Mursyid ke 40 - Naqshbandi Haqqani
Kata Mutiara Maulana Syaikh Muhamad Nazim Adil al-Haqqani
"Sebagaimana kamu mempercayai mursyid, dia juga harus mempercayai kamu supaya kamu dapat menjaga apa yang telah diamanahkan"
"Yang lebih penting daripada ilmu ialah pemindahan ilmu tersebut dari hati ke hati "
"KedaulatanNya adalah Melalui KekekalanNya"
"Kita tidak minta untuk dikenali dan menjadi sesuatu, karena selagi kita inginkannya, maka kita masih belum lagi sempurna"
"Perjumpaan dengan para awliya meringankan beban kita dan kita akan merasa ringan dan gembira" , "Adalah mustahil untuk kita memahami diri kita. Sekurang-kurangnya kita perlu melihat cermin. Tiada siapapun yang dapat mengenali kepincangan di dalam dirinya "
"Saya tidak berkata, “Ikut saya,” kerana saya tahu siapa yang akan ikut "
"Keikhlasan dan politik tidak serasi sebagaimana iman dan penipuan "
"Perbedaan kamu dengan mursyidmu ialah kamu bermegah-megahan"
"Urusan tariqat adalah serius, kami ingin membuat kamu bertanggungjawab"
Sekilas tentang Kehidupan dan Ajaran Sulthanul Awliya Maulana Syaikh Nazim Adil al Qubrusi al Haqqani an Naqshbandi, Oleh Dr. G.F. Haddad
Damascus, 12 Rabi’ul Awwal 1425 H – 1 Mei 2004
A’uudzu billahi minasy syaithanirrajiim, Bismillahirrahmanirrahiim
Allahumma salli ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘alaa aalihi wasahbihi wasallam
Segala puji dan syukur bagi-Mu, wahai Tuhan kami, yang telah membimbing kami pada samudera Rahmah dari Kebenaran-Mu dan Cahaya-Mu. Allahumma! Kirimkan barakah dan salam kedamaian bagi junjungan kami Muhammad, Penutup para Nabi dan Utusan-Mu, yang membawa Perjanjian Terakhir – Quran al-Karim, juga bagi keluarga beliau dan seluruh sahabat-sahabat beliau, dan pewaris-pewaris beliau, baik yang hidup di masa lalu, maupun masa kini, terutama pewaris dan wakil utama beliau di zaman ini.
Hamba yang lemah ini, Gibril ibn Fouad diminta untuk “menulis biografi dan artikel tentang kekasih kita Mawlana Syaikh Nazim dalam beberapa kata-kata Anda sendiri tentang kehidupan dan ajaran-ajaran beliau dan pengalaman Anda bersama beliau.” Bulan ini adalah bulan Rabi’ul Awwal 1425H (Mei 2004) adalah saat paling tepat untuk melakukan hal ini. Semoga Allah mengilhami baik penulis maupun pembaca tentang Mawlana Syaikh Nazim agar memiliki gambaran yang adil dan tepat terhadap Seseorang yang Mulia ini. Tak ada daya maupun kekuatan melainkan dengan-Nya. Sebagaimana Ia melingkupi kebodohan kita dengan Ilmu-Nya, semoga pula Ia melingkupinya dengan Rahmah-Nya, Amin! (Al-Hamdulillah, izin telah diperoleh dari Mawlana untuk merilis tulisan ini hari ini.).
Nama lengkap Mawlana adalah Muhammad Nazim ‘Adil ibn al-Sayyid Ahmad ibn Hasan Yashil Bash al-Haqqani al-Qubrusi al-Salihi al-Hanafi, semoga Allah mensucikan ruhnya dan merahmati kakek moyangnya. Kunya (nama panggilan) beliau adalah Abu Muhammad – dari nama anak laki-laki tertua beliau – selain itu beliau adalah pula ayah dari Baha’uddin, Naziha, dan Ruqayya.
Beliau dilahirkan di tahun 1341 H (1922 M) di kota Larnaca, Cyprus (Qubrus) dari suatu keluarga Arab dengan akar-akar budaya Tatar. Beliau mengatakan pada saya bahwa ayah beliau adalah keturunan dari Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani. Diceritakan pula pada saya bahwa ibu beliau adalah keturunan dari Mawlana Jalaluddin ar-Ruumi. Ini menjadikan beliau sebagai keturunan dari Nabi suci Muhammad Sall-Allahu ‘alaihi wasallam, dari sisi ayahnya, dan keturunan dari Sayyidina Abu Bakr al-Siddiq, radhiy-Allahu ‘anhu, dari sisi ibundanya.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Cyprus, Mawlana melanjutkan ke perguruan tinggi di Istanbul dan lulus sebagai sarjana Teknik Kimia. Di sana, beliau juga belajar bahasa Arab dan Fiqh, di bawah bimbingan Syaikh Jamal al-Din al-Alsuni (wafat 1375H/ 1955M) dan menerima ijazah dari beliau. Mawlana juga belajar tasawwuf dan Tariqah Naqshbandi dari Syaikh Sulayman Arzarumi (wafat 1368H/1948M) yang akhirnya mengirim beliau ke Syams (Syria).
