Halimah (RA) mengatakan, “Aku datang ke Makkah bersama beberapa perawat penyusu bayi dari suku Bani Sa’d ibn Bakr, mencari bayi-bayi yang baru lahir. Saat itu adalah tahun yang buruk untuk mencari bayi susuan. Aku dan anakku tiba dengan mengendarai seekor keledai betina, sedangkan suamiku menaiki keledai betinanya yang tua dan tak memiliki setetes pun susu. Selama dalam perjalanan ini, kami bertiga tak dapat tidur di malam hari dan aku pun tak memiliki apa pun dalam dadaku untuk menyusui anak kami.”
“Ketika kami sampai di Makkah, setiap wanita dari kelompok kami ditawari untuk menyusui Nabi Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam), untuk menjadi ibu susuannya. Tapi, semua menolak tawaran itu ketika tahu bahwa beliau adalah seorang anak yatim. Pada akhirnya, tak seorang pun teman wanitaku meninggalkan Makkah tanpa membawa seorang bayi, namun tak seorang pun mau menyusui Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam). Saat akhirnya aku tak dapat menemukan bayi susuan lain, aku berkata pada suamiku bahwa aku benci jika aku menjadi satu-satunya wanita dalam kelompok kami yang harus pulang kembali tanpa membawa seorang bayi, dan bahwa aku ingin membawa anak yatim itu.”
“Saat aku pergi untuk menjemputnya, ia (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) sedang mengenakan pakaian wol, lebih putih daripada susu. Bau wangi misk menebar darinya. Di bawahnya terdapat sepotong kain sutera hijau, dan ia pun sedang terbaring di punggungnya dalam suatu tidur yang amat nyenyak. Aku berhati-hati untuk tak membangunkannya, karena keindahan dan kemuliaannya. Dengan berhati-hati aku mendekatinya, dan menaruh tanganku di dadanya, ia pun tersenyum dan membuka kedua matanya. Dari kedua matanya muncul suatu cahaya yang terpancar hingga ke Langit, sementara aku sedang melihatnya. Aku menciumnya di antara kedua matanya dan memberikan padanya dada kananku, dan memberikannya susu sebanyak yang ia mau. Kemudian aku pindahkan posisinya ke dada kiriku, tapi ia menolak. Begitulah selalu caranya menyusu padaku. Setelah ia puas, aku pun memberikan pada anak laki-lakiku bagiannya. Segera setelah aku membawanya ke tendaku, kedua dadaku pun mulai mengucurkan susu. Dengan karunia Allah, Muhammad minum hingga ia puas, demikian pula saudara laki-lakinya (anak Halimah, peny.). Suamiku pergi ke unta tua kami untuk memerah susu bagi kami, dan lihat, ia penuh dengan susu. Suamiku memerah susu dari unta kami cukup banyak buat kami berdua untuk kami minum hingga kami puas, dan kami pun melalui suatu malam yang indah. Kemudian suamiku berkata, ‘Oh, Halimah, sepertinya kau telah mengambil suatu ruh yang barakah.’ Kami melalui malam pertama dalam barakah dan karunia, dan Allah terus memberikan pada kami lebih banyak dan lebih banyak sejak kami memilih Muhammad.”
“Aku pun memohon pamit pada ibunda Nabi, dan menunggangi keledai betinaku, sambil membawa Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) di kedua tanganku. Keledaiku mengejar dan melampaui semua hewan milik orang-orang lain yang datang sebelumnya bersamaku, mereka melihat hal ini dengan penuh rasa takjub. Saat kami tiba di kampung Bani Sa’d, suatu kampung yang merupakan salah satu bagian paling kering dari tanah ini, kami menemukan domba-domba kami penuh dengan susu. Kami memerahnya dan dapat meminum banyak-banyak dalam suatu masa di mana tak seorang pun lainnya mampu menemukan setetes pun susu dalam suatu kelenjar perah. Yang lain mulai menceritakan hal ini pada yang lainnya, ‘Pergilah merumput ke tempat gembala puteri Abu Tsu’aib biasa pergi.’ Tetap saja, domba-domba mereka kembali dalam keadaan lapar, tanpa susu ditemukan dalam tubuh mereka, sedangkan domba-dombaku kembali penuh dengan susu.”
