Mursyid Ke 8
Abu `Ali al-Farmadhi at-Tusi qaddasa-l-Lahu sirrah
Abu `Ali al-Farmadhi at-Tusi qaddasa-l-Lahu sirrah
"Wahai anak kecil! Kata Luqman yang Bijak,
Jangan biarkan ayam jago lebih waspada darimu,
memanggil Allah saat fajar saat Kau sedang tidur. "
Dia benar, dia yang mengatakan:
"Kura-kura menangis di cabangnya di malam hari
Dan aku tidur terus - berbohong, cinta palsu adalah milikku?
Jika aku adalah kekasih sejati, tidak akan ada kura-kura yang menyalipku.
Aku adalah pecinta Tuhan yang kering, sementara binatang menangis!"
Jangan biarkan ayam jago lebih waspada darimu,
memanggil Allah saat fajar saat Kau sedang tidur. "
Dia benar, dia yang mengatakan:
"Kura-kura menangis di cabangnya di malam hari
Dan aku tidur terus - berbohong, cinta palsu adalah milikku?
Jika aku adalah kekasih sejati, tidak akan ada kura-kura yang menyalipku.
Aku adalah pecinta Tuhan yang kering, sementara binatang menangis!"
Ghazali, Ayyuha-l-walad.
Beliau dipanggil sebagai seorang arif yang dermawan dan penjaga Cinta Ilahi. Beliau adalah seorang ulama dari Mazhab Syafi’i dan seorang arif yang unik (diberkati dengan ilmu spiritual). Secara mendalam beliau terlibat dalam Madrasah Salaf (para ulama dari abad pertama dan kedua) dan Madrasah Khalaf (ulama di masa berikutnya), tetapi beliau lebih dikenal di dalam Ilmu Tasawwuf. Darinya beliau mampu mengekstrak ilmu-ilmu surgawi yang disebutkan di dalam al-Qur’an ketika merujuk pada al-Khidr (a), “dan Kami telah mengajarkan kepadanya dari Ilmu Surgawi Kami.” [18:65].
Percikan cahaya jihad an-nafs (jihad melawan diri sendiri) dibukakan dalam kalbunya. Pada zamannya, beliau dikenal di mana-mana, sampai ia menjadi seorang syekh yang sangat terkenal di bidang Syariah dan teologi. Syekh yang paling terkenal di zaman beliau, yaitu as-Simnani berkata tentang dirinya,
“Ia adalah Lidah Khurasan dan syekhnya dan guru dalam mengangkat dan meninggikan maqam para pengikutnya. Asosiasinya bagaikan taman yang penuh bunga, ilmu mengalir dari kalbunya dan menarik hati para pendengarnya ke dalam maqam yang penuh kebahagiaan dan sukacita.”
Di antara guru-gurunya adalah al-Qusyairi, seorang Guru Sufi, dan al-Ghazali al-Kabir yang berkata mengenai beliau,
“Ia adalah Syekh di zamannya dan ia mempunyai cara yang unik untuk mengingatkan orang. Tidak ada yang melampauinya dalam hal kefasihan, kelezatan, etika, sopan santun, moralitas, maupun caranya dalam mendekati orang.”
Putra al-Ghazali al-Kabir, yakni Abu Hamid al-Ghazali, yang dijuluki Hujjat ul-Islam, banyak mengambil dari Syekh al-Farmadi dalam bukunya Ihya `Ulum ad-Din.
Suatu ketika beliau berkata, “Aku masuk di belakang guruku, al-Qusyairi ke sebuah pemandian umum, dan dari sumurnya aku mengambilkan seember air untuknya. Ketika guruku datang, beliau berkata, ‘Siapa yang membawa air dalam ember ini?’ Aku tetap diam karena aku merasa telah melakukan sesuatu yang kurang berkenan. Beliau bertanya lagi, ‘Siapa yang membawa air ini?’ Aku terus diam. Dan beliau bertanya sekali lagi, ‘Siapa yang telah mengisi ember ini dengan air?’ Akhirnya aku berkata, ‘Aku yang melakukannya wahai guruku.’ Beliau berkata, ‘Wahai anakku, apa yang aku terima selama tujuh puluh tahun, aku teruskan kepadamu dengan seember air.’ Itu artinya ilmu surgawi dan ilmu laduni yang telah beliau perjuangkan selama tujuh puluh tahun untuk mendapatkannya, beliau tuangkan ke dalam kalbuku hanya dalam sekilas pandangan mata.”
Mengenai perilaku terhadap guru, beliau berkata,
“Jika cintamu benar terhadap syekhmu, kau harus tetap menjaga penghormatan terhadapnya.”
Mengenai ru’ya, penglihatan spiritual, beliau berkata,
“Bagi seorang arif, akan tiba suatu waktu di mana cahaya ilmu akan mencapainya dan matanya akan melihat hal-hal yang luar biasa dari alam gaib.”
“Bagi yang berpura-pura bahwa ia dapat mendengar, namun ia tidak mampu mendengar tasbih burug-burung, pepohonan dan angin, maka ia adalah seorang pembohong.”
“Kalbu para ahlul Haqq adalah terbuka, dan pendengaran mereka juga terbuka.”
“Allah memberi kebahagiaan kepada hamba-hamba-Nya ketika mereka melihat para Awliya-Nya.”
Hal ini karena Nabi (s) bersabda, “Barang siapa yang memandang wajah Arifbillah (orang yang mengenal Allah), maka ia melihatku” dan juga “Barang siapa yang melihatku, berarti telah melihat Hakikat.” Oleh sebab itu para Guru Sufi menggunakan praktik berkonsentrasi pada wajah Syekh (tasawwur) untuk mencapai penglihatan terhadap Hakikat tersebut.