Mawlana melanjutkan studi Syari’ah-nya ke Halab (Aleppo), Hama, dan terutama di Homs. Beliau belajar di zawiyyah dan madrasah masjid sahabat besar Khalid ibn Al-Walid (radhiy-Allahu ‘anhu) di Hims/Homs di bawah bimbingan Ulama besar-nya dan memperoleh ijazah dalam Fiqh Hanafi dari Syaikh Muhammad ‘Ali ‘Uyun al-Sud dan Syaikh ‘Abd al-Jalil Murad, dan ijazah dalam ilmu Hadits dari Muhaddits Syaikh ‘Abd al-‘Aziz ibn Muhammad ‘Ali ‘Uyun al-Sud al-Hanafi.
Perlu dicatat bahwa yang terakhir adalah salah satu dari sepuluh guru hadits dari Rifa’i Hafiz di Aleppo, Syaikhul Islam ‘Abd allah Siraj al-Din (1924-2002 M), yang duduk berlutut selama dua jam di bawah kaki Mawlana Syaikh ‘Abdullah Faiz Daghestani ketika yang terakhir ini mengunjungi Aleppo di tahun 1959 dan yang memberikan bay’at dalam Tariqah Naqshbandi pada Mawlana Syaikh Nazim, ketika Mawlana Syaikh Nazim mengunjunginya terakhir kali di Aleppo di tahun 2001, sebagaimana diriwayatkan pada saya oleh Ustadz Muhammad ‘Ali ibn Mawlana al-Syaikh Husayn ‘Ali dari Syaikh Muhammad Faruq ‘Itqi al-Halabi yang juga hadir pada peristiwa terakhir itu.
Mawlana Syaikh Nazim juga belajar di bawah bimbingan Syaikh Sa’id al-Siba’i yang kemudian mengirim beliau ke Damascus setelah menerima suatu pertanda berkaitan dengan kedatangan Mawlana Syaikh ‘Abdullah Faiz Ad-Daghestani ke Syria. Setelah kedatangan awal beliau ke Syria dari Daghestan di akhir tahun 30-an, Mawlana Syaikh ‘Abdullah tinggal di Damascus, tapi sering pula mengunjungi Aleppo dan Homs. Di kota yang terakhir inilah, beliau mengenal Syaikh Sa’id al-Siba’i yang adalah pimpinan dari Madrasah Khalid bin Walid. Syaikh Sa’id menulis pada beliau (Mawlana Syaikh Abdullah), “Kami mempunyai seorang murid dari Turki yang luar biasa, yang tengah belajar pada kami.” Mawlana Syaikh ‘Abdullah menjawab padanya, “Murid itu milik kami; kirimkan dia ke kami!” Sang murid itu adalah guru kita, Mawlana Syaikh Nazim, yang kemudian datang ke Damascus dan memberikan bay’ah beliau pada Grandsyaikh kita di tahun antara 1941 dan 1943.
Pada tahun berikutnya, Mawlana al-Shaykh ‘Abdullah pindah ke rumah baru beliau yang dibeli oleh murid Syria pertamanya, dan khalifahnya yang masih hidup saat ini, Mawlana Syaikh Husayn ibn ‘Ali ibn Muhammad ‘Ifrini al-Kurkani ar-Rabbani al-Kurdi as-Syaikhani al-Husayni (lahir 1336H/1917M) – semoga Allah mensucikan ruhnya dan merahmati kakek moyangnya – di Qasyoun, suatu gunung yang menghadap Damascus, yang Allah Ta’ala berfirman tentangnya; “Demi Tin dan buah Zaitun! Demi Bukit Sina!” (QS. 95:1-2). Qatadah dan al-Hasan Al-Basri berkata, “At-Tiin adalah Gunung di mana Damascus terletak [Jabal Qasyun] dan Zaitun adalah Gunung di mana Jerusalem terletak.” Diriwayatkan oleh ‘Abd al-Razzaq, al-Tabari, al-Wahidi, al-Bayzawi, Ibn al-Jawzi, Ibn Katsiir, al-Suyuti, as-Syaukani, dll., semua dalam Tafsir-tafsir mereka.
Mawlana Shaykh Nazim juga membeli sebuah rumah dekat rumah Grandsyaikh dan bersama Mawlana Syaikh Husayn, membantu membangun Masjid al-Mahdi, Masjid Grandsyaikh, yang akhir-akhir ini diperbesar menjadi sebuah Jami’, di mana di belakangnya terletak maqam dan zawiyyah Grandsyakh, di tempat mana, hingga saat ini, makanan dan sup ayam yang lezat disiapkan dalam kendi-kendi yang besar dan dibagi-bagikan bagi kaum fuqara dan miskin dua kali dalam seminggu.
Mawlana Syaikh Nazim tinggal di Damascus sejak pertengahan tahun 1940-an hingga awal 1980-an, sambil sesekali melakukan perjalanan untuk belajar atau sebagai wakil dari Grandsyaikh, hingga Grandsyaikh wafat di tahun 1973. Setelah tahun itu, Mawlana tinggal di Damascus beberapa tahun sebelum kemudian pindah ke Cyprus.
