Suatu hari Abban bin Ayyasy berjalan-jalan di Bashrah, salah satu kota di Irak. Di tengah-tengah perjalanannya itu, tiba-tiba ia melihat jenazah yang diusung musala untuk disalati. Namun sayang, jenazah itu hanya diiringi oleh 4 orang.
“Subhanallah... di pasar tempat ramainya orang ini, mengapa tidak banyak pengiringnya?,” dalam hati Abban merasa janggal. Maka itu kemudian ia turut serta mengiringi jenazah tersebut. Sesampainya di musala, ke-4 orang itu menunjuk Abban sebagai imam mereka.
“Silahkan Tuan jadi imamnya,” pinta mereka.
Namun demikian, Abban menolak, karena bukan kerabatnya. “Tidak, kalian yang lebih utama,” tukasnya.
“Kita semua ini sama, silahkan Tuan saja!”
Akhirnya, Abban pun mengiyakan menjadi imam salat jenazah itu saat itu. Setelah itu, Abban bertanya kepada 4 orang itu mengenai perihal si mayit. Ke-4 orang itu lalu menceritakan bahwa mereka disewa oleh seorang wanita, ibu si mayit. Saat itu ia juga hadir menyaksikan prosesi pemakaman.
Setelah prosesi pemakaman rampung wanita itu pulang sembari terawa terbahak-bahak. Tak tersirat sedikit pun perasaan duka dari raut wajahnya, sehingga Abban yang melihatnya jadi penasaran.
“Ceritakan! Apa yang membuatmu seperti ini?” tanya Abban.
Seraya menghentikan langkahnya, wanita itu menatap Abban dan berkata, “Dia adalah anakku yang sangat bejat. Saat masih hidup tak satu pun dosa kecuali ia lakukan. Suatu hari ia menderita sakit. Pada hari ke-3 ia berwasiat keapadaku, ‘Wahai ibu! Jika aku mati jangan kabarkan kematianku kepada para tetangga. Mereka tak mungkin sudi menghadiri jenazahku. Bahkan mereka pasti mencercaku dan merasa senang akan kematianku, karena selama ini aku membuat mereka resah. Tak henti-hentinya aku berbuat dzalim pada mereka. Dari itu, anakmu yang penuh dengan dosa-dosa memohon kepada ibu. Tuliskanlah lafadz لااله الا الله محمد رسول الله di cincin dan kain kafanku. Dengan ini aku berharap semoga Allah mengasihiku. Lalu letakkan kaki ibu pada pipiku, dan katakan “Ini adalah balasan orang yang durhaka terhadap Allah.” Bila aku sudah dikubur, angkat kedua tangan ibu, mohon kepada Allah SWT dan katakan, “Aku telah rida atas dirinya, maka aku mohon rida-Mu atas dia!”
“Setelah aku melakukan yang diwasiatkannya,” kata wanita itu mengisahkan, “Aku mendengar suara fasih, “Pulanglah wahai ibu, aku sekarang diterima di sisi-Nya yang Maha Mulia dan Penyayang dalam keadaan tidak dimurkai.”
Dari kisah ini kita dapat memetik pelajaran, bahwa sesungguhnya ahli maksiat yang merendahkan dirinya, menyadari akan perbuatannya, lebih baik daripada ahli ibadah yang sombong, bangga atas amal ibadahnya.
Sumber:
http://www.sidogiri.net
http://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2013/10/ahli-maksiat-yang-diridloi-allah.html
Post a Comment Blogger Disqus