Paman Nabi, Al ‘Abbas (RA) berkata, “Wahai, NabiyAllah, yang membuat diriku masuk dalam agamamu adalah karena aku menyaksikan salah satu tanda kenabianmu. Aku melihatmu dalam tempat tidur bayimu (ketika Nabi (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) masih kecil) sedang bercakap dengan lembut pada bulan dan menunjuknya dengan jarimu. Dan bulan itu bergerak di langit ke arah mana pun kau menunjuknya.” Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) bersabda, “Saat itu, aku memang sedang bercakap dengannya, dan ia pun berbicara kepadaku, mengalihkan perhatianku agar tak menangis. Aku dapat mendengar suara sujudnya di bawah ‘Arasy.”
Dalam Fath Al Bari diriwayatkan pula bahwa Nabi Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) berbicara ketika saat pertama ia dilahirkan.
Ibn Sab’ menyebutkan bahwa tempat tidur bayi Nabi Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) diayun-ayun oleh para Malaikat.
Ibn ‘Abbas (RA) mengatakan bahwa Halimah (RA) biasa meriwayatkan bahwa ketika ia pertama kali membela Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam), ia (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) berbicara, dan berkata, “Allah (SWT) paling Agung dalam Keagungan-Nya, dan segala puji hanya bagi Allah, dan Maha Suci Allah di permulaan dan di akhir.” (Allahu Akbar Kabiiran, wal hamdu lillahi katheeran, wa subhanallahi bukratan wa ashiilan.) Saat ia telah tumbuh lebih besar, ia biasa pergi keluar, dan ketika ia melihat anak-anak lain bermain, ia akan menghindari mereka.
Ibn ‘Abbas (RA) berkata bahwa al Shayma’a (RA), saudara tiri perempuan Nabi, menyaksikan bahwa sebagai seorang anak laki-laki, beliau dinaungi suatu awan. Awan itu berhenti ketika beliau berhenti dan bergerak ketika beliau bergerak. Beliau tumbuh tidak seperti anak laki-laki biasa. Halimah berkata, “Ketika aku membelanya, kami membawanya ke ibunya, sekalipun kami masih menginginkan agar ia tinggal bersama kami lebih lama karena semua barakah yang telah kami saksikan ada padanya. Kami meminta pada ibunya untuk mengizinkannya tinggal lebih lama dengan kami sampai ia tumbuh lebih kuat, karena kami khawatir atasnya tinggal di lingkungan yang tak sehat seperti Makkah. Kami terus meminta sampai akhirnya ibunya menyetujui untuk mengirimkannya kembali bersama kami.”
Keajaiban di Masa Kanak-kanak
“Demi Allah, dua atau tiga bulan setelah kami kembali, ketika kami sedang mengurus beberapa hewan ternak kami di belakang rumah kami, saudara tiri laki-laki Nabi datang, berlari, dan berteriak, ‘Saudara laki-laki Quraisy-ku. Dua orang laki-laki mendatanginya memakai pakaian putih. Mereka membaringkannya dan membedah perutnya.’ Ayahnya dan diriku pun berlari mencarinya. Ia tengah berdiri dan warna kulitnya berubah. Ayahnya memeluknya dan bertanya, ‘Wahai anakku, apa yang telah terjadi padamu?’ Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) menjawab, ‘Dua orang laki-laki yang memakai kain putih mendatangiku. Mereka membaringkan tubuhku dan membedah perutku hingga terbuka. Mereka mengambil sesuatu darinya dan membuangnya, kemudian menutup perutku kembali seperti semula.’ Kami membawanya ke rumah dan ayahnya berkata, ‘Wahai Halimah, aku takut sesuatu telah terjadi pada anak kita yang satu ini. Mari kita kembalikan dia pada keluarganya sebelum keadaannya bertambah buruk.’ “
“Kami pun mengembalikannya kepada ibunya di Makkah. Ibunya berkata, ‘Apa yang membuatmu mengembalikannya padahal sebelumnya dirimu bersikap keras untuk memeliharanya?’ Kami pun memberitahukan padanya bahwa kami khawatir bahwa sesuatu yang buruk mungkin terjadi padanya. Ibunya berkata lagi, “Tak mungkin seperti itu, jadi, katakan padaku yang sesungguhnya.” Sang ibu bersikap keras hingga kami pun menceritakan padanya kejadian yang terjadi padanya (sall-Allahu ‘alayhi wasallam). Sang ibu (Aminah, peny.) pun bertanya, ‘Takutkah dirimu bahwa Setan telah berbuat sesuatu padanya? Tidak! Demi Allah, tak mungkin Setan dapat menyentuhnya. Anakku ini akan menjadi seseorang yang memiliki kedudukan luhur. Kalian boleh meninggalkannya sekarang.’”