Jadi, Mawlana, yang asli Cypriot, dan Grandsyaikh, yang asalnya Daghistani, keduanya telah menjadi penduduk Damascus “Syamiyyun” dan tinggal di distrik orang-orang salih (as-saalihiin) yang disebut Salihiyya! Tak ada keraguan lagi, bahwa pentingnya Damascus bagi Mawlana dan Grandsyaikh adalah karena Syam adalah negeri yang penuh barakah dan terlindungi melalui para Nabi dan Awliya’.
Imam Ahmad dan murid beliau, Abu Dawud meriwayatkan dengan isnad (rantai) yang sahih bahwa Nabi suci sall-Allahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kalian harus pergi ke Syam. Tempat itu telah terpilih secara Ilahiah oleh Allah di antara seluruh tempat di bumi-Nya ini. Di dalamnya Ia melindungi hamba-hamba pilihan-Nya; dan Allah Ta’ala telah memberikan jaminan padaku berkenaan dengan Syam dan penduduknya!” Imam al-Nawawi berkata dalam kitab beliau Irsyad Tullab al-Haqa’iq ila Ma’rifati Sunan Khayr al-Khala’iq (s): “Hadits ini berkenaan dengan fadillah (keistimewaan) yang besar dari Syams dan merupakan suatu fakta yang dapat teramati!”
Direktur pimpinan Dar al-Ifta’ (secara literal bermakna “Rumah Fatwa”, maksudnya Majelis Fatwa seperti MUI di Indonesia, penerjemah) di Beirut, Lebanon, Syaikh Salahud Diin Fakhri mengatakan pada saya di rumah beliau di Beirut dan menulis dengan tangan beliau kepada diriku: “Pada suatu pagi di hari Ahad, 20 Rabi’ul Akhir 1386 H, bertepatan dengan hari Minggu 7 Agustus 1966 M, kami mendapat kehormatan untuk mengunjungi Syaikh ‘Abd Allah al-Daghistani – rahimahullah (semoga Allah merahmatinya) – di Jabal Qasyun di Damascus atas inisiatif serta disertai pula oleh Mawlana al-Syaikh Mukhtar al-‘Alayli – rahimahullah – Mufti Republik Lebanon saat itu; [yang adalah pula paman dari Syaikh Hisham Kabbani, penulis], Syaikh Husayn Khalid, imam dari Masjid Nawqara; Hajj Khalid Basyir – rahimahumallah (semoga Allah merahmati keduanya); Syaikh Husayn Sa’biyya [saat ini direktur dari Dar al-Hadits al-Asyrafiyya di Damascus]; Syaikh Mahmud Sa’d; Syaikh Zakariyya Sya’r; dan Hajj Mahmud Sya’r.
Syaikh Abdullah menerima kami dengan amat baik dan penyambutan yang ramah serta penuh kebahagiaan dan kegembiraan. Syaikh Nazim al-Qubrusi – semoga Allah merahmati dan menjaga beliau – juga berada di situ saat itu! Kami duduk dari pukul sembilan di pagi hari hingga tiba panggilan adzan Dzuhur, sementara Syaikh (Grandsyaikh Abdullah Faiz ad-Daghestani, penerj.) – rahimahullah – menjelaskan tentang Syams (Syria), keutamaannya, kelebihan-kelebihannya yang luar biasa, dan bahwa tempat itu (Syams, penerj.) adalah tempat Kebangkitan dan bahwa Allah S.W.T. akan mengumpulkan seluruh manusia di dalamnya untuk penghakiman dan hisab. Beliau menyebutkan pula hal-hal yang membuat hati dan pikiran kami tersentuh dan tergerak, dikuatkan pula oleh pengaruh suasana distrik Salihiyya yang suci, dan beliau berbicara pula tentang hubungan yang tak terpisahkan – dalam praktik maupun dalam teori – antara tasawwuf dengan Syari’ah… Semoga Allah membimbing dan menunjukkan pada kita petunjuk-Nya dalam perkumpulan dan suhbat dengan Awliya’-Nya yang siddiq. Aamiin, yaa Rabbal ‘Aalamiin!”
Masih ada banyak lagi nama-nama Ulama dan Awliya’ Syams yang prestisius yang mencintai dan bersahabat dengan Syuyukh kita dalam periode keemasan tersebut, seperti Syaikh Muhammad Bahjat al-Baytar (1311-1396), Syaikh Sulayman Ghawji al-Albani (wafat 1378H), ayah dari guru kami, Syaikh Wahbi, Syaikh Tawfiq al-Hibri, Syaikh Muhammad al-‘Arabi al-‘Azzuzi (1308-1382H) Mufti dari Lebanon, dan Syaikh utama dari guru kami Syaikh Husayn ‘Usayran, al-‘Arif Syaikh Syahid al-Halabi, al-‘Arif Syaikh Rajab at-Ta’i, Syaikh al-Qurra’ (ahli qiro’at Quran, penerj.) Syaikh Najib Khayyata al-Farazi al-Halabi, al-‘Arif Syaikh Muhammad an-Nabhan, Syaikh Ahmad ‘Izz ad-Din al-Bayanuni, al-‘Arif Syaikh Ahmad al-Harun (1315-1382H), Syaikh Muhammad Zayn al-‘Abidin al-Jadzba, dan lain-lain – semoga Allah merahmati mereka semuanya!
