Suatu ketika pintu keluarga Ali dan Fatimah diketuk orang. Saat itu mereka sedang bersiap untuk bersantap bersama. Ali, Fatimah, Hasan, dan adiknya, Husein. Ternyata seseorang kelaparan datang untuk meminta bantuan kepada keluarga mulia itu. Dan diberikanlah jatah makanan Ali kepada tamunya. Selang beberapa lama, datang lagi seseorang dengan kondisi yang sama. Maka diberikanlah jatah makanan Fatimah yang belum dimakan kepada tamu ke dua mereka. Tapi tak berapa lama, terdengar ketukan ke tiga. Kali ini anak kecil yang datang dengan kondisi yang juga kelaparan. Tentu dia datang juga untuk meminta belas kasihan keluarga Ali. Tapi tentu kita juga tahu, keluarga itu kalau pun punya makanan, hanya pas untuk anggota keluarga mereka. Kemudian si sulung Hasan bergegas hendak memberikan jatah makanannya kepada anak itu, tapi dilarang oleh kedua orang tuanya.
“Wahai ayah bundaku, bagaimana mungkin aku bisa makan sementara ada anak yang lebih kecil dari usiaku kelaparan serta mengetuk pintu rumah kita?”
Ali dan Fatimah pun tersenyum dan mengijinkan Hasan untuk memberikan jatah makanannya kepada anak kecil yang baru datang itu. Jadilah kini hanya Husein yang mempunyai jatah makanan di keluarga itu. Ketika Husein hendak menyantap makanannya, tiba-tiba terdengar lagi ketukan pintu dengan suara lemah. Kali ini datang lagi anak kecil. Lebih kecil dari anak yang datang tadi. Kondisinya sama, kelaparan. Maka Husein pun bergegas hendak memberikan jatah makanannya. Tapi lagi-lagi dicegah oleh orang tuanya. Ali dan Fatimah sungguh tidak tega melihat anak mereka yang masih sekecil itu harus menanggung lapar padahal sebenarnya ia mempunyai makanan.
“Duhai ayah bundaku”, Husein kecil mencoba berargumen, ”bagaimana mungkin aku makan sementara ada anak sebayaku yang kelaparan?”
Maka jadilah malam itu keluarga Ali menahan lapar demi sebuah cinta yang menjadi visi mereka.
Apakah kisah menakjubkan dari cinta sepasang pejuang Allah itu hanya bisa dinikmati sekedar pemanis sejarah?
Kecintaan keluarga tersebut kepada para ulama dengan cinta yang sesungguhnya, serta keberanian mereka ber amar ma’ruf nahi munkar, juga dengan arti yang sebenarnya. Memang benar kata Ali Zainal Abidin, cucu Ali bin Abi Thalib, “Barang siapa meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, maka anak, istri, dan pembantunya pun akan membangkang kepadanya.”
Robbanaa hablanaa min azwaajinaa Qurrota a’yuun...
Post a Comment Blogger Disqus