“Siapapun yang mengurusi perbuatan orang lain, ia akan kehilangan jalannya.”
“Siapapun yang lebih menyukai bergaul dengan orang-orang kaya daripada dengan orang-orang miskin, Allah akan mengirimkan kematian kepada kalbunya.”
Imam Ghazali melaporkan bahwa,
“Aku mendengar bahwa Abul Hasan al-Farmadi (q) berkata, ‘Sembilan puluh sembilan Sifat Allah akan menjadi sifat dan gambaran seorang salik di jalan Allah.’
Beliau wafat pada tahun 447 H./1084 M. Beliau dimakamkan di desa Farmad, sebuah desa di pinggir kota Tus. Beliau meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada Abu Yaqub Yusuf ibn Ayyub ibn Yusuf ibn Husayn al-Hamadani. (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/abu-ali-al-farmadi-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
Percikan cahaya jihad an-nafs (jihad melawan diri sendiri) dibukakan dalam kalbunya. Pada zamannya, beliau dikenal di mana-mana, sampai ia menjadi seorang syekh yang sangat terkenal di bidang Syariah dan teologi. Syekh yang paling terkenal di zaman beliau, yaitu as-Simnani berkata tentang dirinya,
“Ia adalah Lidah Khurasan dan syekhnya dan guru dalam mengangkat dan meninggikan maqam para pengikutnya. Asosiasinya bagaikan taman yang penuh bunga, ilmu mengalir dari kalbunya dan menarik hati para pendengarnya ke dalam maqam yang penuh kebahagiaan dan sukacita.”
Di antara guru-gurunya adalah al-Qusyairi, seorang Guru Sufi, dan al-Ghazali al-Kabir yang berkata mengenai beliau,
“Ia adalah Syekh di zamannya dan ia mempunyai cara yang unik untuk mengingatkan orang. Tidak ada yang melampauinya dalam hal kefasihan, kelezatan, etika, sopan santun, moralitas, maupun caranya dalam mendekati orang.”
Putra al-Ghazali al-Kabir, yakni Abu Hamid al-Ghazali, yang dijuluki Hujjat ul-Islam, banyak mengambil dari Syekh al-Farmadi dalam bukunya Ihya `Ulum ad-Din.
Suatu ketika beliau berkata, “Aku masuk di belakang guruku, al-Qusyairi ke sebuah pemandian umum, dan dari sumurnya aku mengambilkan seember air untuknya. Ketika guruku datang, beliau berkata, ‘Siapa yang membawa air dalam ember ini?’ Aku tetap diam karena aku merasa telah melakukan sesuatu yang kurang berkenan. Beliau bertanya lagi, ‘Siapa yang membawa air ini?’ Aku terus diam. Dan beliau bertanya sekali lagi, ‘Siapa yang telah mengisi ember ini dengan air?’ Akhirnya aku berkata, ‘Aku yang melakukannya wahai guruku.’ Beliau berkata, ‘Wahai anakku, apa yang aku terima selama tujuh puluh tahun, aku teruskan kepadamu dengan seember air.’ Itu artinya ilmu surgawi dan ilmu laduni yang telah beliau perjuangkan selama tujuh puluh tahun untuk mendapatkannya, beliau tuangkan ke dalam kalbuku hanya dalam sekilas pandangan mata.”
Mengenai perilaku terhadap guru, beliau berkata,
“Jika cintamu benar terhadap syekhmu, kau harus tetap menjaga penghormatan terhadapnya.”
Mengenai ru’ya, penglihatan spiritual, beliau berkata,
“Bagi seorang arif, akan tiba suatu waktu di mana cahaya ilmu akan mencapainya dan matanya akan melihat hal-hal yang luar biasa dari alam gaib.”
“Bagi yang berpura-pura bahwa ia dapat mendengar, namun ia tidak mampu mendengar tasbih burug-burung, pepohonan dan angin, maka ia adalah seorang pembohong.”
“Kalbu para ahlul Haqq adalah terbuka, dan pendengaran mereka juga terbuka.”
“Allah memberi kebahagiaan kepada hamba-hamba-Nya ketika mereka melihat para Awliya-Nya.”
Hal ini karena Nabi (s) bersabda, “Barang siapa yang memandang wajah Arifbillah (orang yang mengenal Allah), maka ia melihatku” dan juga “Barang siapa yang melihatku, berarti telah melihat Hakikat.” Oleh sebab itu para Guru Sufi menggunakan praktik berkonsentrasi pada wajah Syekh (tasawwur) untuk mencapai penglihatan terhadap Hakikat tersebut.
“Siapapun yang mengurusi perbuatan orang lain, ia akan kehilangan jalannya.”
“Siapapun yang lebih menyukai bergaul dengan orang-orang kaya daripada dengan orang-orang miskin, Allah akan mengirimkan kematian kepada kalbunya.”
Imam Ghazali melaporkan bahwa,
“Aku mendengar bahwa Abul Hasan al-Farmadi (q) berkata, ‘Sembilan puluh sembilan Sifat Allah akan menjadi sifat dan gambaran seorang salik di jalan Allah.’
Beliau wafat pada tahun 447 H./1084 M. Beliau dimakamkan di desa Farmad, sebuah desa di pinggir kota Tus. Beliau meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada Abu Yaqub Yusuf ibn Ayyub ibn Yusuf ibn Husayn al-Hamadani. (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/abu-ali-al-farmadi-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
Post a Comment Blogger Disqus