sahabatnya yang mulia dan tentunya juga keluarga beliau saw.
Sebenarnya hubungan harmonis di antara Ahlul Bayt dan sahabat adalah hal yang lumrah, diketahui dengan jelas, hanya saja seiring berjalannya waktu, sejarah pun diterpa oleh berbagai syubhat, hal-hal yang kemudian menyebabkan kerancuan dalam melihat berbagai permasalahan terkait lainnya secara jernih. Akibatnya, terdapat sejumlah pemahaman yang seharusnya tidak seperti yang dipahami oleh sementara orang.
Memahami masalah hubungan antara Ahlul Bayt dan sahabat, tak terlepas dari kerangka pemahaman terhadap hadits Rasulullah saw bahwa, ”sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq.”
Dari sini menjadi jelas bagi kita bahwa yang beliau bawa adalah hal-hal yang terkait dengan etika yang sangat sempurna.
Karenanya, orang-orang yang beliau lahirkan maupun orang-orang yang beliau didik, pastilah mereka adalah orang-orang yang sangat berakhlaq. Mereka adalah orang-orang yang sangat agung dalam etikanya. Bahwa setelah berlalunya zaman Rasulullah saw, kemudian dianggap ada ketidakberhasilan Rasulullah saw dalam menyempurnakan akhlaq, ini layak dipertanyakan. Sebab, risalah yang dibawa Rasulullah saw senantiasa diserap dengan sempurna oleh keluarga dan para sahabat.
Setiap insan yang menyatakan La ilaha illallah, yaitu mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-nya dengan baik, tentu dalam diri mereka semestinya terdapat akhlaq yang luar biasa, menampakkan akhlaq yang agung, menampakkan kerendahhatian di depan kaum mukminin, dan menampakkan kemuliaan di depan orang-orang kafir. Ini adalah sifat umum yang dimiliki oleh setiap orang yang beriman kepada Allah, sebagaimana yang direkam dalam sejarah telah mengagumkan pihak-pihak di luar Islam.
Itu sifat-sifat umum seorang yang beriman. Maka, bagaimana dengan mereka yang dididik langsung oleh Rasulullah saw, baik dari para sahabat dan Ahlul Bayt, tentu nilai-nilai ini teramat melekat dan menyatu dengan mereka.
Perhatikan, betapa orang-orang anshar mengatakan kepada orang-orang muhajirin, ”Saya punya beberapa istri, silakan ambil salah satunya. Saya akan ceraikan ia, kemudian menikahlah dengannya.” Mereka juga mengatakan kepada kaum muhajirin, ”Saya punya beberapa harta, silahkan ambil sebagian dari hartaku.”
Ini adalah bentuk mahabbah di hati mereka terhadap sesama mereka. Inilah hasil didikan Rasulullah saw lewat syariat yang ia bawa, yaitu agama Islam, yang telah menjadikan nilai-nilai duniawi menjadi sesuatu yang bernilai ukhrawi. Bagi mereka nilai-nilai itu telah merasuk sedemikian kuat, hingga bukan hal aneh bila terdapat banyak kisah semacam itu, yang kalau bukan sejarah yang telah merekamnya dengan jelas, niscaya akal kita sulit mempercayai kisah-kisah semacam itu.
Ini juga sekaligus merupakan bukti kebenaran firman Allah ta’ala, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (QS. Al-Fath 29).
Catatan Historis
Pembahasan kita ini sebenarnya membutuhkan waktu yang panjang, namun kondisi (waktu)-lah yang menuntut kita untuk mengikhtishar (menerangkan secara ringkas).
Masalah yang panjang lebar ini telah ditulis oleh para ulama terdahulu, di antaranya Imam Daraquthni, yang menulis perihal Tsana’us Shahabah ’Alal Qarabah, pujian para sahabat terhadap kerabat, dan sebaliknya, yaitu pujian kerabat Rasulullah saw terhadap sahabat beliau. Juga ada As-Sam’ani, yang mengarang kitab dengan tema yang sama, atau Imam Zamakhsyari, salah seorang penyusun kitab tafsir ternama, yang dalam karyanya menggambarkan eratnya hubungan antara Ahlul Bayt dan sahabat.
Kitab-kitab itu ditulis oleh tokoh-tokoh dari beragam latar madzhab yang berbeda. Sebut saja, Imam Daraquthni. Ia seorang imam dari kalangan Ahlus Sunnah. Sementara Imam Zamakhsyari adalah salah seorang pemuka dari kalangan mu’tazilah.
Ada juga Imam Yahya Bin Hamzah dari Zabid, yang berasal dari kalangan Zaidiyah. Imam Yahya juga memiliki karangan bertemakan hal yang terkait dengan itu, yaitu sebuah risalah yang menggambarkan hubungan antara Ahlul Bayt dan sahabat dan seruannya dalam mencegah caci maki terhadap sahabat Rasulullah saw.