Dari tiga puluh tahun suhbah (asosiasi) yang barakah antara Mawlana dan Grandsyaikh tersebut, muncullah Mercy Oceans (secara literal berarti Samudera Kasih Sayang, merujuk pada buku-buku lama kumpulan suhbat Mawlana Syaikh Nazim al-Haqqani q.s., penerj.) yang tak tertandingi, yang hingga kini masih tersebar pada setiap salik/pencari dengan judul-judulnya: Endless Horizons (“Cakrawala Tanpa Batas”), Pink Pearls (“Mutiara Merah Muda”), Rising Suns (“Matahari Terbit”). Tak ada keraguan lagi, kumpulan-kumpulan suhbat awal tersebut adalah tonggak-tonggak utama dari seruan da’wah Islam seorang diri Mawlana Syaikh Nazim di Amerika Serikat dan Eropa, dengan karunia Allah SWT!
Semoga Allah S.W.T. melimpahkan lebih banyak barakah-Nya pada Mawlana Syaikh Nazim dan mengaruniakan pada beliau maqam-maqam tertinggi yang pernah Ia S.W.T. karuniakan bagi kekasih-kekasih-Nya, berdekatan dengan junjungan kita, Sayyidina Muhammad sall-Allahu ‘alaihi wa aalihi wasallam, yang bersabda: “Jika seseorang melakukan perjalanan untuk mencari ilmu, Allah akan membuatnya berjalan di salah satu dari jalan-jalan Surga, dan para Malaikat akan merendahkan sayap mereka karena bahagia dan gembira pada ia yang mencari ilmu, dan para penduduk langit dan bumi serta ikan-ikan di kedalaman lautan akan memohonkan ampunan bagi seorang pencari ilmu! Keutamaan dari seorang yang berilmu atas orang beriman kebanyakan adalah bagaikan terangnya bulan purnama di kegelapan malam atas segenap bintang-gemintang! Ulama adalah pewaris-pewaris para Nabi, dan para Nabi tidaklah memiliki dinar maupun dirham, mereka hanya meninggalkan ilmu dan pengetahuan; dan ia yang mengambilnya sungguh telah mengambil bagian yang banyak!”
Tempat pertama yang kudatangi untuk mencari pengetahuan Nabawi (pengetahuan kenabian) ini adalah London di bulan Ramadan 1411 H, setelah aku bersyahadat an laa ilaaha illa Allah (bahwa tiada tuhan selain Allah), Muhammadun Rasulullah (Muhammad adalah utusan Allah). Di sanalah, aku meraih tangan suci Mawlana untuk pertama kali dan melakukan bay’ah (sumpah setia) setelah diperkenalkan pada Tariqah ini oleh menantu beliau, dan khalifah beliau di Amerika Serikat, Syaikh Hisham Kabbani, semoga Allah membimbingnya dan membimbing seluruh sahabat-sahabat Mawlana!
Aku mengunjungi Mawlana beberapa kali di rumah beliau di Cyprus dan melihat pula beliau di Damascus. Di antara hadiah Suhba yang diberikan Mawlana adalah pada dua minggu terakhir di bulan Rajab di tahun 1422H – Oktober 2001 – di rumah dan zawiyah beliau di kota Cypriot Turki, Lefke. Catatan akan pengalaman ini telah ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris, serta diterbitkan dengan judul Qubrus al-Tarab fi Suhbati Rajab atau Kebahagiaan Cyprus dalam Suhbat.
Pada saat itulah, dan juga saat-saat kemudian, selama dua kunjungan terakhirnya ke Amerika Serikat, ke Inggris, di Cyprus, dan Damascus, aku mendapatkan dari Mawlana, petunjuk agung yang sama bagi setiap pencari kebenaran: “Tujuan kita adalah untuk melindungi serta melukiskan Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wa aalihi wasallam dan sifat-sifat beliau yang luhur dan agung, baginya sholawat dan salam serta bagi ahli-bait dan sahabat-sahabat beliau; yang untuk ini Allah mendukung kita!”
Dari sini, aku mengerti bahwa Murid yang sesungguhnya dalam Tariqah Naqshbandi-Haqqani adalah sahabat, penolong dan pendukung dari setiap pembela Sayyidina Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam, dan adalah tugasnya untuk bersahabat dan berasosiasi dengan para pembela seperti itu karena mereka berada pada jalan Mawlana, tak peduli apakah mereka adalah Naqshbandi atau bukan.
Ketika seorang Waliyyu-llah yang telah berumur delapan puluh tahun-an di Johor, Malaysia, al-Habib ‘Ali ibn Ja’far ibn ‘Abd Allah al-‘Aydarus menerima kami di rumahnya di bulan Mei 2003, mengenakan pakaian yang tak pernah berubah sejak tahun 1940-an, beliau terlihat seperti Mawlana dalam segenap aspeknya, dan bahkan terlihat menyerupainya ketika beliau meminta maaf atas bahasa Arab-nya yang tak fasih. Ketika kami memohon du’a beliau bagi negeri-negeri kita yang terluka dan bagi penduduk-penduduknya, beliau menjawab, “Ummah ini terlindungi dan berada pada tangan-tangan yang baik, dan pada Syaikh Nazim telah kau dapati kebercukupan!”