Dalam hadits dari Syaddad ibn ‘Aws (RA) diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) bersabda, “Aku pernah menjadi seorang anak susuan di Bani Sa’d ibn Bakr. Suatu hari saat diriku tengah berada di lembah bersama anak-anak laki-laki seusiaku, tiba-tiba muncul tiga orang. Mereka membawa sebuah bak mandi emas yang terisi penuh dengan es, kemudian mereka mengambilku dari teman-temanku, yang berlarian ke belakang ke suatu sudut. Salah satu dari ketiga orang itu membaringkan diriku dengan lembut ke atas tanah dan membelah perutku dari atas dadaku hingga bagian tulang pinggangku. Saat itu aku mampu melihatnya dan tak merasakan sedikit pun rasa sakit. Ia mengambil keluar organ-organ dari dalam tubuhku dan mencucinya dengan seksama dengan es tadi.
Kemudian mengembalikan organ-organ itu ke dalam tubuhku. Orang yang kedua bangkit dan menyuruh kawannya yang pertama tadi untuk menepi. Ia meletakkan tangannya ke atasku, memindahkan jantungku sementara aku melihatnya. Ia membelahnya, lalu mengambil keluar segumpal daging hitam, dan membuang daging hitam itu, kemudian menggerakkan kedua tangannya ke kanan dan ke kiri, seakan-akan menerima sesuatu. Tiba-tiba, mewujud sebuah cincin di tangannya yang terbuat dari suatu cahaya menyilaukan. Ia mencap jantungku dengan cincin itu, hingga dengannya jantung itu berisi kemilauan cahaya. Itu adalah cahaya kenabian dan hikmah. Ia kemudian mengembalikan jantungku ke dalam dadaku dan aku merasakan kesejukan cincin itu dalam jantungku untuk jangka waktu yang lama. Orang yang ketiga menyuruh temannya untuk menepi. Ia menaruh tangannya ke atas bagian tubuhku yang terbelah dan seketika itu pula sembuh dengan izin Allah. Ia kemudian meraih tanganku dan dengan lembut membantuku bangkit sambil berkata pada orang yang pertama, ‘Timbanglah ia dengan sepuluh orang dari ummatnya.’ Aku pun melebihi mereka dalam timbangan.
Kemudian ia berkata lagi, ‘Timbanglah ia dengan seratus orang dari ummatnya.’ Aku pun lebih berat dari itu. Kemudian ia berkata kembali, ‘Timbanglah ia dengan seribu orang dari ummatnya.’ Aku lebih berat dari mereka. Kemudian ia pun berkata, ‘Seandainya kalian menimbangnya dengan keseluruhan dari ummatnya pun, ia tetap akan lebih berat daripada mereka.’ Mereka semua memelukku, mencium dahiku dan ruang di antara kedua mataku sambil berkata, ‘Wahai, yang terkasih, seandainya saja kau mengetahui kebaikan apa yang tengah menanti dirimu, tentu kau akan berbahagia.’” Penimbangan di sini bermakna penimbangan moral/akhlaq. Nabi (sall-Allahu ‘alayhi wasallam), dengan demikian, unggul dalam semua sifat dan keistimewaan.
