Ketahuilah terputusnya makhluk dari Allah adalah karena bergantungnya mereka pada makhluk dan pada diri mereka serta fokus mereka pada perbuatan sendiri. Penyimpangan mereka dari aqidah yang benar disebabkan mereka telah menyalahi fitrah yang atasnya jiwa manusia diciptakan.
Selain itu, karena mereka teramat cinta pangkat - harta - dunia - kekuasaan - syahwat - panjang angan-angan, menunda amal, kikir, emosional, ujub, makanan, minuman dan pakaian yang buruk serta kerusakan dunia mereka dan dominasi syahwat atas hati mereka.
Juga karena mereka meninggalkan dan mengabaikan perjuangan melawan hawa nafsu, maka jiwa tersebut bergelimang syahwat dan kecerobohan, bergaya dihadapan manusia, serta menghiasi diri dengan sifat-sifat tercela seperti dengki, hasad - kebodohan - kedunguan - pamer dan kemunafikan. Termasuk juga jenis perusak hubungan dengan Allah adalah mendukung anggota badan untuk taat kepada selain Allah, seperti mata, pendengaran, lidah, tangan dan kaki (padahal semua itu akan dimintai pertanggungjawaban), malas, tidak sensitif, lalai dan sikap lainnya yang menjauhkan dari Allah SWT.
Selain al-Haq Semua Terhalang dari-Nya.
Ketahuilah, Kebergantungan bersama makhluk dan diri sendiri akan menghalangi seseorang dari kebenaran. Dan menganggap perbuatan sebagai hasil usaha kita merupakan perbuatan syirik. Sebab, perbuatan seorang hamba dari segi penciptaan dan sumbernya berasal dari Allah SWT, namun dari segi usaha ia berasal dari hamba itu, sehingga ia patut diberi pahala atas ketaatannya dan disiksa atas maksiat yang dilakukannya. Maka ketika seorang hamba berhubungan dengan sesuatu yang di situ ada kekuasaan Tuhan, maka itu disebut kasab (upaya). Inilah yang menjadi keyakinan Ahlussunnah.
Maka potensi seorang hamba adalah pada saat melakukan suatu perbuatan, bukan sebelumnya. Ketika seorang hamba melakukan suatu perbuatan, lalu Allah menciptakan kemampuan baginya untuk melaksanakannya, maka itu disebut usaha (kasab). Orang yang menisbatkan kehendak dan usaha kepada dirinya sendiri adalah penganut paham Qadariyah. Sedangkan orang yang meyakini keduanya sama sekali tidak berasal dari dirinya adalah penganut Jabariyah. Adapun orang yang menisbatkan kehendak kepada Allah dan usaha kepada hamba, maka ia seorang Sunni yang sufi dan lurus.
Sedangkan penyimpangan dari akidah yang benar, maka itu disebabkan oleh dominasi hawa nafs atas hati. Sebagian ulama berkata: “Tidak jarang suatu kaum diselamatkan oleh akidahnya, padahal amal mereka sangat sedikit. Tidak jarang pula suatu kaum celaka oleh akidahnya, padahal amal mereka sangat banyak.
Cinta jabatan, harta dan dunia merupakan racun yang mematikan. Sedangkan syahwat dapat menyebabkan takabbur dan terlena dengan dunia. Keduanya merupakan perusak agama. Panjang angan-angan menjadi penghalang untuk melakukan amal baik dan merintangi kebenaran. Sementara menunda-nunda amal merupakan godaan setan yang paling besar. Adapun kikir, mudah marah, mengagumi diri (‘ujub) termasuk penyakit yang membinasakan.
Makanan yang buruk dapat menggelapkan hati, mengeraskan hati dan menjauhkan dari Allah. Sedangkan makanan yang baik dapat menjadikan hati bersinar, mewariskan sikap lembut dan mendekatkan kepada Allah.
Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari rezeki yang Kami berikan kepada kalian.” (QS. 2: 172).
Yang dimaksud dengan makanan yang baik adalah makanan halal. Bersihkanlah makanan, minuman dan kenapa kamu tidak bangun malam dan puasa di siang hari? Makanan yang baik merupakan prinsip utama dalam perjalanan hidup seseorang. Meski seorang hamba mendirikan shalat malam, itu tidak bermanfaat baginya jika ia tidak memperhatikan apa yang masuk ke dalam perutnya. Orang yang paling cepat melewati jembatan di akhirat kelak adalah orang yang paling wara’ ketika di dunia.
Allah berkata: “Wahai hamba-Ku, berlaparlah, pasti engkau melihat-Ku. Bersikaplah wara’, pasti engkau mengenal-Ku. Bersihkanlah jiwamu, pasti engkau akan sampai kepada-Ku.”
Allah berkata: “Aku sangat malu menyiksa orang-orang yang wara’.”
Sebagian tokoh agama berkata: “Hendaklah kamu memiliki ilmu, senantiasa lapar, rendah hati dan banyak puasa. Sesungguhnya ilmu adalah cahaya yang dapat dipakai menerangi hati dan lapar adalah hikmah.”
Abu Yazid al-Busthami berkata: “Tidaklah aku lapar (puasa) sehari karena Allah, melainkan aku menemukan satu bab hikmah dalam hatiku yang sebelumnya belum pernah aku temukan.”
Rendah hati dapat menimbulkan ketenangan dan keselamatan. Puasa merupakan sifat shamadaniyyah (sifat kemandirian Allah) yang tiada bandingannya. Sebagaimana firman Allah: “Tiada sesuatu pun yang seperti-Nya.” (QS. 42:11).