Dus, dengan setiap perjumpaan dari murid yang sederhana dan rendah hati dari Mawlana dengan Awliya’ dari Ummat ini; Mereka (para Awliya’ tersebut) semuanya menunjukkan rasa hormat tertinggi serta kerendahhatian yang amat dalam bagi Mawlana dan silsilah beliau, sekalipun mereka secara harfiah (penampakan luar) berada pada jalan (tariqah) yang berbeda, seperti al-Habib ‘Ali al-‘Aydarus di Malaysia, Sayyid Muhammad ibn ‘Alawi al-Maliki di Makkah, al-Habib ‘Umar ibn Hafiz di Tarim, Sayyid Yusuf ar-Rifa’i di Kuwait, Syaikh ‘Isa al-Himyari di Dubai, Sayyid ‘Afif ad-Din al-Jailani dan Syaikh Bakr as-Samarra’i di Baghdad, as-Syarif Mustafa ibn as-Sayyid Ibrahim al-Basir di Maroko tengah, Grandmufti Syria (alm.) Syaikh Ahmad Kuftaro ibn Mawlana al-Syaikh Amin dan sahabat-sahabatnya Syaikh Bashir al-Bani, Syaikh Rajab Dib, dan Syaikh Ramazan Dib; Syuyukh Kattani dari Damascus; Syaikh (alm.) ‘Abd Allah Siraj ud-Din dan keponakan beliau Dr. Nur ud-Din ‘Itr; Mawlana as-Syaikh ‘Abd ur-Rahman as-Shaghuri; Dr. Samer al-Nass; dan guru-guru serta saudara-saudara kita lainnya di Damascus – semoga Allah selalu melindungi Damascus dan melimpahkan rahmat-Nya bagi mereka dan diri kita! Aku telah bertemu dengan setiap nama yang kusebut di atas kecuali Syaikh Siraj ud-Din dan mereka semua mengungkapkan tarazzi atas Mawlana as-Syaikh Nazim, mengungkapkan keyakinan atas ketinggian wilayah-nya (derajat kewaliannya) dan memohon do’a beliau atau do’a pengikut-pengikut beliau; “…Dan cukuplah Allah sebagai saksi. Muhammad itu adalah utusan Allah…” (QS. 48:28-29)
Sudah menjadi suatu aturan yang disepakati di antara Rijal-Allah ( Para Kekasih Allah) bahwa keragaman jalan ini adalah tema dandana, (maksudnya kira-kira “diperuntukkan bagi”) mereka yang belum terhubungkan (mereka yang belum mencapai akhir perjalanan, mereka yang belum mendapatkan ‘amanat’-nya), sementara mereka yang telah mawsul (“sampai”) semua berada pada satu jalan dan dalam satu lingkaran dan mereka saling mengetahui dan mencintai satu sama lain. Mereka akan berada di mimbar-mimbar cahaya di Hari Kebangkitan. Karena itu, kita, para Murid dari jalan-jalan (Turuq, jamak dari Tariqah) itu mestilah pula saling mengetahui, mengenal dan mencintai satu sama lain demi keridhaan Allah dan Nabi-Nya serta para Kekasih-Nya agar diri kita mampu memasuki cahaya penuh barakah tersebut dan masuk dalam lingkaran tertinggi dari suhba (persahabatan) dan jama’ah, jauh dari furqa (perpecahan) dan keangkuhan.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfriman: “Yaa Ayyuha l-ladziina aamanu t-taqu ul-laaha wa kuunuu ma’as sadiqiin” “Waha orang-orang beriman takutlah kalian akan Allah dan tetaplah berada [dalam persahabatan dan kesetiaan] dengan orang-orang yang Benar (Siddiqiin)!”; dan Nabi Suci kita sall-Allahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Aku memerintahkan pada kalian untuk memgikuti sahabat-sahabatku dan mereka yang mengikutinya (tabi’in, penerj.), kemudian mereka yang mengikutinya (tabi’it tabi’in, penerj.); setelah itu, kebohongan akan merajalela…Tapi kalian mestilah tetap berada pada Jama’ah dan berhati-hatilah dari perpecahan!”
Jama’ah inilah yang dilukiskan dalam suatu hadits mutawatir (diriwayatkan banyak orang, penerj.): Ia yang dikehendaki Allah untuk beroleh kebajikan besar, akan Ia S.W.T karuniakan padanya pemahaman yang benar (haqq) dalam Agama. Aku (mengacu pada Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam, penerj.) hanyalah membagikan dan adalah Allah yang mengkaruniakan! Kelompok itu akan tetap menjaga Perintah dan Aturan Allah, tak akan terlukai oleh kelompok yang menentang mereka, hingga datangnya Ketetapan Allah.”
Ya Allah, jadikanlah kami selalu bersyukur atas apa yang telah Kau karuniakan dan yang telah Rasul-Mu dan Habib-Mu bagikan!