Dari kalangan ini, juga tersebut nama Imam Muhammad Bin Ali Asy-Syaukani, yang kemudian pindah pada Madzhab Ahlul Hadits. Asy-Syaukani juga menulis kitab yang berisi peringatan terhadap orang-orang yang mencela sahabat Rasulullah saw.
Itu di masa lalu. Masa kini pun sejumlah tokoh melakukan hal serupa, seperti terlihat dari sejumlah karya Syaikh Yahya Bin Husein Bin Qasim, yang berasal dari kalangan Zaidiyah, atau dr. Umar Abdullah Al-Kamil, dari kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Mungkin di antara kita ada yang bertanya, itu adalah pendapat dari kalangan Ahlussunnah atau Zaidiyah, lalu mana dari kalangan Imamiyah?
Nyatanya, kalangan Imamiyah pun tidak bisa lepas dari kenyataan historis tersebut. Syaikh Abdus Sattar Attunsawi menulis sebuah kitab yang menyebutkan Manaqib Khulafaur Rasyidin yang disebutkan dalam kitab-kitab Syi’ah Imamiyah.
Di antara isi kitab-kitab tersebut, seperti yang ada pada kalangan Ahlussunnah, adalah sebagaimana yang diriwayatkan dalam Ash-Shahih Al-Bukhari saat Sayyidina Abu Bakar mengatakan, ”Urqubu Muhammadan fi ahli baytih, cintailah nabi muhammad dengan mencintai keluarganya.”
Kalau dalam Al-Qur’an disebutkan, ”Qul la as’alukum ’alaihi ajran illal mawaddata fil qurba, katakanlah (wahai muhammad) tidaklah aku meminta upah dari ajaran yang aku sampaikan kecuali kecintaan pada keluargaku (Al-Qurba),” maka Sayyidina Abu Bakar sendiri memiliki hubungan kekeluargaan dengan Rasulullah dari pernikahan putrinya, Sayyidah Aisyah ra dengan Rasulullah saw.
Jadi, ahlul bayt dan sahabat adalah dua pihak yang tak dapat terpisahkan. Orang yang ingin memisahkan ahlul bayt dan sahabat, bagai memisahkan dua sisi mata uang.
Bahkan, Sayyidina Abu Bakar sendiri pernah mengatakan bahwa kerabat Rasulullah saw lebih ia cintai daripada kerabatnya sendiri.
Di kitab-kitab itu juga, di antaranya, disebutkan tentang Sayyidina Umar yang pernah memohon perlindungan dari Allah, dari setiap kesulitan ketika tak ada Sayyidina Ali di sisinya.
Ketika Rasulullah saw mengatakan, ”Man kuntu mawlahu fa aliyyun maulahu, siapa yang aku jadi tuannya, maka ali juga menjadi tuannya.”
Sayyidina Umar mengetahui hadits ini, bukan setelah era Rasulullah saw wafat.
Ia mendengarnya langsung. Apa yang dilakukan Sayyidina Umar setelah ia mendengar sabda Rasulullah saw itu?
Sayyidina Umar langsung mendatangi Sayyidina Ali dan mengatakan, ”selamat wahai Ali, engkau telah menjadi tuan bagiku dan juga bagi orang-orang yang beriman.”
Orang-orang bertanya kepada Sayyidina Umar, mengapa ia begitu memuliakan Sayyidina Ali, tidak seperti yang ia tunjukkan kepada yang lainnya. Kata Sayyidina Umar, ”karena ia adalah maula kami, tuan kami.”
Sikap Ahlul Bayt
Namun demikian, kita juga mendengar dari riwayat-riwayat yang berbeda arahnya. Disebutkan dalam riwayat-riwayat itu bahwa telah terjadi intimidasi, pembakaran terhadap rumah Sayyidah Fathimah, bahkan pemukulan terhadap beliau. Riwayat-riwayat semacam itu muncul seakan tak pernah ada riwayat sama sekali, yang menunjukkan betapa Sayyidina Ali dikenal sebagai seorang pemberani yang luar biasa.
Tak aneh, seorang dari kalangan Imamiyah sendiri, yaitu Syaikh Muhammad Husein Fadhlullah, mengatakan bahwa riwayat tentang intimidasi tentang pembakaran rumah dan pemukulan terhadap Sayyidah Fathimah adalah sebuah kedustaan yang dibuat. Riwayat-riwayat itu seolah menunjukkan betapa para sahabat bukan orang-orang terdidik, yang tidak mendapat didikan dari Rasulullah saw sama sekali.
