(Telanlah Amarahmu, Lalu Cernalah)
Mawlana Shaykh Muhammad Nazhim `Adil Al-Haqqani An-Naqshbandi Al-Qubrusi
Lefke, Februari 2005
Bismillahirrahmannirahim
Bagi orang-orang di antara kita yang tubuh fisiknya telah "di atas bukit", maksud saya mereka yang telah berumur lebih dari lima puluh tahun, kita harus menghadapi kenyataan bahwa, tidak peduli betapa baiknya kita memelihara diri kita, kekuatan fisik kita akan melemah secara bertahap: sedikit demi sedikit kita akan mendekati kematian. Sedangkan bagi kondisi spiritual kita, tak ada batasan semacam itu, tak ada usia atau umur saat kekuatan spiritual berada pada kondisi maksimum-nya, lalu berkurang. Kekuatan spiritual akan berlanjut untuk tumbuh lebih kuat selama hidup kita, tapi kita mestilah memenuhi kondisi-kondisi yang diperlukan baginya untuk tumbuh, dan menyiangi sifat-sifat yang mengancam untuk mengganggu tanaman berharga itu.
Salah satu dari gulma (tanaman pengganggu) yang paling berbahaya, yang paling menjadi musuh dari pertumbuhan ruh spiritual kita adalah amarah yang dibangkitkan oleh kekosongan ego (nafsu) kita. Saat amarah timbul, ia akan membungkus cahaya hati, dan mengubahnya menjadi api. Cahaya dari Iman adalah cahaya murni dari Tuhan, tetapi ketika ia berubah menjadi api, cahaya itu tidak lagi menerangi, tetapi ia membakar. Saat kalian mendapati diri kalian diliputi amarah, kalian mestilah segera berlari ke sebuah cermin dan melihat wajah kalian sendiri. Bayangan yang buruk itu mestilah cukup untuk meredam amarah kalian:karena siapakah yang ingin dirinya terlihat seperti setan? Saat seseorang dalam keadaan marah, perbuatannya akan menjadi perbuatan syaitani -merusak dan merusak diri sendiri.
Grandsyaikh Abdullah Faiz menekankan perlunya meninggalkan amarah, karena ketika amarah dari ego nafsu mendominasi seseorang, ia mungkin malah akan menyangkal kedaulatan Tuhan, dan menaruh dirinya sendiri untuk memberontak melawan Dia Yang Esa Yang Maha Menguasai - dan hal ini sangatlah berbahaya. Amarah juga akan menyebabkan kerusakan pada tubuh fisik kita, menyebabkan penyakit dan ketuaan dini, terutama ketika suatu level amarah yang tinggi dipelihara dalam jangka waktu yang lama.
Sangat sedikit orang mampu melawan amarahnya ketika amarah itu menyerang mereka. Inilah mengapa, sangat sedikit orang yang mengalami kemajuan dalam ruhaniyah spiritualnya. Alasan dari mengapa amarah demikian sulit untuk ditaklukkan adalah semata karena amarah merupakan suatu bagian intrinsik dari tubuh fisik dan spiritual kita. Amarah terkait dengan elemen api dalam pembentukan diri kita, yang merupakan keseimbangan antara api, air, tanah, dan udara.
Hanya mereka yang telah terlatih sedari dini oleh orang tua atau guru yang "tercerahkan" akan belajar bagaimana untuk menempatkan elemen-elemen ini dalam keseimbangan. Sedangkan bagi sebagian besar orang, masing-masing dari unsur ini mungkin akan mendominasi dirinya pada kesempatan yang berbeda-beda menurut kondisi eksterior (luar) dan kecenderungan dalamnya, yang akan mengalihkan keseimbangan itu dari titik pusatnya.
Api akan menyala ketika dihadapkan pada provokasi dan gangguan atau pada usaha-usaha untuk menghalangi kehendak (dari sang anak). Karena hal-hal ini seringkali terjadi dalam kehidupan masa kecil kita, kita semua telah terbiasa untuk menjadi marah, dan ini sejak dari usia dini. Grandsyaikh kita juga menganjurkan agar kita melakukan Dzikir Khusus di malam hari untuk memperoleh kekuatan lebih dalam perjuangan kita melawan amarah. Saat kalian bangun pada sepertiga terakhir di malam hari dan melakukan salat sunnah Tahajud, dan setelah melakukan wudhu' terlebih dahulu, mulailah dengan menghadapkan wajahmu ke Baitullah (Ka'bah) dan mohonlah pada-Nya untuk membantumu dalam usahamu menaklukkan amarah.
