Mendengar Lagu dan Syair
Dikisahkan, bahwa Nabi Daud as. ketika sedang membaca kitab Zabur, manusia dan jin, burung dan binatang buas selalu menyimaknya.
Rasulullah Saw bersabda tentang Abu Musa al-Asy’ary “Dia telah diberi seruling dari seruling Daud.” Dan Mu’adz berkata kepada Rasulullah Saw, “Bila engkau tahu, engkau mendengar, niscaya aku akan memperindahkannya untukmu dengan perhiasan yang benar-benar indah.”
Abu Bakr Muhammad ad-Dinawary ad-Duqqy mengisahkan: “Aku sedang berada di padang pasir, kebetulan aku berjumpa dengan kabilah Arab. Salah seorang di antara mereka menjamuku. Kulihat di sana ada seorang budak berkulit hitam sedang diikat dan aku juga melihat beberapa unta yang mati di halaman rumah. Budak itu berkata padaku, “Anda malam ini sebagai tamu. Dan Anda di mata tuanku sungguh mulia. Karena itu tolonglah aku. Dia pasti tidak bisa menolak.”
Maka, kukatakan kepada pemilik rumah, “Aku tak mau menyantap makananmu, kecuali Anda mau melepaskan ikatan pada budak ini.”
Maka tuan si budak itu menjawab, ‘Si budak ini telah memiskinkan dan menghancurkan hartaku.’
Aku bertanya, “Apa yang dilakukan?”
Dia menjawab, “Budakku ini memiliki suara yang merdu. Sedangkan aku hidup dari tenaga unta-unta ini. Lalu unta ini dibebani dengan beban yang amat berat, dan berjalan kencang hingga menempuh perjalanan yang seharusnya ditempuh tiga hari, hanya sehari saja ditempuhnya. Ketika beban-beban itu diturunkan unta-unta itu pun mati semua. Tapi terserah padamu!’
Tali yang mengikat budak itu pun di lepas. Esok harinya aku ingin mendengarkan suaranya yang konon merdu itu. Si budak itu diperintah untuk menghalau unta dengan nyanyian merdunya, menuju sebuah sumur di ujung sana yang biasa untuk tempat minumnya. Si budak itu pun menghalaunya. Dan unta itu pun menoleh ke arah wajahnya, sembari membetot tali yang mengikatnya hingga putus.
Sungguh aku tak menduga, kalau aku telah mendengarkan suara yang amat merdu, kemudian unta itu menderum ke arahku, sampai akhirnya si budak itu mengisyaratkan agar diam.
Al-Junayd ditanya, “Bagaimana suasana orang yang kondisinya tenang, lalu ketika mendengarkan Sama’ tiba-tiba hatinya risau.” Maka, al Junayd menjawab, “Sesungguhnya Allah Swt. ketika berfirman kepada benih dalam perjanjian pertama, melalui firman-Nya, Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Benar (Engkau Tuhan kami) - sehingga arwah menjadi segar mendengarkan Kalam. Ketika mereka mendengarkannya, ingatan akan Sama’ tersebut telah menggerakkan mereka.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Sama’ itu haram bagi orang awam, karena nafsunya masih ada. Sementara diperbolehkan bagi orang-orang zuhud, sebab dengan Sama’ mereka meraih mujahadahnya. Seperti bagi kalangan kita, sangat dianjurkan, karena bisa membuat hati mereka hidup.”
Al-Harits bin Asad al-Muhasiby berkata, “Tiga perkara, bila kita menjumpainya, kita merasa nikmat, dan pada ketiganya kita telah kehilangan wajah yang bagus dengan disertai perlindungan; suara merdu disertai sikap religius; dan persaudaraan yang baik disertai tepat janji.”
Dzun Nuun al-Mishry ketika ditanya tentang suara merdu, beliau menjawab, “Perkataan-perkataan dan isyarat-isyarat yang dititipkan Allah kepada setiap laki-laki yang baik dan perempuan yang baik.” Ditanya pula tentang Sama’, jawabnya, “Bisikan Haq yang membangkitkan kalbu kepada Yang Haq. Siapa yang menyimak penuh perhatian dengan sebenarnya akan nyata benar. Dan siapa yang menyimak dengan nafsu, akan menjadi Zindiq.”