Orang yang menghiasi diri dengan sifat tersebut, ia akan meraup ilmu, makrifat dan musyahadah. Itulah sebabnya Allah SWT berfirman: ”Semua amal anak Adam adalah miliknya, kecuali puasa, ia milik-Ku dan Akulah yang akan membalasnya.”
Sedangkan sibuk dengan dunia dan terdominasi hati oleh syahwat dapat menimbulkan berbagai sifat tercela. Tidak ada harapan sedikitpun dapat dekat dengan Allah, selagi sifat-sifat buruk tersebut tidak diganti dengan sifat-sifat terpuji. Utsman bin Affan RA berkata: “Jika hati bersih, ia tidak akan kenyang dari membaca al-Qur’an, sebab dengan kebersihan hati, ia akan bertemu dengan Sang Pembicara bukan yang lain-Nya.”
Ketahuilah bahwa selain al-Haq akan menjadi hijab dari-Nya. Kalau bukan karena kegelapan alam dunia, telah tampak cahaya ghaib. Jika tidak ada petaka diri, hijab-hijab akan terbuka. Jika tidak ada rintangan-rintangan itu, akan tersingkaplah berbagai hakikat. Kalau bukan karena cacat hati kita, akan tampak kekuasaan Allah. Jika tidak ada tamak, cinta akan mengakar. Kalau bukan karena jatah duniawi, akan terbakar jiwa orang-orang yang rindu. Jika hijab tersingkap, maka sebab-sebab tersebut akan menghilang, rintangan-rintangan akan sirna karena terputusnya keterkaitan ini.
Sebagian kaum ‘Arifin berkata: “Jika Allah menghendaki keburukan bagi seorang hamba, akan Dia tutup bagi hamba itu pintu amal dan Dia buka baginya pintu kemalasan.”
Bahwa seorang hamba tidak akan sampai kepada tingkat kedekatan, kecuali dia telah mampu memutus 6 rintangan:
- mencegah anggota badan dari menyalahi syariat.
- mencegah diri dari kebiasaannya sehari-hari.
- mencegah hati dari kebodohan manusiawi
- mencegah sirr dari kotoran-kotoran tabiat.
- mencegah ruh dari kabut-kabut inderawi
- mencegah akal dari khayalan-khayalan kosong.
Apabila mampu menghadapi rintangan pertama, maka ia akan meraih luapan-luapan hikmah hati.
Dari rintangan kedua, ia akan mampu menerawang rahasia-rahasia ilmu laduni.
Dari rintangan ketiga, akan tampak keajaiban-keajaiban alam munajat malakuti.
Dari rintangan keempat, ia akan menyaksikan kilauan cahaya-cahaya kedekatan.
Dari rintangan kelima, ia akan dapat menerawang kesaksian cinta.
Dari rintangan keenam, ia akan mampu terjun ke dalam taman hadirat kesucian.
Dari rintangan ketiga, akan tampak keajaiban-keajaiban alam munajat malakuti.
Dari rintangan keempat, ia akan menyaksikan kilauan cahaya-cahaya kedekatan.
Dari rintangan kelima, ia akan dapat menerawang kesaksian cinta.
Dari rintangan keenam, ia akan mampu terjun ke dalam taman hadirat kesucian.
Pada saat demikian, ia akan ghaib dari kelembutn insani yang ia saksikan dari ketebalan inderawi. Jika Dia menghendaki mengistimewakannya secara khusus, maka ia akan diberi minum dari sumur cinta dengan minuman yang apabila ia meneguknya, ia akan bertambah haus, rindu akan cita rasa, mengharap kedekatan, bergetar dalam ketenangan. Jika kemabukan ini menetap dalam diri seorang hamba tersebut, maka ia akan terkesima. Maka di sini ia akan menjadi murid. Bila ketersimaan telah menetap pada diri hamba itu, maka Dia akan mengambil hamba itu dari dirinya, dan melucuti hamba itu dari dirinya sendiri. Maka hamba tersebut menjadi terlucuti dan tertarik. Di saat itulah seorang hamba akan menjadi yang dicari (murad). Jika zat hamba itu telah fana, sifat-sifatnya telah hilang, ia akan terlebur dalam keabadian-Nya, serta diri hamba itu sudah lenyap dari dirinya sendiri, secara total diri hamba itu tercerabut dari dirinya sendiri –dengan-Ku ia mendengar dan dengan-Ku ia melihat- Dia (rabb) akan menjadi Sang Pengurus dan Tuanmu.
Jika hamba tersebut berkata, maka ia berkata dengan pengucapan-Nya.
Jika ia melihat maka ia melihat dengan cahaya-Nya.
Jika ia bergerak, maka ia bergerak dengan kuasa-Nya.
Jika ia memukul, maka ia akan memukul dengan limpahan kekuasaan-Nya.
Jika ia melihat maka ia melihat dengan cahaya-Nya.
Jika ia bergerak, maka ia bergerak dengan kuasa-Nya.
Jika ia memukul, maka ia akan memukul dengan limpahan kekuasaan-Nya.
Kalau sudah seperti itu, dualisme seorang hamba menghilang dan kejelasan menempat padanya. Jika pijakan hamba tersebut telah kokoh dan sirr hamba tersebut bersemanyam kuat di saat dia terhanyut, hamba tersebut berkata, “Dia!”
Jika perasaan rindu telah menguasai diri seorang hamba, batas keseimbangan terlewatkan dari batas kekukuhan, dia akan berkata, “Engkau!”
Dalam keadaan yang pertama telah menetap pada seorang hamba, sedangkan pada keadaan kedua ia terwarnai (berlebur dengan-Nya), pada saat itu, sangat sulit untuk mengukur rumusan kalimat ini.
- Imam Al Ghazali -
Post a Comment Blogger Disqus