Hakikat Nur Muhammad adalah Ar-Ruuhul A’dzom, dengan dimensi lain disebut sebagai Akal Pertama dan Hakikat Muhammadiyah atau An-Nafs al-Wahidah (Jiwa yang tunggal), yaitu yang pertama kali diciptakan oleh Allah swt. Atau disebut sebagai Khaliqah Akbar (ciptaan agung), disebut pula dengan Al-Jauhar an-Nurany (Inti cahaya). Jika dilihat dari segi inti segalanya disebut dengan jiwa yang tunggal, dan jika dipandang dari segi kecahayaan disebut sebagai Akal Pertama. Dalam fenomena semestanya memiliki sejumlah nama dan symbol, seperti Akal pertama, Al-Qolam yang luhur, An-Nuur, Jiwa yang tunggal dan Lauhul Mahfudz.
Syeikh Abdul Qadir al-Jilany mengutip hadits qudsy, ketika Allah menciptakan Ruh Muhammad dari Cahaya KemahaindahanNya, “Aku jadikan Muhammad dari Cahaya WajahKu.”
Sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw, “Awal ciptaan Allah adalah ruhku. Awal yang dicipta oleh Allah adalah cahayaku, dan awal yang dicipta Allah adalah Al-Qolam, dan awal yang dicipta Allah adalah Akal.” (HR. Abu Dawud).
Yang dimaksud dari keseluruhan (ruh, cahaya, qolam dan akal) adalah Hakikah Muhammadiyah. Disebut “cahaya” karena awal ciptaan itu bersih dari kegelapan Jalaliyah, sebagaimana firmanNya: “Telah datang padamu Nur dan Kitab dari Allah.” (QS. al-Maidah 15)
Lalu disebut sebagai “akal” karena posisinya mengenal semesta global. Dan sebut sebagai al-Qolam (pena), karena sebagai faktor transmitor pengetahuan, seperti pena yang memindahkan pengetahuan dari huruf-huruf.
Ruh Muhammadi adalah adalah simpul dari semesta ciptaanNya, sedangkan awal dan asal semesta ini, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Aku ini dari Allah dan semua orang beriman dari diriku.”
Dari Rasulullah saw, itulah semua ruh diciptakan di alam Lahut dalam bentuk hakikat paling sempurna. Dan Alam Lahut itu disebut dengan Al-Qathanul Ashly (Negeri primordial). Setelah berlangsung selama 4000 tahun, Allah swt menciptakan Arasy dari Cahaya Mata Muhammad saw, dan seluruh semesta ini berasal darinya. Kemudian dari Alam Lahut tadi diturunkan secara bertahap hingga di alam paling rendah yakni alam jasad, seperti dalam firmanNya, “Kemudian Kami turunkan secara bertahap sampai alam paling bawah“ (QS. At-Tiin: 5)
Pertama kali diturunkan dari Alam Lahut ke Alam Jabarut, dan Allah memberi pakaian dengan Nur Jabarut dengan pakaian dari dua tempat mulia yang disebut dengan Ar-Ruh as-Sulthany.
Dengan pakaian tersebut Allah menurunkan lagi ke Alam Malakut, lalu diberi pakaian dengan Cahaya Malakut yang dinamakan Ar-Ruh ar-Ruwany.
Kemudian Allah menurunkan ke Alam Mulki dan diberi pakaian dengan Cahaya Al-Mulki, yang disebut dengan Ar-Ruh al-Jismany (ruh jasad), baru kemudian Allah menciptakan berbagai jasad, sebagaimana firmanNya: “Darinya Kami ciptakan….” (QS. Thaha 55), lalu Allah swt, memerintahkan ruh-ruh tersebut masuk dalam jasad, maka masuklah ruh itu dengan perintah Allah Ta’ala, seperti difirmankan, “Dan Aku meniup di dalamnya dari RuhKu…”.
Ketika ruh-ruh tersebut berkait dengan jasad fisik, ia lupa pada janjinya kepada Allah di Hari Perjanjian (yaumul miitsaaq), di saat Allah swt berfirman, “Bukankah Aku ini Tuhanmu….” (QS. Al-A’raf 172), hingga kealpaannya membuatnya ia tidak mau kembali ke Negeri Asal (Al-Wathanul Asly).
Kemudian Allah swt, melimpahkan rahmatNya, lalu diturunkanlah Kitab Samawi untuk mengingatkan pada mereka yang alpa atas Negeri Sejatinya, sebagaimana firmanNya, “Ingatkan mereka akan Hari-hari Allah…” (QS. Ibrahim: 14), yakni hari-hari pertemuan dengan Allah swt dengan para arwah.
Para Nabi saw, semuanya datang ke dunia, dan pergi menuju akhirat disebabkan oleh peringatan itu. Sedikit jumlahnya yang sadar, kembali dan rindu atas Negeri Sejatinya. Sampai akhirnya Kenabian melimpah pada Ruh Agung al-Muhammady, sebagai pamungkas para Nabi (semoga sholawat dan salam paling utama dan kehormatan paling sempurna terlimpah padanya dan kepada para Nabi dan Rasul lainnya).
Allah mengutus mereka untuk menyadarkan mereka yang alpa, dari tidur kealpaannya menuju kesadaran jiwanya. Mereka diutus untuk mengajak manusia bertemu dengan Kemahaindahan Allah azza wa-Jalla. “Katakan, inilah jalanku, aku mengajakmu kepada Allah dengan matahati, aku dan orang yang mengikutiku… (QS. Yusuf: 108).
Matahati itulah disebut sebagai “mata ruh”, dibuka di Maqom Fuad bagi para Auliya’. Dan itu tidak bisa diraih menurut pengetahuan eksoterik (lahiriyah) namun dengan Ilmu esoteris (bathiniyah) Laduniyah, sebagaimana firmanNya: “Dan Kami ajarkan padanya ilmu dari SisiKu…” (QS. Al-Kahfi 65).
Maka sudah jadi kewajiban bagi manusia untuk mendapatkan matahati itu dari Ahli Batin dengan cara mengambil Talqin dari seorang Wali yang Mursyid, yang diambil dari Alam Lahut.
Nah, anda renungkan sendiri proses-proses luhur nan agung seperti itu. Dan kita harus segera bertaubat meraih ampunan Allah serta bersegera memasuki thariqah, agar kita kembali kepada Tuhan kita.
Sedangkan Lathifah Robbaniyah adalah hakikat-hakikat kelembutan Ilahi yang dilimpahkan dalam batin manusia, melalui NurNya, dan berujung menjadi aktivitas Ilahiyah dalam akhlak mulia manusia. Pertama kali melimpah pada Sirr (Rahasia Batin) kemudian memancar pada Qalbu, dan menggerakkan Ubudiyah sang hamba.
Post a Comment Blogger Disqus