Lihat saja, bagaimana sikap Sayyidina Ali terhadap para sahabat Rasulullah saw? Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan sebuah riwayat bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepada seseorang, ”maukah engkau aku beritahu siapa orang yang paling utama setelah Rasulullah?”
”Ya,” jawab mereka.
”Sayyidina Abu Bakar, kemudian Sayyidina Umar, dan kemudian ada yang ketiga (Sayyidina Ali tidak menyebut nama),” jawab Sayyidina Ali.
Sayyidina Ali tidak menyebut dirinya sendiri. Inilah pertanda bahwa Sayyidina Ali adalah orang yang Muzakka, hatinya telah disucikan, bersih dan lapang, maka kemudian ia tidak menyebut dirinya sendiri dan lebih mengutamakan yang lain.
Pernah pula satu ketika Sayyidina Ali ditanya oleh putranya tentang adanya sebagian orang yang mencaci maki dirinya, Sayyidina Ali balik bertanya, ”haruskah saya membalasnya? Sejak kapan lisan ayahmu ini menjadi lisan pencaci maki? Tidak satu pun yang keluar dari lisan ayahmu ini selain madu dan kebaikan.”
Pada saat yang lainnya, Sayyidina Ali pernah ditanya, sebenarnya bagaimana kedudukan Abu Bakar dan Umar di mata Rasulullah saw. Beliau menjawab, ”Kedudukan keduanya seperti kedudukan mereka saat ini.” Mereka berdua berbaring di sisi Rasulullah saw, artinya mereka berdua memiliki kedudukan yang erat di sisi Rasulullah saw, sebagaimana jasad mereka berada di sisi beliau setelah mereka wafat.
Ketika mereka sampai di alam barzakh, mereka pun dimakamkan dan dikumpulkan di tempat yang sama.
Dalam kitab tafsir dari madzhab Imamiyah, tafsir Al-Burhan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa Sayyidina Ali pernah bercerita di hadapan sahabat-sahabatnya tentang kedudukan para sahabat utama Rasulullah saw, yaitu Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, dan Sayyidina Utsman. Sayyidina Ali mengatakan, Rasulullah saw bersabda, ”Sayyidina Abu Bakar di sisiku bagaikan pendengaranku, Sayyidina Umar di sisiku bagaikan penglihatanku, dan Sayyidina Utsman di sisiku bagaikan hatiku.”
Ketika berita ini sampai pada putra Sayyidina Ali, yaitu Al-Hasan, sang putra pun bertanya kepadanya, ”benarkah wahai ayahku engkau mengatakan demikian?”
Dengan tegas Sayyidina Ali menjawab, ”iya, benar.”
Demikian juga disebutkan dalam Nahj al-Balaghah, kitab rujukan bagi orang syiah dan juga diakui sebagiannya oleh kaum sunni sebagai perkataan Sayyidina Ali, yang di dalamnya terdapat banyak berisi pujian terhadap para sahabat Rasulullah. Bahkan dalam doa-doa yang dinisbahkan pada mereka, seperti pada Ash-Shahifah As-Sajjadiyah, juga disebutkan pujian-pujian kepada para sahabat Rasulullah saw.
Di antara para Imam Ahlul Bayt yang banyak memuji para sahabat adalah Imam Ja’far Ash-Shadiq, yang terutama banyak memuji Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar.
Saat itu, ada sementara orang yang mengatakan bahwa sikap Imam Ja’far merupakan taqiyah. Apa kata Imam Ja’far?
”Apa gunanya aku bertaqiyah pada orang-orang yang sudah wafat. Kalau aku dianggap bertaqiyah, mestinya aku bertaqiyah kepada Hisyam (penguasa saat itu).”
Sejarah mencatat, dan inilah kenyataannya, bahwa Imam Ja’far adalah tokoh yang berani pada penguasa saat itu dan pada sisi lain nyatanya ia senantiasa memuji para sahabat.
Khilafah Sejati
Ahlul Bayt adalah orang-orang yang sangat paham terhadap kenyataan hidup ini, sehingga mereka lebih memilih melakukan tugas-tugas mulia yang dibawa Rasulullah saw, yaitu menyempurnakan akhlaq umat dan membawa mereka kepada jalan yang diridhai allah swt.
Dari masa ke masa, kenyataan sejarah menunjukkan, ahlul bayt menjadi patron umat yang menuntun mereka dalam segala hal, dalam meniti jalan menuju Allah swt. (dalam dunia thariqah, misalnya) , tidaklah orang bersuluk menuju Allah swt melainkan mereka mendapatinya dari tangan-tangan mulia Ahlul Bayt Rasulullah saw.
Dan inilah khilafah yang sempurna, khilafah yang sesungguhnya, yaitu sebuah tugas suci, sebagaimana yang dulu dijalani oleh datuk mereka semua, Rasulullah saw. Inilah Manhaj Ahlul Bayt yang sesungguhnya, merekalah pemimpin yang sesungguhnya. Yang lain boleh jadi hanya shurah (penampakan)-Nya saja.
