KISAH PERJUANGAN RADEN TUMENGGUNG SUMODININGRAT MELAWAN PENJAJAH BELANDA.
Mawlana Habib Luthfi Ziarah Makam Raden Tumenggung Sumodiningrat Wedono Lebet |
Beliau adalah putra Habib Thoha Bin Muhammad Qodli bin Thoha bin Muhammad bin Syeh bin Ahmad bin Yahya. Seorang ulama yang allamah dan sekaligus seorang pejuang yang gigih melawan penjajah Portugis. Dulu ketika beliau baru pulang dari tanah suci Mekah dan singgah di Malaka. Saat itu Malaka sedang melakukan pertempuran melawan Portugis. Oleh Sultan Malaka, Habib Thoha di minta untuk membantu mengusir penjajah Portugis. Beliau langsung bergegas menuju tepi pantai untuk memberi peringatan kepada kapten kapal perang Portugis agar tidak mendaratkan kapal perangnya ke pelabuhan, namun mereka mengabaikan peringatan dari beliau. Akhirnya dengan keramatnya Habib Thoha. Air laut yang sebelumnya tenang tiba-tiba berubah menjadi badai. Ombak besar setinggi pohon kelapa menggulung dan menghantam kapal perang Portugis dan membuatnya hancur berkeping-keping. Tapi anehnya tidak ada satu awak dan penumpang kapal yang tewas. Semuanya selamat mereka hanya pingsan dan terdampar di tepi pantai.
Salah satu kebiasaan Habib Thoha adalah mengenakan cadar, konon Wajah beliau kerap kali memancarkan cahaya yang sangat terang dan sangking terangnya pancaran cahaya wajah beliau tidak ada orang yang sanggup memandang wajah beliau. Habib Thoha wafat di Penang Malaysia dan di makamkan di sana.
Habib Hasan juga memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Keraton Yogyakarta. Karena beliau adalah menantu Sultan Hamengku Buwono II atau ipar dari Sultan Hamengku Buwono III (ayahnya Pangeran Diponegoro). Dengan demikian jika di tinjau dari hubungan kekerabatan. Raden Tumenggung Sumodiningrat atau Habib Hasan adalah paman dari Pangeran Diponegoro.
Perjuangan beliau melawan penjajah Belanda bermula di Banten. Saat itu Banten di pimpin oleh Sultan Rofiuddin. Habib Hasan di samping sebagai mufti kesultanan Banten beliau juga seorang pejuang yang gigih melawan penjajah Belanda. Atas kegigihan dan keberaniannya melawan penjajah beliau di juluki sebagai singa barong. Setelah berjuang di Banten beliau melanjutkan dakwah dan perjuanganya ke Pekalongan. Di sana beliau membangun pesantren di desa Ngledok. Beliau dan para santrinya terus melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Setelah itu beliau melanjutkan perjalananya ke Semarang.
Kisah keberanian dan kegigihan Habib Hasan melawan penjajah ternyata terdengar oleh Sultan Hamengku Buwono II. Dan membuat sang Sultan takjub atas kegigihan dan keberaniannya melawan penjajah. Akhirnya Habib Hasan di angkat menjadi menantu Sultan Hamengku Buwono II. Di samping sebagai menantunya Habib Hasan juga di angkat sebagai senopati agung Mataram.
Selaku panglima perang, Habib Hasan memimpin pasukan yang jumlahnya mencapai 15 ribu prajurit. yang terbagi menjadi 3 bagian. Lima ribu prajurit untuk pasukan darat. Dan lima ribunya lagi untuk pasukan laut. Dan sisanya untuk pasukan cadangan.
Habib Hasan bersama sahabatnya yaitu Raden Ronggo Prawirodirjo (ayah Raden Sentot Prawirodirjo) saling bahu membahu mempertahankan wilayah Yogyakarta dari agresi militer Belanda.
Berkat kecerdikan beliau dalam mengatur strategi perang. Belanda seringkali mengalami kegagalan utk menguasai wilayah Yogyakarta. Karena merasa kesal dengan Habib Hasan yang selalu menghalangi Belanda untuk menguasai wilayah Yogyakarta akhirnya Belanda menggunakan siasat licik mereka menyuruh orang-orang bayaran untuk menyamar sebagai Raden Tumenggung Sumodiningrat atau Habib Hasan. Orang-orang bayaran ini di tugaskan untuk gemar mabuk-mabukan dan main judi. Tujuannya adalah untuk menghancurkan reputasi dan nama baik beliau.dan supaya rakyat Mataram membenci sosok Raden Tumenggung Sumodiningrat atau Habib Hasan. Namun berkat kesigapan beliau dalam mengatasi masalah semua siasat licik Belanda untuk menghancurkan nama baiknya berhasil di gagalkan.
Semenjak Habib Hasan menetap di Mataram beliau mendirikan perguruan pencak silat.perguruan pencak silat ini di beri nama oleh beliau dengan nama pencak silat capit ular. Sebelum wafat, Habib Hasan menyerahkan perguruan pencak silatnya kepada putranya yaitu Habib Thoha Ciledug Cirebon (Penyusun Rotibul Kubro). Di bawah kepemimpinan Habib Thoha perguruan pencak silatnya di ganti namanya menjadi Sipedi.
Habib Hasan wafat pada tahun 1818 M. dan di makamkan di depan pengimaman masjid Al Hidayah Taman Duku Lamper Semarang.
Kisah ini di paparkan oleh Maulana Habib Luthfi bin Yahya pada pengajian Ramadhan Tahun 1434 H/2013 M. Sumber: Habib Shofwan Alwie Husein.
Post a Comment Blogger Disqus