Al-Junayd berkata, “Kasih sayang akan turun kepada orang-orang sufi dalam tiga tempat:
Ketika sedang Sama’. Sebab mereka tidak menyimak kecuali dari suara yang benar dan mereka tidak berbicara kecuali dari intuisi.
Dan ketika mereka makan makanan, mereka tidak makan kecuali ketika lapar;
Ketika mereka sedang meraih ilmu, mereka tidak mengingat-ingat kecuali ingat pada sifat para wali.
Al Junayd berkata, “Sama’ bisa menjadi fitnah bagi yang berambisi. Dan menjadi ringan bagi yang menjumpainya.”
Dia juga berkata, “Sama’ butuh tiga hal: Zaman, tempat dan sejumlah teman.”
Dulaf as-Syibly ditanya mengenai Sama’, dia menjawab, “Secara lahiriah adalah fitnah, sedangkan batinnya adalah pelajaran. Siapa yang mengena isyarat, ia boleh menyimak pelajaran. Jika tidak, berarti ia mengundang fitnah dan menawarkan terhadap bencana.”
Dikatakan, ”Sama’ tidak layak, kecuali pada orang yang nafsunya telah mati dan hatinya telah hidup. Nafsunya disembelih dengan pedang mujahadah, sedang hatinya dihidupkan oleh cahaya keserasian (dengan
Allah Swt).”
Abu Ya’qub Ishaq an-Nahrajury ditanya soal Sama’, dia menjawab, “Suatu tingkah laku yang mendorong kembali kepada rahasia jiwa dari sisi peleburan.”
Dikatakan, “Sama’ merupakan nuansa lembut di sisi arwah bagi ahli ma’rifat.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, “Sama’ adalah watak, kecuali dari arah syariat, dan asing kecuali dari yang benar, dan fimah kecuali dari sisi pelajaran.”
Disebutkan, Sama’ ada dua macam, “Sama’ dengan syarat adanya pengetahuan dan kesadaran. Di antara syarat pemiliknya adalah mengenal Asma’ dan Sifat-sifat. Bila tidak, Sama’ akan menceburkan dalam kekufuran murni. Dan berikutnya adalah Sama’ dengan syarat adanya tingkah ruhani. Syarat penyimaknya haruslah fana’ dari segala tingkah laku kemanusiaan, dan bersih dari pengaruh-pengaruh duniawi, dengan menampilkan aturan-aturan hukum hakikat.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Abul Hawary, yang mengatakan, ‘Aku bertanya kepada Abu Sulaiman tentang Sama’, maka beliau menjawab, ‘Di antara dua yang paling kucintai dibanding satu’.”
Abu Husain an-Nury ditanya tentang Sufi, maka jawabnya, “Siapa yang mendengar Sama’, dan memberi pengaruh kepada sebab-sebab yang ada.”
Abu Utsman Said al-Maghriby berkata, “Siapa yang mengaku telah melakukan penyimakan, sementara dia tidak mendengar suara burung dan gerat-gerit pintu, serta guncangan angin, maka dia itu adalah si sufi yang mengaku-aku.”
Ibnu Zairy mempunyai seorang syeikh utama dari salah seorang murid al Junayd. Ketika sedang menghadiri majelis Sama’, maka bila berkenan ia membeberkan sarungnya dan duduk. Lantas berkata, “Sufi beserta hatinya, walaupun tidak menganggap kebaikannya.” Dia juga berkata, “Sama’ hanya bagi yang memiliki nurani hati,” sambil berkata begitu dia berjalan dan mengambil sandalnya.
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai ekstase para Sufi ketika sedang Sama’, dia berkata, “Mereka menyaksikan makna-makna yang lenyap dari yang lain, lalu Anda mengisyaratkan kepada mereka yang tertuju padaku, lantas mereka mencegah agar tidak terlalu gembira. Kemudian datanglah tangis, sehingga kegembiraan itu berubah tangisan. Di antara mereka ada yang merobek bajunya, ada pula yang berteriak, ada yang menangis: masing-masing menurut kadar keterkaitan hatinya (dengan Tuhannya).”