Kesimpulannya, ahlul bayt dan sahabat mempunyai hubungan yang sangat kuat.
Bila dikatakan para sahabat itu tidak ma’shum, tidak lepas dari kesalahan, itu benar, namun adanya kesalahan-kesalahan manusiawi yang mereka lakukan, tidaklah mengurangi derajat mereka, karena mereka telah mendapatkan keistimewaan yang luar biasa dengan persahabatan dengan Rasulullah saw, sampai beliau mengatakan, ”sebaik-baiknya masa adalah masaku, kemudian masa setelah masaku, lalu masa setelah itu.”
Apa artinya? Pada dasarnya mereka ahlul bayt dan para sahabat sangat baik hubungannya, dan sangat sempurna bentuk komunitasnya, baik saat Rasulullah saw hidup maupun di masa Rasulullah saw telah wafat. Bahkan, kalau kita merenungi apa yang telah difirmankan Allah swt tentang keistimewaan mereka, para sahabat, baik yang masuk Islam sebelum maupun setelah Fath Makkah, bahwa Allah swt telah menjanjikan hal terbaik bagi mereka.
Artinya, kekeliruan-kekeliruan yang telah terjadi di antara mereka, yang merupakan kesalahan-kesalahan manusia yang tidak luput sebagai seorang manusia yang tidak ma’shum, telah tergantikan oleh kemuliaan mereka berada di sisi Rasulullah saw.
Demikian di antara yang disampaikan Sayyid Zaid dalam muhadharah yang berlangsung pada petang hari sabtu, 19 januari tersebut. Usai ulasan yang disampaikan olehnya, sejumlah audiens menyampaikan pertanyaan-pertanyaan. Jelas terlihat bahwa Sayyid Zaid memang sangat menguasai tema ini dan memiliki wawasan yang amat luas lagi cerdas dalam menyikapi pelbagai permasalahan yang timbul darinya.
Dengan wawasannya yang luas itu, jawaban-jawaban yang disampaikan terasa jelas, lugas, dan mudah dicerna oleh hadirin. Suasana dialog benar-benar terbangun dengan baik. Tak jarang, ia menggunakan sejumlah kisah dalam menganalogikan keterangan yang ingin ia sampaikan.
Dengan wawasannya yang luas pula, terlihat betapa di satu sisi ia benar-benar dapat mengisi pemahaman hadirin, tentang betapa kuatnya argumentasi historis yang menggambarkan hubungan nan harmonis antara ahlul bayt dan sahabat di satu sisi, tapi di sisi lain ia pun dapat berpikir dan bersikap secara bijak, dalam menyikapi perbedaan yang ada. Di antaranya, saat ada pertanyaan tentang sikap tafdhil (mengutamakan satu dari yang lainnya) di antara para sahabat Rasulullah saw.
Sayyid Zaid menjawab pertanyaan itu dengan berkisah. Dikisahkan, suatu ketika Imam Ibnul Jauzi, salah seorang imam dari kalangan Ahlussunnah, berkunjung ke negeri Iran. Kedatangannya disambut oleh kaum muslimin di sana, hingga diadakanlah sebuah pertemuan di salah satu masjid besar di negeri itu.
Saat itu, ternyata telah berkumpul dua kelompok umat dalam jumlah yang besar, yang saling berbeda paham satu sama lain. Ketika ia telah berada di tengah-tengah mereka, ia pun ditanya, siapa dari umat ini yang paling mulia setelah Rasulullah saw?
Pertanyaan itu tentu sungguh dilematis. Lalu apa kata Imam Ibnul Jauzi?
”Aku akan menjawab dengan sebuah jawaban yang syaratnya jawabanku ini tidak lagi dikejar oleh pertanyaan lain setelahnya. Bagaimana?”
Hadirin menerima syarat Ibnul Jauzi.
Kata Imam Ibnul Jauzi, ”yang paling mulia adalah yang putrinya menjadi istrinya.”
Jawaban Ibnul Jauzi luar biasa cerdas. Dengan jawaban itu, kedua kelompok umat yang hadir ketika itu merasa puas. Satu kelompok merasa bahwa kalimat itu ditujukan pada Sayyidina Abu Bakar, yang Aisyah putrinya menjadi istri Rasulullah saw, dan itu menjadi harapan mereka dari jawaban Ibnul Jauzi.
Kelompok lainnya mereka bahwa kalimat itu ditujukan pada Sayyidina Ali, yang menikahi putri Rasulullah saw, dan itulah harapan mereka dari jawab Ibnul Jauzi.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Post a Comment Blogger Disqus