Syeikh Ahmad Mutamakin adalah seorang yang disegani serta berpandangan jauh, salah satu tokoh yang berjasa besar dalam penyebaran Agama Islam di Utara Pulau Jawa terkhusus wilayah Pati. Beliau juga seorang yang arif dan bijaksana. ia pernah mencari ilmu sampai ke negeri-negeri Arab selama bertahun-tahun. belajar ilmu-ilmu dibidang Syariat, selanjutnya belajar Thoriqoh menurut dorongan hatinya, sebagai landasan hidupnya.[1]
Dalam perjalanannya mencari ilmu itu, beliau mendapat seorang guru besar bernama Syaikh Zain Al Yamani. Setelah beberapa lama berguru, beliau mendapat pengesahan resmi dari guru besar tersebut, ia mohon pamit pulang ke Jawa pulang untuk segera mengamalkan ilmu-ilmu yang diperolehnya.
Beliau melanjutkan perjalanan sampai ke Desa Cebolek untuk menyebarkan Agama Islam sampai kepedalaman, beliau memasuki wilayah baru.[2] Dan bertemu dengan H. Syamsudin yang dikenal dengan sebutan Surya Alam, sehingga nama wilayah itu Kajen dari kata “Kaji Ijen”. Beliau mendapat kepercayaan dari H. Syamsudin untuk ditempati dan mengolah daerah tersebut menjadi Desa yang dapat mengenal Agama Islam.[3]
Selain belajar dan meperdalam Ilmu Pengetahuan agama dengan bersungguh-sungguh, ia juga belajar melatih jiwa dalam mengendalikan hawa nafsu, beliau pernah melatih dengan puasa, disaat mau buka puasa, beliau memasak yang paling lezat. Kemudian beliau mengikat diri dan tangannya pada tiang rumah. Masakan yang tersaji di meja makan hanya ia pandangi saja. Beliau mau menguji tingkat kesabaran hatinya. Namun yang keluar kedua ekor anjing.[4] Yang bernama Abdul Qohar dan Qumarudin sebagai lambang nafsu yang keluar dari diri manusia. Kuda makhluk tersebut memakan habis hidangan yang berada di meja makan. Pemberian nama pada kedua anjing tersebut seperti nama seorang penghulu dan khotib Tuban.
Pada suatu hari beliau kedatangan tamu, yang kebetulan saat itu Syeikh Ahmad Mutamakin mendapat satu makanan yang hanya berisikan ikan asin kering. Kemudian tamu itu diajak makan bersama, namun si Tamu melahap habis nasi sama ikan kering tersebut. Tamu tersebut marah dan mau naik pitam ketika Syeikh Ahmad Mutamakin bilang bahwa anjing mereka saja tidak suka sama Ikan kering. Hal tersebut sangat menghinanya, maka dia menyebarkan isu kepada para ulama-ulama se jawa.
Selebaran-selebaran tersebut mengatakan bahwa Syeikh Ahmad Mutamakin sebagai seorang Muslim sejati telah memelihara anjing dan memeberi nama anjing tersebut dengan nama orang seperti Qomarudin dan Abdul Qohar, selain itu Beliau gemar melihat dan mendengarkan wayang dengan cerita Bima Suci dan Dewa Ruci.[5]
Pihak keraton mendengar berita tersebut, sehingga ia mengutus seorang ulama bernama Ki Kedung Gede untuk menguji kebenaran tersebut sebelum Keraton memanggil dengan surat teguran atau panggilan dari pihak keraton. Syeikh Ahmad Muthamakin tahu maksud hati dari tamu tersebut. Sehingga Syeikh Ahmad Mutamakin bahwa beliau belum tahu huruf alif sekali pun, Ki Kedung Gede semakin Gusar, karena maksud yang ada dalam pikirannya telah tertebak dengan benar oleh Syeikh Ahmad Mutamakin.
