“Jadikanlah al-Qur’an sebagai perisai dirimu dan penghibur hatimu serta ambillah petuah dengan al-Qur’an kepada kaum muslimin. Perbanyaklah membaca doa kepada Allah sekuat kemampuanmu.” (Shillah bin Asyyam Rah.a)
Shilah bin Asyyam termasuk salah seorang ahli ibadah pada malam hari dan pejuang disiang hari. Apabila malam telah menyelimuti alam semesta, dan orang telah lelap dalam tidurnya, ia bangkit untuk berwudhu. Lalu ia masuk ke mihrab dan sholat dengan penuh tasa cinta pada Tuhannya, memancarlah cahaya Illahi menerangi mata hatinya sehingga ia dapat melihat tanda-tanda kekuasaan Allah disemesta ini.
Di samping itu, ia pun gemar membaca al-Qur’an diwaktu fajar. Apabila malam tinggal sepertiganya, ia membungkukkan tubuhnya didepan mushaf al-Qur’an. Ia lalu membaca ayat-ayat Allah dengan tartil dan suara yang merdu. Ia merasakan betapa manisnya al-Qur’an itu merasuk kelubuk hatinya, dan menimbulkan pengaruh rasa takut pada Allah dalam pikirannya. Kadang pula ia merasakan al-Qur’an itu mempunyai kekuatan yang mampu membelah hatinya.
Belum pernah sekali pun Shilah bin Asyyam meninggalkan ibadahnya, baik diwaktu mukim maupun dalam perjalanan, baik ketika sibuk maupun senggang.
Ja’far bin Zaid menceritakan:
“Aku berangkat bersama balatentara muslimin dalam suatu peperangan menuju kota Kabul, dengan harapan dapat menaklukannya. Dalam pasukan itu terdapat Shilah bin Asyyam.
Ketika malam tiba kami menghentikan perjalanan untuk makan malam dan menunaikan sholat Isya. Lalu masing-masing serdadu masuk ke kendaraannya untuk beristrahat. Aku melihat Shilah menghampiri kendaraannya seperti serdadu lainnya.
Lalu ia membaringkan tubuhnya sebagaimana dilakukan oleh yang lainnya. Aku berkata dalam hati, mana yang diceritakan orang-orang tentang sholat dan ibadah orang ini, yang digembar-gemborkan orang hingga kakinya bengkak! Demi Allah, akan kuperhatikan dia malam ini hingga aku tahu apa yang dilakukannya.
Ketika semua serdadu telah tidur dengan lelap, aku melihat Shilah bangun dari tempat tidurnya lalu menjauhkan diri dari pasukan sambil mengendap-ngendap. Dia masuk kedalam hutan yang lebat, yang tampaknya belum pernah dimasuki orang sebelumnya. Aku mengikuti secara sembunyi-sembunyi.
Setelah sampai ditempat yang lapang, ia mencari arah kiblat lalu menghadapkan dirinya ke sana. Kemudian ia mengucapkan takbir untuk sholat dan tenggelam dalam sholatnya itu.
Aku memperhatikan dari jauh. Wajahnya tampak bersinar, anggota tubuhnya tidak bergerak dan jiwanya tenang. Seakan-akan ditempat sunyi ia mendapat ketentraman, ditempat yang jauh dari kerabat dan didalam gelap mendapat cahaya yang benderang.
Sekonyong-konyong terlihat seekor singa dari arah timur hutan. Setelah aku yakin itu seekor singa, hatiku menjadi takut. Lalu aku memanjat sebuah pohon untuk menyelamatkan diri dari ancaman singa itu. Singa itu mendekat kearah Shilah sedikit demi sedikit hingga jaraknya tidak begitu jauh. Demi Allah, ia tidak menoleh kearah singa itu sedikitpun. Ketika ia sujud kupikir singa itu akan menerkamnya. Ketika ia bangkit dari sujudnya, lalu duduk, singa itu berdiri dihadapannya seolah-olah memperhatikannya. Setelah memberi salam, Shilah memandang singa itu dengan tenang lalu menggerakan kedua bibirnya mengatakan sesuatu yang tidak dapat aku dengar. Tiba-tiba singa itu pergi ke tempatnya semula.