Al-Hushry berkata, “Apa yang harus kulakukan dengan Sama’ yang terputus, apabila orang yang sedang menyimak memutuskannya? Karena itu selayaknya dalam penyimakan Anda selalu bersambung, tidak terputus.” Dia juga berkata, “Seyogyanya ia merasa dahaga selamanya, minum (ruhani) selamanya. Bila minumnya bertambah, bertambah pula dahaganya.” Mujahid dalam menafsirkan firman Allah Swt, “Maka, mereka dalam taman surga, senantiasa bergembira.” (QS. Ar-Ruum: 15).
Maksudnya adalah Sama’ terhadap bidadari dengan suara-suaranya yang merdu sekali:
Kami adalah bidadari-bidadari yang abadi, tak akan pernah mati selamanya. Kami adalah kenikmatan-kenikmatan yang tak pernah putus selamanya.
Dikatakan, Sama’ adalah panggilan, sedangkan ekstase adalah tujuan. Abu Utsman Sa’id ash-Sha’luky berkata, “Orang yang menyimak berada antara tirai dan ketampakan: Tirai mendorong rasa dahaga, sedangkan penampakan mewariskan rasa riang. Tirai telah melahirkan gerakan para penempuh, yaitu wahana kelemahan dan ketakberdayaan. Sementara penampakan, melahirkan ketenangan orang-orang yang sampai kepada-Nya, yaitu wahana istiqamah dan ketenangan. Itulah sifat penghadiran di hadirat Ilahi. Di dalamnya tiada lagi kecuali layu di bawah bisikan-bisikan rasa takut bercampur hormat.”
Allah Swt. berfirman:
“Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata, ‘Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)’.” (QS. AI-Ahqaaf 29).
Abu Utsman Sa’id al-Hiry berkata, “Sama’ ada tiga arah: satu arah bagi para murid dan para pemula, mereka sama-sama meminta kemuliaan dengan tingkah laku ruhaninya; dan kami khawatir mereka terkena fitnah dan riya’. Arah kedua bagi mereka yang menepati kebenaran, yang menuntut nilai tambah dalam ihwal kondisi ruhaninya, dan mereka menyimak dari semuanya agar serasi dengan waktu-waktu mereka. Arah ketiga bagi ahli istiqamah dari kalangan orang-orang yang ma’rifat. Mereka sama sekali tidak memilih atas apa yang datang dari Allah dalam hatinya berupa gerak ataupun diam.”
Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz berkata, “Barangsiapa mengaku dirinya terliputi ketika sedang memahami, yakni dalam Sama’, dan gerakan-gerakan selalu bersifat naluriah baginya, maka tanda-tandanya adalah dia memperbaiki tempat duduk yang di sana dia menemukan ekstase.”
Syeikh Abu Abdurrahman berkata, “Aku menyebut hikayat ini kepada Sa’id al-Maghriby. Lantas beliau berkata, “Inilah yang terindah. Tanda-tandanya yang benar, tak tersisa dalam suatu majelis kecuali rasa riang dengan majelis tersebut, dan tak ada yang membatalkan di dalamnya kecuali dia merasa tidak senang darinya.”
Ibnul Husain berkata, “Sama’ terdiri tiga dimensi: Di antara mereka ada yang menyimak melalui wataknya; ada pula yang menyimak melalui kondisi ruhaninya; dan ada yang menyimak melalui Allah Swt.
Orang yang menyimak melalui watak, ada dari kalangan awam maupun khusus. Sebab salah satu watak manusiawi adalah merasa nikmat mendengarkan suara merdu.
Sedangkan yang menyimak melalui kondisi ruhani, adalah dia yang merenungkan apa yang tiba padanya, berupa cacian dan khitab, bertemu atau pisah, dekat ataupun jauh, rasa kecewa terhadap apa yang hilang atau haus terhadap keinginan di masa depan, menepati janji atau membenarkan/meyakini janji, merusak terhadap janji ataupun ingat kesusahan, merasa rindu atau takut berpisah, senang bertemu dan takut berpisah, atau yang sejenisnya.
Adapun yang menyimak langsung melalui Allah Swt, maka dia menyimak bersama dan hanya bagi Allah Swt, Sama’ yang terakhir ini tidak bisa diuraikan dengan kondisi-kondisi ruhani tersebut manakala tercampuri oleh kepentingan manusiawi, dan masih memunculkan berbagai sebab-sebab langsung.