Aku mendengar Mawlana Syaikh Nazim berkata beberapa kali atas nama guru beliau, Sultan al-Awliya’ Mawlana as-Syaikh ‘Abd Allah ibn Muhammad ‘Ali ibn Husayn al-Fa’iz ad-Daghestani tsumma asy-Syami as-Salihi (ca. 1294-1393 H) [1] :
Dari Syaikh Sharaf ud-Din Zayn al-‘Abidin ad-Daghestani ar-Rashadi (wafat 1354 H) dari paman maternal (dari sisi ibu) beliau, Syaikh Abu Muhammad al-Madani ad Daghistani al-Rashadi [2], dari Syaikh Abu Muhammad Abu Ahmad Hajj ‘Abd ar-Rahman Effendi Ad-Daghistani ats-Tsughuri (wafat 1299 H) [3], dari Syaikh Jamal ud-Din Effendi al-Ghazi al-Ghumuqi al-Husayni (wafat 1292 H) [4], juga (keduanya baik ats-Tsughuri maupun al-Ghumuqi) dari Muhammad Effendi ibn Ishaq al-Yaraghi al-Kawrali (wafat 1260 H) [5], dari Khass Muhammad Effendi as-Shirwani ad-Daghestani (wafat 1254 H) [6], dari Syaikh Diya’uddin Isma’il Effendi Dzabih Allah al-Qafqazi as-Shirwani al-Kurdamiri ad-Daghestani (wafat ), dari Syaikh Isma’il al-Anarani (wafat 1242 H), dari Mawlana Diya’uddin Khalid Dzul-Janahayn ibn Ahmad ibn Husayn as-Shahrazuri al-Sulaymani al-Baghdadi al-Dimashqi an-Naqshbandi al-‘Utsmani ibn ‘Utsman ibn ‘Affan Dzun-Nurayn (1190-1242 H) dengan rantai isnadnya yang masyhur hingga Shah Naqshband Muhammad ibn Muhammad al-Uwaysi al-Bukhari yang berkata:
“Tariqah kami adalah SUHBAH (persahabatan) dan kebaikannya adalah dalam JAMA’AH (kelompok)”
Semoga Allah meridhoi diri mereka semuanya, merahmati mereka, dan mengaruniakan pahala-Nya bagi mereka, dan memberikan manfaat bagi kita lewat mereka melalui telinga kita, kalbu-kalbu kita, dan keseluruhan wujud diri kita, Amin!
Beberapa kritik dari “Calon Sufi” atas Tariqah Haqqani mengatakan atas tariqah kita dengan apa yang mereka sebut sebagai “kurang dalam sisi ilmu”. Seorang Sufi yang teliti akan menjadi orang terakhir yang mengatakan kritik yang menyesatkan seperti itu! Semestinya mereka menjadi orang-orang pertama yang mengetahui bahwa ilmu, sebagai ilmu saja, tidak hanya tanpa manfaat, tapi juga dapat menjadi perangkap mematikan yang mengarah kepada kebanggaan syaithaniyyah. Tak ada maaf baik bagi ia yang sombong dengan ilmunya, maupun ia yang bodoh; hanya Sufi yang penuh cinta, ketulusan, serta bertaubat-lah, walau memiliki kekurangan dalam ilmu dan adabnya, yang lebih dekat pada Allah Ta’ala dan pada Mak’rifatullah (pengenalan akan Allah) daripada seorang Sufi berilmu yang menyimpan dalam kalbunya kebanggaan sekalipun hanya setitik debu. Semoga Allah melindungi diri kalian dan diri kami!
Ibrahim al-Khawwass berkata bahwa ilmu (pengetahuan) bukanlah untuk mengetahui banyak hal, tapi untuk menaati Sunnah dan mengamalkan apa yang diketahui sekalipun itu hanya sedikit. Imam Malik berkata bahwa ilmu bukanlah untuk mengetahui banyak hal, tapi ia adalah cahaya Allah yang Ia timpakan pada hati. Imam as-Syafi’I berkata bahwa ilmu bukanlah untuk mengetahui bukti dan dalil, melainkan untuk mengetahui apa yang bermanfaat.
Dan ketika seseorang berkata tentang Ma’ruf al-Karkhi (murid dari Dawud at-Ta’i, yang murid dari Habib ‘Ajami, murid dari Hasan al-Bashri; guru dari Sari as-Saqati, guru dari Sayyid Taifa Junayd al-Baghdadi), “Dia bukanlah seseorang yang amat alim (berilmu),” Imam Ahmad pun berkata, “Mah! Semoga Allah mengampunimu! Adakah hal lain yang dimaksudkan oleh Ilmu selain dari apa yang telah dicapai oleh Ma’ruf?!”