Selebaran yang telah beredar di seluruh ulama Jawa, ulama-ulama tersebut mendesak kepada pihak keraton[6] untuk mengadakan sidang pengadilan terhadap Syeikh Ahmad Mutamakin yang telah keliru dalam pemahaman terhadap Agama Islam. Mereka kuatir bila hal ini tidak diatasi akan berdampak buruk pada penyebaran Agama Islam di pulau Jawa.
Persidangan terhadap Syeikh Ahmad Mutamakin dihadiri oleh ulama seluruh Jawa. Seperti Khotib Anom dari Kudus, Ki Witono dari Surabaya, Ki Busu dari Gresik. Dan ulama-ulama lainnya. Mereka sepakat menyidangkan Syeikh Ahmad Mutamakin pada persidangan Kartosuro. Selanjutnya tuntutan terhadap beliau dibacakan oleh Patih Danurejo, setelah mereka membacakan tuntutan-tuntutan tersebut. Patih menyuruh anak buahnya segera mengutus dua orang sebagai duta tugas kepada Syeikh Ahmad Mutamakin.[7]
Undangan yang hadir banyak sekali mereka ingin menyaksikan Sidang Pengadilan Syeikh Ahmad Mutamakin. Dalam persidangan tersebut terjadi dua kelompok yang satu membela mati-matian Syeikh Ahmad Mutamakin sedangkan kelompok yang satu menentang keras apa yang pernah dilakukan oleh Syeikh Ahmad Mutamakin. Dalam persidangan tersebut yang paling menonjol dalam adu argumentasi adalah Khotib Anom Kudus, Patih Danurejo, dan utusan Demang Irawan yang merupakan utusan yang ditugaskan oleh Raja untuk mengawasi persidangan Syeikh Ahmad Mutamakin.
Persidangan menjadi alot, karena pihak penuntut menghendaki Syeikh Ahmad Mutamakin dihukum pancung, karena telah melanggar syariat Agama, sedangkan kelompok yang satu membela matia-matian Syeikh Ahmad Mutamakin. Akhirnya sidang ditunda sampai besok. Karena bukti-bukti yang mengarah untuk dijadikan bukti untuk memvonis belum ada.
Raja Kartosuro memanggil Demang Irawan untuk mengetahui hasilnya dan kondisi terakhir persidangan tersebut. Atas saran Demang Irawan, Raja ingin memanggil Syeikh Ahmad Mutamakin langsung empat mata. Raja bermimpi tentang sebidang petak sawah yang sebagian ditanami, sebagian menguning, sebagian Ketam. Mimpi tersebut selalu menghantui pikirannya, akhirnya Syeikh Ahmad Mutamakin disuruh menafsirkan mimpi sang Raja. Syeikh Ahmad Mutamakin menafsirkan mimpi Raja, bahwa Syeikh Ahmad Mutamakin dapat bebas dari tuntutan pengadilan.
Setelah peristiwa tersebut, paduka Raja memrintahkan kepada Patih Danurejo untuk segera membebaskan Syeikh Ahmad Mutamakin. Namun hal ini masih ada ulama seperti Khotib Anom yang masih keberatan akan keputusan raja tentang vonis bebas Syeikh Ahmad Mutamakin. Mereka berhadapan dengan ulama yang membela Syeikh Ahmad Mutamakin seperti Ki Kedung Gede.
Akhirnya Syeikh Ahmad Mutamakin dan Khotib Anom dipanggil menghadap keraton. Tentang perbedaan pendapat yang tidak ada habis-habisnya. Dan diadakan tafsir Serat Dewa Ruci dan Bimo Suci diantara keduanya. Syeikh Ahmad Mutamakin menerjemahkan serat tersebut dan mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan Khotib Anom kesulitan dalam memaknai atau tafsir mimpi Dewa Ruci/Bima Suci. Akhirnya Khotib Anom mengakui kepandaian, dan kearifan Syeikh Ahmad Mutamakin.[8]
Syeikh Ahmad Mutamakin berhasil lolos dari hukuman pancung. Bahkan beliau mendapat bumi perdikan Kajen. Yaitu daerah yang bebas pajak negara. Beliau diberikan kebebasan dalam menyebarkan Agama yang harus sesuai dengan koridor Islam. Syeikh Ahmad Mutamakin memiliki murid-murid besar seperti Kyai / Syeikh Ronggo Kusumo, Kyai Mizan, R. Sholeh dan murid-murid lainnya yang tersebar dimana-mana.