Maka, bagi kategori yang terakhir tersebut, saling menyimak dari dimensi kemurnian tauhid terhadap Allah Swt, dan sama sekali tidak disertai kepentingan makhluk.”
Dikatakan, “Ahli Sama’ itu ada tiga tahapan: Pertama, generasi hakikat yang kembali dalam Sama’nya bagi dialog Allah Swt kepada mereka. Selanjutnya ada yang berbicara kepada Allah swt melalui hatinya disertai makna-makna yang telah didengarnya.
Mereka dituntut untuk bersikap benar dan jujur terhadap apa yang di isyaratkan menuju kepada Allah Swt. Dan terakhir, adalah si sufi yang menyendiri, yang memutus hubungan dunia dan bencana. Mereka mendengarkan melalui kemerduan hatinya, dan mereka lebih dekat dengan keselamatan.”
Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary ditanya tentang Sama’, “Mukasyafah terhadap rahasia batin, dan musyahadah terhadap Sang Kekasih,” jawabnya.
Ibrahim al-Khawwas ditanya, “Bagaimana mengenai orang yang bergerak ketika Sama’ terhadap selain Al-Qur’an, sementara gerakan itu memang tidak ditemui dalam penyimakan Al-Qur’an?” Ibrahim menjawab, ‘Sebab Sama’ Al-Qur’an merupakan hentakan, dimana seseorang tidak mungkin bergerak dalam Sama’ disebabkan oleh dahsyatnya kekuatannya. Sedangkan Sama’ terhadap ucapan membuatnya riang dan karenanya ia bergerak dalam Sama’ tersebut.”
Al-Junayd berkata, “Bila Anda melihat si penempuh mencintai Sama’, ingatlah bahwa di dalam dirinya ada ada sisa-sisa kebatilan.” Sahl bin Abdullah berkata, “Sama’ adalah ilmu yang dipilih oleh Allah Swt dan tiada yang mengetahui kecuali hanya Dia.”
Dikatakan, “Ketika Dzun Nuun al-Mishry memasuki di Baghdad, para Sufi berkumpul padanya. Di antara mereka ada yang biasa berbicara. Mereka meminta izin agar diperkenankan membacakan syair sedikit di hadapannya. Dzun Nuun pun menyilahkan. Lantas orang tersebut membacakan syairnya:
Kecil asmaramu telah menyiksaku
Bagaimana dengan asmara yang perkasa?
Engkau telah mengumpulkan dari kalbuku
Cinta yang benar-benar berpadu
Sedang yang kuwarisi, bagi yang berduka
Bila tertawa sunyi
Jadilah pecah tangisnya.
Tiba-tiba Dzun Nuun berdiri dan membenamkan wajahnya. Sementara darah menetes dari keningnya, namun tidak menetes ke tanah:
Ibrahim al-Maristany ditanya mengenai gerak dalam Sama’. “Sampai kepadaku kisah Musa as. yang bercerita tentang Bani Israil. Di antara mereka ada yang merobek bajunya.
Lantas Allah Swt menurunkan wahyu kepada Musa as, ‘Katakan padanya: Robeklah hatimu buat Diri-Ku, dan janganlah engkau robek bajumu’.”
Abu Ali al-Maghazily pernah mengutarakan kepada Dulaf asy-Syibly, “Terkadang pendengaranku terketuk oleh suatu ayat dari Kitab Allah Swt, sehingga menggiringku untuk meninggalkan segala yang ada, berpaling dari dunia, kemudian aku kembali pada ihwal ruhaniku dan kepada orang pada umumnya.”
Maka Dulaf mengomentari, “Sebab ma’rifat pada Tuhannya belum sempurna. Begitu pula, ia belum sempurna dalam memerangi hawa nafsunya. Beda dengan Sama’nya orang yang sempurna ma’rifatnya. Sama’nya dilalui setelah mujahadah, riyadhah dan berpaling dari hawa nafsu. Sibuk bersama Allah Swt. dan berhasrat dalam keadaan ringan. Sehingga Sama’nya berada di gerbang pertolongan menuju maksud yang benar dan kondisi ruhaninya yang tinggi.”