Lalu ulangilah seratus kali, "Ya Haliim" yang berarti "Wahai (Allah yang) Maha Penyantun dan Lambat dalam Murka". Nama ini, al-Haliim, adalah suatu sifat Ilahiah dari Allah yang Ia inginkan untuk dikaruniakan secara berlimpah pada diri kita, seandainya kita mencari dan menginginkannya. Langkah pertama adalah untuk meminta kepada Allah, dengan cara ini, untuk menolong kita menjadi pemaaf dan penyantun; kemudian kita mesti menafakkuri (merenungkan) Sifat Ilahiah itu, agar sifat itu pun terserap dalam diri kita.
Kita sebenarnya tengah menyerunya menjadi bagian diri kita. Berikutnya kita mesti melakukan latihan ini dalam kehidupan harian kita untuk lebih mencapai tujuan kita. Latihan ini, secara sederhana, adalah untuk tidak menunjukkan amarah, bahkan ketika kalian tengah merasakannya mendidih di dalam. Jangan muntahkan amarah itu keluar kepada mereka di sekelilingmu dan meracuni atmosfer sekelilingmu, bagaikan seekor naga yang menghembuskan api. Tahanlah di dalam, tapi bukan seperti seonggok makanan yang tak tercerna; tidak!, kalian mesti mencernanya.
Pada jumlah tertentu, amarah adalah bagian dan karunia pada setiap pribadi. Tanpa adanya bagian tertentu dari api itu dalam pembentukan diri kita, kita akan mati; karena itu, adalah mungkin bagi kita untuk mencerna sejumlah tertentu amarah tanpa menderita efek sampingan yang buruk. Tentu saja, jika kita tetap tak berubah dalam jangka waktu lama dan menelan jumlah amarah yang sama, maka kita akan overdosis; tapi itu bukanlah kasus yang akan terjadi, karena dengan perjalanan waktu, jumlah amarah yang kita telan akan berkurang setahap demi setahap dalam proses belajar ini. Kemudian kita akan dikaruniai kemampuan untuk tidak bereaksi secara cepat atas suatu provokasi dengan amarah.
Maka, sebagaimana seorang bayi mula-mula meminum susu dalam jumlah yang banyak, kemudian secara bertahap makanan padat, dan mengurangi konsumsi susunya secara drastis; maka kita pun dapat menelan dan mencerna amarah, dengan pengetahuan penuh bahwa bentuk lain dari rezeki sebagai ganti dari amarah akan segera datang. Jika kalian mampu untuk menahan diri dari menunjukkan amarah selama empat puluh hari, maka kalian akan melampaui suatu titik sejarah baru.
Saat amarah itu menyerangmu, kalian mesti menghindarinya, dan saat ia akan keluar dari dirimu, kalian mesti menelannya. Jika kalian dapat berhasil menghindarinya selama empat puluh hari, maka amarah akan mulai mereda menyerangmu dalam frekuensi yang lebih jarang: satu kali setiap empat puluh hari. Jika kalian mampu untuk menjaga diri kalian dalam sikap seperti ini selama empat puluh hari pertama, dan seterusnya, kemudian meningkat menghadapi empat puluh serangan berikutnya (empat puluh periode dari empat puluh hari, sekitar lebih dari empat tahun), maka Setan akan mengumumkan pada bala tentaranya: "Tak perlu mengganggu orang itu; kalian hanya membuang waktu dan energi. Pertahanannya tak tertembus: seribu kali serangan sama sia-sianya dengan satu kali serangan. Biarkan dia sendiri, dia telah lari dari tangan kita".
Pembantu dan balatentara setan adalah nafsu yang egois, keinginan-keinginan kosong dan keduniawian: ini adalah empat musuh-musuh besar. Dan siapa yangbelajar untuk mengendalikan amarahnya akan menang melawan pengaruh-pengaruh dasar ini. Kapan saja kalian merasa amarah tengah muncul, kalian mesti waspada bahwa kalian tengah diuji. Ujian-ujian seperti itu dikirim kepada kita dari dunia spiritual untuk menguji kepercayaan amanah mu. Peristiwa-peristiwa yang tak disukai dikirim dari hakikat itu agar kalian memiliki kesempatan untuk bersikap penyantun dan pemaaf, hingga kalian pun mampu maju menuju tujuan kalian.
Seandainya tak ada manfaat dalam amarah, tentu ia tak akan pernah ada. Manfaat amarah akan dijumpai ketika kita dapat bersikap sabar ketika kita dihadapkan dengannya. Tanpa melalui ujian ini tak akan pernah ada kemajuan. Sikap penyantun dan pemaaf adalah suatu kunci menuju Maqam-maqam Ilahiah, dan kunci itu dicetak dengan menghadapi peristiwa-peristiwa tak mengenakkan dengan kesabaran dan pengendalian amarah. Jadi, amarah adalah pedang bermata dua: jika kalian dapat memegang gagangnya dengan kokoh, kalian akan mampu menyingkap tirai yang membutakan mata hatimu, tapi jika ia berada di tangan musuh-musuhmu, iman-mu pun dalam keadaan bahaya.
Wa min Allah at Tawfiq
Post a Comment Blogger Disqus