Catatan Kaki:
[1] Cerita tentang Syeikh Ahmad Mutahamakin berasal dari Serat Cebolek, yang mengisahkan Ki Cebolek dalam kiprahnya menyebarkan Agama Islam Di Pantai Utara Jawa.
[2] Ada versi yang mengatakan bahwa Syeikh Ahmad Mutamakin, merantau dari negeri Arab kemudian terus mengajarkan agama ke pesisir. Ketika beliau habis menunaikan ibadah Haji, beliau diantar oleh murid-murid beliau sebangsa jin. Kemudian di alihkan kepada seekor Ikan Mladang. Yang disangka kayu balok.. kemudian mendarat ke Desa Cebolek “cebul-cebul melek” (tiba-tiba dapat membuka mata). Nama Desa Cebolek, ada versi yang mengatakan bahwa desa tersebut terletak di daerah Tuban, yang sekarang bernama Desa Winong. Kemudian ketika Syeikh Mutamakin berada di wilayah Pati, nama-nama Desa yang ada di Tuban di gunakan di desa baru di wilayah Pati. Ini juga mirip dengan Sunan Kudus yang memberi nama wilayah Kudus seperti wilayah timur tengah “al Quds”.
[3] Syeikh Ahmad Mutamakin melihat seberkas sinar dari sebelah barat. Ia menuju sinar tersebut dan bertemu dengan H. Syamsudin. Ia mendapat kepercayaan untuk tinggal di wilayah Kajen. Ini mirip dengan cerita Kudus, ketika K. Telingsing menyerahkan Kudus kepada Jafar Sidik (Sunan Kudus)
[4] Kontroversi Syeikh Mutamakin hampir sama dengan apa yang pernah dilakukan Syeikh Siti Jenar, Sunan Panggung dan Syeikh Among Rogo, al Hallaj (Baghdad). Mereka adalah tokoh pernyebaran Islam di Jawa yang tidak sejalan dengan apa yang menjadi keputusan Agama Islam Keraton.
[5] Cerita ini ditulis dalam Serat Cebolek karya R. Ng. Yasadipura I (1729-1803). Penulis produktif istana Kartasura pada masa Paku Buwono II (berkuasa 1726-1749). Dalam Serat Cebolek tersebut terdapat 2 tokoh yaitu Kyai Rifai yang dikenal dengan Rifa’iyah yang berkembang di daerah Batang Jawa Tengah.
[6] Masa hidup beliau adalah sekitar abad XVIII atau sekitar pemerintahan susuhunan Amangkurat IV sampai dengan pemerintahan Paku Buwono II yaitu tahun 1727-1749 Masehi.
[7] Peristiwa ini kejadiaannya kira-kira pada tahun 1725 Masehi.
[8] Versi lain dalam persidangan dan tafsir mimpi tersebut Khotib Anom Kudus menang, sedangkan versi yang lain dimenangkan oleh pihak Syeikh Ahmad Mutamakin.
Silsilah Syeikh Ahmad Mutamakin
(Versi Kajen)
Dari Pihak Ayah Dari Pihak Ibu
Raden Patah Sayyid Ali Akbar
Sultan Demak Dari Bejagung Tuban
Sultan Trenggono
Istri Hadiwijoyo Sayyid Ali Ashgor
(Joko Tingkir)
Sumo Hadiningrat Raden Tanu
(Pangeran Benowo)
Sumohadinegoro X Putri Raden Tanu
Syeikh Ahmad Mutamakin
Nyai Godheg - K. Bagus - K. Endro Muhammad
Post a Comment Blogger Disqus