“Apa yang membuatmu tertarik kepada-Nya adalah hubungan dari-Nya kepadamu dan merupakan kelembutan. Dan apa yang engkau kembalikan kepada dirimu, adalah kepedulian dari-Nya atas dirimu. Sebab tidak dibenarkan bagimu berbakti yang muncul dari daya dan kekuatan ketika menghadap kepada-Nya.”
Ahmad bin Muqatil al-‘Ikky berkata, ‘Aku bersama Dulaf asy-Syibly di sebuah masjid pada salah satu malam Ramadhan yang penuh berkata la sedang shalat di belakang imam, sementara aku di sampingnya. Imam membaca sebuah ayat:
“Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya, Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu.’ (QS. Al-Israa’: 86).
Tiba-tiba asy-Syibly menjerit dengan satu jeritan. Bisa kukatakan, seakan-akan ruhnya terbang, dalam keadaan menggigil.” Ahmad selalu menyampaikan kisah ini kepada teman-temannya, dan seringkali diulanginya.
Al-Junayd mengisahkan, “Suatu hari aku masuk ke tempat Sary as-Saqathy, dan kulihat ada seorang laki-laki pingsan di sisinya. Aku bertanya, ‘Mengapa dia?’
Sary menjawab, ‘Gara-gara mendengarkan suatu ayat dari kitab Allah Swt.’
Aku katakan, ‘Coba ulangi bacaan ayat tersebut untuk kedua kalinya.’
Lantas Sary membacanya, dan laki-laki itu pun sadar kembali.
Sary bertanya kepadaku, ‘Dari mana Anda mengetahui hat itu?’
Aku katakan, ‘Sesungguhnya baju Yusuf as. itu telah membutakan mata Ya’qub, kemudian mata itu sehat kembali karena baju itu. Aku mengambil pelajaran dan peristiwa tersebut’.”
Abdul Wahid bin Alwan berkata, “Ada seorang pemuda yang berguru kepada al Junayd. Bila mendengarkan suatu dzikir la selalu menjerit. Suatu hari Junayd berkata kepadanya, ‘Bila kamu lakukan hal itu sekali lagi, kamu jangan berguru kepadaku lagi!’ Sejak saat itu pemuda itu bila mendengar sesuatu, selalu berubah dan tampak mengekang dirinya, sampai setiap ujung bulu di badannya meneteskan keringat. Pada suatu hari la berteriak sekuat tenaga, hingga meninggal dunia.”
Abu Nashr as-Sarraj berkata, “Sebagian teman-temanku meriwayatkan kisah padaku, dari Abul Husain ad-Darraj, yang mengatakan, `Dari Baghdad aku bertujuan ke tempat Yusuf ibnul Husain ar-Razy. Ketika sampai di Ray, aku menanyakan tempat tinggalnya. Setiap orang yang kutanya selalu balik bertanya kepadaku, Apa yang akan Anda lakukan dengan manusia zindiq itu? sampai akhirnya hatiku gelisah, sehingga aku bermaksud untuk kembali saja. Lantas aku menginap di sebuah masjid malam itu. Aku sudah datang ke negeri ini, tidak ada jeleknya kalau aku mengunjunginya,’ kataku dalam hati. Selanjutnya aku terus bertanya tentangYusuf, dan akhirnya sampai di masjidnya.
Yusuf sedang duduk di mihrab, dan di depannya ada seseorang. Tampak Yusuf sedang membaca mushaf Al-Qur’an. Ternyata dia adalah seorang syeikh yang amat kharismatik, tampan dan bagus jenggotnya. Aku mendekatinya, dan mengucapkan salam padanya. Dia pun menjawab salamku. Anda datang dari mana? tanyanya padaku. `Dari Baghdad, bermaksud ziarah ke tempat syeikh,’ kataku. `Jika ada orang yang berkata padamu di sebagian daerah, `Kamu menetap saja di tempatku, nanti kubelikan rumah atau budak-budak wanita,’ apakah tawaran itu akan mencegahmu untuk ziarah padaku?’ tanya syeikh tersebut. `Wahai tuanku, Allah tidak mengujiku dengan sesuatu seperti itu. Namun seandainya aku menerima tawaran mereka, aku tidak tahu bagaimana keadaanku,’ jawabku. `Baiklah, ucapkan saja sesuatu,’ kata syeikh itu.`Ya,’ kataku. Lantas kudendangkan syair:
Kulihat dirimu membangun penuh ketekunan di tanah pinjamanku
Bila aku punya tanah yang tinggi
tentu robohlah apa yang engkau bangun.