Pencucian dada suci beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) terjadi pula di waktu lain ketika Jibril AS membawa kepada beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) wahyu di Gua Hira’ dan sekali lagi pada malam Mi’raj (Kenaikan ke Langit). Abu Nu’aim meriwayatkan dalam Al-Dala’il, pembelahan dada beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) terjadi pula saat beliau berumur dua puluh tahun. Hikmah dari pembelahan dada suci beliau di masa kanak-kanaknya serta pembuangan daging hitam, adalah untuk membersihkan beliau dari sifat-sifat kekanak-kanakan, sehingga beliau akan memiliki sifat-sifat seorang laki-laki dewasa. Pertumbuhan beliau pun, dengan demikian terjadi secara murni sempurna tanpa cacat. Beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) dicap/ditandai dengan cap kenabian yang terletak di antara kedua bahunya yang memiliki wangi misk dan nampak bagai sebutir kecil telur burung ‘partridge’.
Ibn ‘Abbas (RA) dan yang lainnya meriwayatkan bahwa ketika Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) berumur enam tahun, ibundanya dan Ummu Aiman (RA) membawanya selama sebulan mengunjungi bapa saudara dari sisi ibunya dari Bani Adiy ibn An-Najjar di Dar al-Tabi’a di Yatsrib. Di suatu waktu kemudian hari, beliau mengingat-ingat peristiwa-peristiwa yang terjadi saat beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) tinggal di sana. Saat melihat ke suatu rumah tertentu, beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) bersabda, “Ini adalah (rumah) tempat ibuku dan diriku pernah tinggal. Aku belajar berenang di sumur milik Bani Adiy ibn Al Najjar. Sekelompok orang Yahudi biasa mengunjungi tempat ini untuk melihat diriku.” Ummu Aiman (RA) berkata, “Aku mendengar salah seorang dari Yahudi-Yahudi itu berkata bahwa Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah Nabi dari ummat ini, dan bahwa tempat ini adalah tempat hijrah beliau. Aku mengerti semua yang mereka katakan.”
Beliau dan ibundanya kemudian bersiap untuk kembali ke Makkah, namun saat mereka tiba di suatu tempat bernama Al Abwa’, tidak jauh dari Yatsrib, ibundanya jatuh sakit keras. Al Zuhri meriwayatkan dari Asma’ binti Rahm, dari ibunya, “Aku berada bersama Aaminah, ibunda Nabi (sall-Allahu ‘alayhi wasallam), saat ia terbaring sakit yang membawanya pada kematian. Pada saat itu, Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) masihlah seorang anak laki-laki berumur lima tahunan. Saat beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) duduk di sisi kepala ibundanya, sang ibu membacakan beberapa bait puisi, dan memandang wajah suci beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) sambil berkata, ‘Setiap yang hidup suatu saat pasti akan mati, segala sesuatu yang baru pastilah suatu saat akan menua, setiap keberlimpahan pastilah suatu saat akan berkurang. Aku kini tengah meregang maut, namun ingatanku selalu akan wujud, aku telah meninggalkan di belakangku kebaikan yang berlimpah, dan telah kulahirkan suatu Kesucian,’ kemudian sang ibu pun wafat. Saat itu, kami dapat mendengar Jinn menangisi kepergiannya.”
Telah diriwayatkan bahwa Aaminah bersaksi atas kenabian Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) setelah kematiannya. At-Tabarani meriwayatkan suatu rantai periwayatan dari A’isyah (RA) bahwa ketika Nabi (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) tiba di Al-Hajuun, beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) demikian sedih dan berduka. Beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) tinggal di situ selama yang Allah kehendaki bagi beliau untuk tinggal di situ. Saat beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) kembali, beliau demikian bahagia dan bersabda, “Aku memohon pada Tuhanku ‘Azza wa Jalla, untuk menghidupkan kembali ibundaku. Allah melakukannya dan menghidupkannya kembali.” Juga telah diriwayatkan oleh baik Al-Suhaili maupun Al-Khateen bahwa A’isyah (RA) berkata bahwa Allah membangkitkan kembali kedua orang tua Nabi Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) dan keduanya bersaksi atas kenabian Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam).