Kritik lain berisi keberatan atas Rabitah atau “Ikatan”, suatu karakteristik khusus dari Tariqah Naqshbandi. Lebih jelasnya, mereka yang mengkritik rabitah ini berkeberatan atas unsur tasawwur atau “Penggambaran” dalam Rabita yang meminta Murid untuk menggambarkan citra sang Syaikh dalam hatinya di permulaan maupun selama dzikir. Tapi Allah Ta’ala telah berfirman, “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [33:21] dan Ia S.W.T. berfirman pula, “Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; “[2:189] dan karena itulah kita datang kepada Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasalla melalui as-Siddiq radiy-Allahu ‘anhu, dan datang kepada yang terakhir ini melalui Salman radiy-Allahu ‘anhu, dan masuk kepada yang terakhir ini melalui Qasim radiy-Allahu ‘anhu, dan kepada yang terakhir ini melalui Sayyid Ja’far ‘alaihissalam, dan seterusnya. Karena “Ulama adalah pewaris para Nabi", dapat dipahami bahwa sang Mursyid adalah teladan kita akan teladan dari Nabi tersebut (di ayat 33:21 di atas, penerj.) dan ia (sang Mursyid) mestilah seseorang di antara mereka yang atas mereka, Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian melihat mereka, kalian ingat akan Allah!” Hadits ini diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas , Asma’ bint Zayd, dan Anas (semoga Allah ridha atas diri mereka semua), juga dari Tabi’in Sa’id ibn Jubayr, ‘Abd al-Rahman ibn Ghanam, dan Muslim ibn Subayh.
Beberapa orang memprotes terhadap konsep fana’ sang Murid dalam diri Syaikh, atau fana’ fis-Syaikh. Mereka berkata, “Syaikhmu hanyalah seorang manusia; jadikanlah fana’mu pada diri Rasulullah!” Tapi, adalah salah untuk menyamakan sang Syaikh pembimbing sama seperti yang lain. Syaikh Ahmad Sirhindi berkata – qaddas-Allahu sirrahu: “Ketahuilah bahwa melakukan perjalanan (suluk) pada Tariqah yang paling Mulia ini adalah dengan ikatan (rabitah) dan cinta pada Syaikh yang kita ikuti. Syaikh seperti itulah yang berjalan di Jalan ini dengan keteguhan (istiqamah), dan ia tercelupi (insabagha) dengan segenap macam kesempurnaan melalui kekuatan daya tarik Ilahiah (jadzbah). Pandangannya menyembuhkan penyakit-penyakit hati dan konsentrasinya atau pemusatan pikirannya (tawajjuh) mengangkat habis cacat-cacat ruhani.
Pemilik dari kesempurnaan-kesempurnaan ini adalah Imam dari zaman ini dan Khalifah pada waktu itu sehingga ikatan kita (padanya) adalah (melalui) cinta, dan hubungan (nisba) kita dengannya adalah pencerminan dan pencelupan diri, tak peduli apakah diri kita dekat atau jauh (secara fisik darinya). Hingga kemudian sang murid akan tercelupkan dalam Jalan ini melalui ikatan cintanya pada sang Syaikh, jam demi jam, dan tercerahkan oleh pantulan cahaya-cahayanya. Dalam pola seperti ini, pengetahuan akan proses bukanlah suatu prasyarat untuk memberi atau menerima manfaat. Buah semangka matang oleh panas Sang Surya jam demi jam dan menghangat dengan berlalunya hari… Sang Semangka semakin matang, namun pengetahuan macam apakah yang dimiliki sang semangka akan proses ini? Apakah sang Surya bahkan mengetahui bahwa dirinya tengah mematangkan dan menghangatkan sang Semangka? Sebagaimana disebutkan di atas, berkeberatan atas konsep fana’ fis-Syaikh adalah berarti pula berkeberatan akan cinta pada sang Syaikh. Kita semua memiliki keinginan dan tujuan untuk mencintai Syaikh kita dan mengetahui bahwa ia-lah objek yang paling patut menerima cinta dan hormat kita di dunia ini.
Sebagaimana sang penyair berpuisi:
Atas kesetiaan padamu yang suci dan tuluslah, aku mengatakan:
Cinta atasmu terpahat dalam kalbu dari kalbu-kalbuku,
Sebagai suatu ukiran yang dalam [NAQSH], suatu prasasti kuno.
Tak kumiliki lagi kehendak [IRADA] apa pun, selain cintamu,
Tak pula dapat kuucapkan apa pun padamu, selain "aku cinta padamu".
Tentang hal ini, Mawlana berkata pada suatu kesempatan baru-baru ini: “Kita telah diperintahkan untuk mencintai orang-orang suci. Mereka adalah para Nabi, dan setelah para Nabi, adalah para pewaris mereka, Awliya’. Kita telah diperintahkan untuk beriman pada para Nabi, dan iman memberikan pada diri kita Cinta. Cinta membuat manusia untuk mengikuti ia yang dicintai. ITTIBA’ bermakna untuk mencintai dan mengikuti, sementara ITA’AT bermakna [hanya] untuk mengikuti. Seseorang yang taat mungkin taat karena paksaan atau karena cinta, tapi tidaklah selalu karena cinta.”
“Nah, Allah Ta’ala menginginkan hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya. Dan para hamba tidaklah mampu menggapai secara langsung cinta atas Tuhan mereka. Karena itulah, Allah Ta’ala mengutus, sebagai utusan dari Diri-Nya, para Nabi yang mewakili-Nya di antara para hamba-Nya. Dan setiap orang yang mencintai Awliya’ dan Anbiya’, melalui Awliya’ akan menggapai cinta para Nabi. Dan melalui cinta para Nabi, kalian akan menggapai cinta Allah Ta’ala.”