Syeikh itu lalu menutup mushaf, terus menerus menangis, sampai baju dan jenggotnya basah. Aku sampai merasa kasihan padanya, karena terlalu banyak menangis.
Beliau lantas berkata padaku, Anakku, jangan engkau cela penduduk Ray, mengenai ucapan mereka tentang diriku yang zindiq. Sejak waktu shalat tiba, inilah aku sedang membaca Al-Qur’an.
Namun tidak setetes pun air mata yang jatuh dari mataku. Kiamat benar-benar telah tiba dari rumah ini’.
”Abul Husain ad-Darraj berkata, “Aku bersama Ibnul Fauthy sedang berjalan melewati Dajlah” antara Bashrah dan Ubulah. Tiba-tiba kami melihat sebuah villa indah. Di sana ada seorang laki-laki, dan di hadapannya ada jariyah yang sedang menyanyikan lagu:
Bagi jalan Allah, ada cinta
Yang datang dariku untukmu, kelak diganti
Setiap hari kau ikuti
Hanya saja, lebih indah bersamamu.
Ternyata ada seorang pemuda yang mendengarkan di bawah jendela tempat memandang, sambil membawa bejana kulit dan baju tambalan. Pemuda itu berkata, `Hai jariyah, demi kehidupan tuanmu, ulangi kata-kata, Setiap hari kau ikuti. Hanya saja, lebih indah bersamamu. Ucapkan lagi kata-kata itu!’
Jariyah tadi mengulangi kembali baitnya. Sedang si Sufi itu berkata, `Inilah, demi Allah, ucapan yang mengikatkan diriku bersama Al-Haq.’
Lalu pemuda itu menjerit dengan sekali jeritan yang menyebabkan ruhnya lepas dari tubuhnya.
Seketika pemilik vila itu berkata pada jariyah,
`Kamu telah merdeka - karena Allah swt.’
Para penduduk Bashrah keluar dan mengurus pemakaman pemuda itu, serta menshalatinya. Pemilik vila tersebut berkata, `Bukankah kalian semua mengenalku? Aku bersaksi di hadapan kalian semua, bahwa segala milikku hanya untuk jalan Allah swt. Semua budak-budakku merdeka.’
Kemudian ia memakai sarung dan berkain. Villanya pun disedekahkan. Selanjutnya la pergi begitu saja. Sebab setelah peristiwa tersebut la tidak menampakkan dirinya, dan tidak pernah terdengar namanya disebut-sebut.”
Abu Sulaiman ad-Dimasyqi mendengarkan panggilan orang yang sedang thawaf.
“Duhai, terimalah penghormatanku untuk-Mu!”
Lalu Abu Sulaiman jatuh pingsan. Saat sadar ia ditanya, lalu menjawab, “Aku kira la berkata, `Terimalah, kau lihat penghormatanku padamu’.”
Utbah al-Ghulam mendengar seseorang bermunajat, “Maha Suci Allah, Tuhannya langit, sungguh sang pecinta selalu dalam tawanan.”
Utbah menyahut, “Kamu benar.”
Lantas mendengarkan orang lain mengucapkan kata-kata yang sama, Utbah menyela,
“Bohong kamu!”
Masing-masing individu menyimak dari segi proporsinya.
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai para syeikh yang mereka temui dalam Sama’. Ruwaym menjawab, “Seperti sekawanan domba yang kepergok harimau.”
Riwayat dari Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz yang berkata, “Aku melihat All ibnul Muwaffaq dalam Sama’, beliau berkata, `Berdirikan aku!’ Mereka pun membangkitkan, dan la pun berdiri, lalu mengalami ekstase dan berkata, Akulah syeikh para penari’.”
Dikatakan, Ibrahim ar-Raqqy bangkit semalam suntuk hingga subuh. Bangun dan jatuh di rumah itu. Sedangkan orang-orang bangkit sembari menangis. Sedang bait-bait yang dibacakan adalah:
Demi Allah, tolaklah hati yang duka
Tiada lagi pengganti dari kekasihnya.
