KETIKA WAFAT, JARINYA MASIH BERGERAK DZIKIR
Siapa menyangka bahwa ketua MUI pertama ini pernah berbaiat/mengambil talqin dzikir kepada Abah Anom, Mursyid Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyyah, Suryalaya.
Sebab awal Buya Hamka masuk Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah (TQN) adalah ketika pulang dari Mekkah. Kemudian ia datang ke Pondok Persantren Suryalaya (PPS) yang menurut penjelasannya "mendapat petunjuk Baginda Nabi Muhammad SAW".
Dalam petunjuk itu, ia diminta agar menjumpai seorang hamba Allah yang ikhlas. Ketika di Suryalaya, didapatinya seorang mursyid yang sangat bersahaja: tidak berjubah, tidak bersurban, dan tidak berjenggot, sebagaimana yang ada umumnya. Demikian juga para santrinya yang sederhana.
Ada cerita menarik mengenai pesan Abah Anom kepada Buya Hamka. Ceritanya: Setelah berada di Suryalaya untuk beberapa waktu, sampailah masa perpisahan. Dan ketika Buya Hamka hendak berpamitan pulang, Pangersa Abah memeluknya dan berkata:
“Ucapan jutaan terima kasih atas banyak ilmu yang telah dicurahkan, tetapi Abah mohon agar Buya mau mengatakan kepada Abah, bagaimana mengamalkan semuanya (ilmu yang disampaikan oleh Buya) itu. Abah sendiri juga tidak mampu, apalagi para santri. Mohon ditunjuki ya, Buya“, demikian kurang lebih kata Pangersa Abah.
Ketika itu juga Buya Hamka tersadar, sehingga dia menangis terisak-isak dan berlutut di hadapan Pangersa Abah. Buya sadar, ilmu yang banyak tidaklah berguna bila tidak diamalkan. Kemudian Buya malah minta ditunjukkan sebaik-baik amalan, sehingga akhirnya ditalqinkan kalimat yang agung: La ilaha illa Allah.
Ketika Buya Hamka berkunjung ke Singapura pada tahun 1981, ceramah di Masjid Muhajirin, masih teringat jelas kata-katanya dan penjelasannya yang menunjukkan beliau sudah berbaiát kepada Abah Anom. Dalam ceramahnya itu, beliau berkata:
“Dalam berzikir kepada Allah ada kaifiyatnya, kemana dipalingkan kepalanya, dari bawah dahulu kemudian ke atas, lalu ke kanan dan kemudian ke kiri. Bukan sembarangan mengeleng ketika lafaz nafi, meng ‘iya’ ketika lafaz isbat..,.".
Masih dari pembahasan yang sama, mantan Ketua Umum Fatayat NU yaitu Sri Mulyati menuturkan, Buya Hamka sendiri pernah berujar di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi Hampa.
Katanya lagi: “Saya tahu sejarahnya, saya tahu tokoh-tokohnya, tetapi saya tidak termasuk di dalamnya, karena itu saya mau masuk’’. Akhirnya ia masuk TQN, karena mungkin haus spiritual. Buya Hamka berkata: “Di antara makhluk dan kholik itu ada perjalanan yang harus kita tempuh. Inilah yang kita katakan thoriqoh.”
Di gambar tersebut terlihat jelas bahwa Abah Anom sedang memberikan sebuah tongkat dan jubah kebesaran untuk Buya Hamka.
Selanjutnya, sebelum akhir hayat, Buya Hamka sempat berkunjung secara khusus kepada Pangersa Abah. Maka, seminggu sebelum “masa” itu tiba, Pangersa telah memberikan pesan sebelum Buya pulang ke rumah, yaitu untuk menyelesaikan segala urusan wasiat kepada keluarga, dan kemudian agar memfokuskan pada tawajjuh dengan sepenuh hati, agar baik dan mulia di saat kembali kepada-Nya. Bahkan Pangersa Abah menyatakan, bahwa “masa” itu terjadi setelah shalat Jumat.
Subhanallah. Benar saja. Tepat setelah sholat Jumat, Buya Hamka kembali ke rahmatullah, dengan akhir kalamnya, yaitu kalimat ikhlas (laa ilaaha illallah). Terdapat keganjilan, di mana jari telunjuk kanan masih bergerak-gerak (sedang berdzikir khofi), sementara dokter telah menginformasikan kematiannya.
Ketika dilaporkan kepada Pangersa Abah, Abah kemudian memberi pesan yang dibawa seorang wakil. Wakil Pangersa Abah tersebut setelah sampai di tempat jenazah Buya Hamka, mengatakan: “Sudah sudah.., ruhmu sudah kembali.., dan jasadmu harus tenang. Jangan mencari adat”. Maka berhentilah jari itu dari mengikuti gerakan dzikir. Sungguh merupakan kematian yang sangat indah.
Dari sini kita dapat mengambil pelajaran yang sangat berharga bahwa hubungan antara murid dan guru tak akan terikat kecuali adanya hubungan batin di antara mereka. Orang yang mempunyai banyak ilmu, namun tak diamalkan sama saja dia tak memiliki apa-apa, karena ilmu tanpa diamal ibarat pohon yang tak berbuah.
Maka benar perkataan al-Ghazali: "Ilmu tanpa amal, gila; dan amal tanpa ilmu, sia-sia.” Oleh karenanya, salah satu cara untuk mengamalkan ilmu kita adalah dengan mengikuti tarekat. Sebab ini sebagai bukti pengaplikasian atas ilmu-ilmu yang telah kita miliki, yang mana di dalam tarekat itu senantiasa menekankan kedekatan hubungan antara hamba dengan Tuhannya.
;(
ReplyDelete