Setelah fajar menyingsing, ia bangkit lalu melaksanakan sholat shubuh. Kemudian mengucapkan puji-pujian kepada Allah dengan puji-pujian yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Kemudian ia berdoa:
”Ya Allah, aku mohon kepada-Mu agar Engkau lepaskan diriku dari api neraka. Dan apakah seorang hamba yang banyak dosa seperti aku ini pantas memohon surga kepada-Mu?”
Doa tersebut diulang-ulanginya hingga akhirnya ia menangis. Aku pun ikut menangis. Kemudian ia kembali ke pasukan tanpa seorangpun mengetahuinya. Dan aku kembali dalam keadaan lesu dan hati ketakutan karena melihat singa, hingga malam itu tidak bisa tidur. Hanya Allah jualah yang mengetahui kejadian malam itu.
Shilah tidak pernah melewatkan kesempatan untuk memberikan petuah, menyeru kejalan Allah dengan bijaksana dan nasehat yang baik. Suatu hari ia keluar ke tanah lapang yang luas diluar kota Bashrah untuk berkhalwat dan beribadah. Lalu lewatlah dihadapannya anak-anak muda yang sedang senang-senangnya memperturutkan keinginannya. Mereka bermain dan bersenda-gurau, bercanda dan bersuka ria. Ia memberi salam kepada mereka dengan ramah dan mengajak mereka berbicara dengan lemah lembut.
”Bagaimana pendapat kalian terhadap suatu kaum yang hendak melakukan suatu perjalanan panjang yang sangat penting. Namun di waktu siang mereka menyimpang dari jalan yang dituju untuk bercanda dan bermain. Sedang diwaktu malam mereka beristrahat. Kapankah kiranya mereka akan berangkat dan sampai ditujuan?” tanyanya kepada anak-anak muda tersebut.
Dia mengulang kata-katanya itu berkali-kali hingga akhirnya salah seorang anak muda itu sadar bahwa ucapan Shilah itu ditujukan kepada mereka. Lalu anak muda ini memisahkan diri dari kawan-kawannya. Sejak saat itu ia mengikuti Shilah hingga akhir hayatnya.
Pada waktu lain, Shilah dan sahabat-sahabatnya pergi ke suatu tempat. Kemudian di depan mereka lewat seorang pemuda tampan dengan pakaian mewah dan panjang hingga menutupi mata kakinya. Dia berjalan dengan agak angkuh. Sahabat-sahabat Shilah pun bergerak hendak memberi pelajaran kepada pemuda itu dengan cacian dan pukulan. Namun Shilah melarang niat mereka.
Kemudian Shilah sendirilah yang menghampiri pemuda itu. Dia berkata dengan lemah lembut seperti ayah pengasih: ”Wahai saudaraku aku ada keperluan kepadamu.”
”Keperluan apa, wahai paman”
”Angkatlah kakimu sebab itu lebih bersih buat bajumu, lebih takwa untuk Tuhanmu dan lebih mendekati sunnah Nabimu, ”jawab Shilah.
Pemuda itu berkata dengan malu, ”baiklah Paman. Sungguh menyenangkan sekali nasihat Paman itu!” Kemudian ia segera mengangkat kainnya.
Shilah bergabung kembali dengan sahabat-sahabatnya, lalu berkata kepada mereka, ”Ini lebih mudah diikuti daripada apa yang hendak kalian lakukan tadi. Seandainya engkau tadi jadi memukulnya, maka ia pun tentu akan membalas pukulanmu itu dan akan mencaci-makimu. Sementara kainnya tetap menyapu tanah.”