Al-Husain bin Muhammad bin Ahmad berkata, “Aku berbakti kepada Sahl bin Abdullah bertahun-tahun. Aku tidak pernah melihat perubahan pada dirinya ketika menyimak sesuatu baik dari dzikir maupun bacaan Al-Qur’an, ataupun yang lain. Ketika akhir hayatnya, dibacakan suatu ayat:
“Maka pada hari ini tidak diterima tebusan.” (Qs. Al-Hadid:l5).
Tiba-tiba kulihat ia berubah dan gemetar, hampir saja ia jatuh. Ketika sudah sadar, aku bertanya padanya, lalu la berkata,
`Duhai kekasih, betapa lemahnya kami ...’.”
Saya mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy berkata, “Aku masuk ke tempat Abu Utsman Sa’id al-Maghriby, dan dia sedang mengambil air minum dari sumur melalui kerekan timba, lantas dia berbicara, `Hai Abu Abdurrahman, tahukah engkau apa yang diucapkan oleh kerekan ini?’
Kukatakan, `Tidak!’
Dia berkata, `Kerekan ini berbunyi: Allah, Allah’.”
Ruwaym berkata, “Riwayat dari Ali bin Abu Thalib r.a. bahwa beliau mendengarkan suara lonceng. Lalu beliau bertanya pada para sahabatnya, Apakah kalian mengerti apa yang diucapkan oleh lonceng itu?’
Mereka menjawab, `Tidak!’
Ali berkata, `Sebenarnya lonceng itu mengucapkan, `Subhaanallah, benar, benar, sungguh Tuhan Kekal Abadi’.”
Ahmad Ibnul Karkhy berkata, “Suatu hari jamaah Sufi berkumpul di rumah al-Hasan al-Qazzaz.
Di antara mereka ada beberapa penyair, yang mendendangkan syairnya sembari ekstase. Lalu Mumsyad ad-Dinawary datang, mereka pun terdiam. Mumsyad berkata, `Kalian terus saja seperti semula! Seandainya seluruh alat permainan dunia dikumpulkan dalam telingaku, sama sekali tidak mempengaruhi hatiku, atau dijejalkan di mulut dan gerahamku, tidak berpengaruh sama sekali’.”
Ibnul Karkhy melanjutkan, “Aku mendengar pula ar-Rudzbary berkata, `Kami sampai pada masalah ini, bagaikan berada di atas mata pedang, sedikit kita terlena ke sana kemari, kita tercebur di neraka’.”
Khayr an-Nassaj berkata, “Musa bin Imran - semoga shalawat dan salam Allah terlimpah padanya - mengisahkan pada kaumnya, suatu kisah. Salah satu di antara mereka ada yang menjerit. Kemudian Musa as. membentaknya.
Lalu Allah menurunkan wahyu,’Hai Musa, dengan aroma-Ku, mereka rasakan semerbak, dengan cinta-Ku mereka membuka, dan dengan kerinduan-Ku, mereka berteriak. “Mengapa engkau ingkari semua itu terhadap Tuhanku?”
Dikatakan, “Dulaf asy-Syibly mendengar seseorang berkata, `Pilihan kebaikan itu sepuluh dibanding seperenam dirham,’ lalu asy-Syibly berteriak sembari mengatakan, `Bila kebaikan itu sepuluh dibanding seperenam dirham, bagaimana dengan kejahatan-kejahatan’.”
Dikatakan, “Aun bin Abdullah punya seorang jariyah yang memiliki suara merdu. Aun menyuruh mendendangkan lagu. Jariyah itu mendendangkan lagu dengan suara yang memilukan, sampai seluruh orang yang hadir menangis.”
Abu Sulaiman ad-Darany ditanya tentang Sama’. Dia menjawab, “Setiap kalbu yang menginginkan suara berlagu, berarti hati yang lemah yang perlu diobati, sebagaimana anak kecil yang diobati dengan lagu-lagu agar segera tidur.”
Abu Sulaiman berkata selanjutnya, “Suara Betapa besar cita-cita hamba yang berambisi memandang-Mu ataukah karena tiada pertimbangan bagi mata untuk melihat orang yang benar-benar melihat-Mu. Lalu, tiba-tiba pemuda ini menjerit dan mati.
Sumber:
Post a Comment Blogger Disqus