“Karena itu, tanpa cinta, seseorang tak mungkin dapat menjadi orang yang dicintai dalam Hadirat Ilahi. Jika kalian tak memberikan cinta kalian, bagaimana Allah Ta’ala akan mencintai kalian?” “Namun manusia kini sudah seperti kayu, yang kering, kayu kering, mereka menyangkal cinta. Mereka adalah orang-orang yang kering – tak ada kehidupan! Suatu pohon, dengan cinta, terbuka, bersemi dan berbunga di kala musim semi. Tapi kayu yang telah kering, bahkan seandainya tujuh puluh kali musim semi mendatanginya, tak akan pernah terbuka. Cinta membuat alam ini terbuka dan memberikan buah-buahannya, memberikan keindahannya bagi manusia. Tanpa cinta, ia tak akan pernah terbuka, tak akan pernah berbunga, tak akan pernah memberikan buahnya.”
“Jadi Cinta adalah pilar utama paling penting dari iman. Tanpa cinta, tak akan ada iman. Saya dapat berbicara tentang hal ini hingga tahun depan, tapi kalian harus mengerti, dari setetes, sebuah samudera!” (akhir suhbat Mawlana).
Dengan dan melalui Mawlana, Allah telah membuat segala macam hal yang sulit menjadi mudah. Kita amat bersyukur mengetahui beliau karena beliaulah jalan pintas bagi kita menuju nur/cahaya dalam Agama ini. Nur ini adalah tujuan dan sasaran dari setiap orang yang waras. Nur dan cahaya inilah yang dilukiskan dalam ayat yang Agung, “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakal-lah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” [2:269] Semoga Allah SWT mengaruniakan bagi diri kita hikmah ini dan menjaga diri kita pada Jalan yang telah Ia perintahkan dan Ia sukai bagi diri kita! Semoga Allah mengaruniakan pada Mawlana umur panjang dalam kesehatan dan mengaruniakan pada diri kita tingkatan (maqam) Murid yang Sejati demi kehormatan dari Ia yang paling terhormat, Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam!
Catatan:
[1] Ada beberapa variasi pendapat tentang tahun lahir Mawlana as-Syaikh ‘Abd Allah, berkisar dari 1284 H (dalam kitab at-Tariqah an-Naqshbandiyya, karangan Muhammad Darniqa) hingga 1294 H menurut murid tertua Syaikh ‘Abdullah, Mawlana as-Syaikh Husayn (dalam kitab at-Tariqat an-Naqshbandiyya al-Khalidiyya ad-Daghistaniyya, karangan Ustadz Muhammad ‘Ali ibn as-Syaikh Husayn) hinga 1303 H dalam kitab al-Futuhat al-Haqqaniyya, karangan Syaikh ‘Adnan Kabbani hingga 1309 H dalam buku The Naqshbandi Sufi Way, karangan Syaikh Hisham Kabbani.
[2] Beliau menerima pula Tariqah Qadiri dari Syaikh Ibrahim al-Qadiri (demikian pula Syaikh Jamaluddin) yang dengan bimbingannya, beliau memulai suluknya hingga Syaikh Ibrahim menyuruhnya ke Syaikh ats-Tsughuri, lihat ‘Ali, Tariqah Naqshbandiyya (halaman 229).
[3] lihat Hadaya al-Zaman fi Tabaqat al-Khawajagan an-Naqshbandiyya (halaman 375) karangan Shu’ayb ibn Idris al-Bakini. Beliau mengambil pula dari al-Yaraghi, lihat Sullam al-Wusul karangan Ilyas al-Zadqari, sebagaimana dikuti di Hadaya (halaman 378).
[4] Lihat Hadaya, al-Bakini (halaman 396). Beliau menerima Tariqa Qadiri dari Syaikh Ibrahim al-Qadiri dan memperkenalkan dzikir jahr dalam cabang Daghistani dari Naqshbandiyya melalui ijazah tersebut, lihat al-Bakini, Hadaya (halaman 396); ‘Ali, Tariqa Naqshbandiyya (halaman 229).
[5] Dan bukannya 1254 H, sebagaimana secara salah disebutkan di beberapa sumber. Koreksi ini dari ‘Ali, Tariqa Naqshbandiyya (halaman 214). Muhammad al-Yaraghi juga mengambil secara langsung dari Syaikh Isma’il as-Shirwani, lihat al-Bakini, Hadaya (hal. 350-351).
[6] Dari Shirwan di masa sekarang di Azerbaijan. Beliau wafat di Damascus dan dimakamkan di Jabal Qasyoun, di samping Mawlana Khalid dan Mawlana Isma’il al-Anarani yang merupakan penerus pertama Mawlana Khalid, yang wafat tujuhbelas hari setelah wafatnya Mawlana Khalid, keduanya karena wabah – semoga Allah merahmati mereka semua dan seluruh Syuhada’-Nya.
Link yang berhubungan:
Link yang berhubungan:
- Biografi Singkat Sulthanul Awliya Maulana Syeikh Nazim Adil al Qubrusi al Haqqani
- Perjalanan Spiritual Sulthanul Awliya Maulana Syeikh Nazim Adil al Qubrusi al Haqqani
Post a Comment Blogger Disqus