Suatu ketika seorang pemuda datang kepada Shilah dan memintanya mengajarkan ilmu yang telah diajarkan Allah kepadanya. Maka ia menjawab, “Jadikanlah al-Qur’an sebagai perisai dirimu dan penghibur hatimu serta ambillah petuah dengan al-Qur’an kepada kaum muslimin. Perbanyaklah membaca doa kepada Allah sekuat kemampuanmu.” Jawaban itu pulalah yang diterimanya dulu ketika dia mendatangi para sahabat Rasulullah SAW untuk maksud yang sama.
Kemudian pemuda itu berkata, ”Doakanlah aku, semoga Tuan dibalas dengan kebaikan.”
Shilah mendoakan, ”Semoga Allah Ta’ala membuatmu gemar pada segala apa yang abadi dan membuatmu benci pada segala yang fana, memberikan keyakinan kepadamu sehingga jiwamu tenang karenanya.”
Shilah bin Asyyam tidak hanya seorang ahli ibadah yang zuhud, tapi juga seorang pendekar yang gagah berani. Jarang sekali medan peperangan menyaksikan seorang pemberani melebihi dirinya, lebih kuat jiwanya, atau lebih mahir menggunakan pedang. Sampai-sampai para panglima pasukan muslimin berebut menariknya kedalam pasukannya. Masing-masing ingin mendapatkan kemenangan lewat keberanian Shilah.
Ja’far bin Zaid menceritakan lagi: ”Dalam suatu peperangan kami berangkat bersama Shilah bin Asyyam dan Hisyam bin Amir. Ketika kami telah berhadapan dengan pihak musuh, Shilah dan sahabatnya memisahkan diri dari barisan kaum muslimin. Mereka menyerbu ke barisan musuh sambil memainkan senjatanya dengan tangkas sehingga berhasil memecah-belah barisan depan lawan. Melihat itu, salah seorang komandan musuh berkata kepada temannya, ”baru dua orang serdadu muslim sudah berhasil mengacaukan barisan kita. Apalagi jika semuanya menyerbu kita? Sebaiknya kita menyerah kepada kaum muslimin dan tunduk pada kehendak mereka.”
Pada tahun 78 H, Shilah bin Asyyam berangkat perang bersama sepasukan kaum muslimin menuju Turkistan. Anaknya pun ikut serta. Ketika kedua belah pihak telah saling berhadapan, Shilah berkata kepada anaknya, ”Wahai anakku! Majulah dan berjuanglah memerangi musuh-musuh Allah sampai titik darah penghabisan! ”Lalu si anak menyerbu ke tengah-tengah barisan musuh ibarat panah lepas dari busurnya. Dengan gagah berani ia menyerang ke kiri dan ke kanan hingga akhirnya gugur sebagai syahid. Tidak lama kemudian ayahnya pun menyusulnya, gugur sebagai syahid disampingnya.
Ketika berita gugurnya kedua orang itu sampai ke kota Bashrah, kaum wanita segera berbondong-bondong pergi ke rumah Mu’adzah al-Adawiyah, istri Shilah, untuk menyampaikan belasungkawa. Mu’adzah adalah seorang wanita yang takwa, suci dan zuhud.
Mu’adzah berkata kepada mereka, ”Jika engkau datang ke sini untuk mengucapkan selamat, silahkan. Tapi kalau dengan maksud lain dari itu, kembalilah! Aku ucapkan semoga kalian diberi ganjaran kebaikan.”
Sumber:
- Shuwar min Hayah at-Tabi’in, Abdurahman Ra’fat Basya.
- Shuwar min Siyar at-Tabi’in, Azhari Ahmad Mahmud.
- Ashr at-Tabi’in, Abdul Mun’im al-Hasyimi
- Siyar A’lam at-Tabi’in, Shabri bin Salamah Syahin
- Meniti Jalan Para Sahabat
Post a Comment Blogger Disqus