Al-Qurtubi, dalam Al Tazkira, berkata, “Keistimewaan dan keluhuran Akhlaq Nabi Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) tak pernah berhenti muncul dalam keseluruhan hidup beliau. [Karena itu] Mengembalikan kembali kedua orang tuanya untuk hidup sehingga mereka dapat beriman pada beliau, bukanlah suatu hal yang tak mungkin. Tak satu pun dalam hukum Agama Islam maupun logika yang berlawanan dengan hal ini.” Disebutkan dalam Qur’an Suci bahwa seseorang yang terbunuh di kalangan Bani Isra’il dibangkitkan hidup kembali untuk menunjukkan siapa yang telah membunuhnya. Lebih-lebih, Sayyidina ‘Isa ‘alaihissalam biasa membangkitkan orang yang mati hidup kembali. Seperti itu pula, Allah Ta’ala mengembalikan beberapa orang mati untuk hidup lagi lewat tangan-tangan Nabi kita (sall-Allahu ‘alayhi wasallam). Mengapakah tak mungkin bagi kedua orang tuanya untuk bersaksi atas kenabian beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) setelah mereka dibangkitkan hidup kembali, padahal peristiwa ini hanyalah menambah keunggulan dan keluhuran beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam)?
Al-Imam Fakhruddin Al-Razi berkata bahwa seluruh ayah-ayah [datuk moyang] dari Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah Muslim, yang dibuktikan dengan sabda Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam), “Aku dipindahkan dari sulbi-sulbi laki-laki yang suci ke rahim-rahim perempuan yang suci pula.” Dan karena Allah Ta’ala telah berfirman, “Sungguh, orang-orang Musyrik adalah najis,” kita melihat di sini bahwa tak seorang pun dari datuk moyang beliau yang kafir.
Al Hafiz Shams Al-Din Al-Dimashqi berkata tentang hal ini demikian indahnya saat ia menulis:
“Allah karuniakan atas Nabi karunia berlimpah
Dan lebih banyak lagi, dan baginya Ia Ta’ala paling berbaik hati
Ia kembalikan ibunda beliau untuk hidup, juga ayahandanya
Hingga mereka pun dapat beriman padanya.
Hal itu adalah karunia yang lembut
Maka berimanlah pada mu’jizat-mu’jizat ini, karena Ia Ta’ala mampu atasnya
Meski sang makhluk adalah lemah.”
Ummu Aiman (RA) adalah penjaga Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) dan pengasuhnya setelah wafatnya ibunda beliau. Beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) biasa berkata tentangnya, “Ummu Aiman adalah ibundaku setelah ibundaku.” Saat Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) berumur delapan tahun, datuk dan penjaga beliau, Abdul Muttalib pun wafat. Umurnya saat itu seratus sepuluh tahun (dalam riwayat lain, ia berumur seratus empat puluh tahun). Saat itulah, atas permintaan Abd Al-Muttalib, Paman Muhammad (SAW), Abu Talib menjadi penanggung jawab beliau, karena ia adalah saudara kandung laki-laki dari ayahanda Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam), ‘Abdullah.
Ibn Asakir meriwayatkan dari Jalhama ibn Urfuta bahwa Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) bersabda, “Aku datang ke Makkahsaat musim kering. Beberapa orang laki-laki dari suku Qurasiy mendatangi Abu Talib dan berkata, ‘Wahai, Abu Talib, lembah-lembah tengah kering dan keluarga-keluarga tengah menderita. Mari kita pergi dan berdoa memohon hujan.’ Abu Talib pun keluar, dan bersamanya seorang pemuda yang nampak bagai ‘Matahari-setelah-Awan-menghilang’. Ia (sang pemuda) dikelilingi oleh anak-anak laki-laki lainnya. Abu Talib pun membawanya ke Ka’bah dan membuatnya berdiri dengan punggungnya membelakangi Ka’bah. Saat itu, bahkan tak nampak secuilpun awan di langit. Namun, sesaat setelah sang pemuda itu mengangkat kedua tangannya, awan pun mulai berdatangan dari segenap penjuru, dan hujan pun mulai turun. Lembah pun bersemi dan baik di dalam Makkah maupun di padang pasir sekelilingnya menjadi subur. Tentang mu’jizat ini, Abu Talib menulis bait-bait berikut:
‘Untuk ia yang memiliki wajah benderang,
hujan dikirimkan demi kemuliaan akhlaqnya,
Ia tempat berlindung para yatim,
Dan penyokong para janda.’”
Sumber: Al Islam
Post a Comment Blogger Disqus