Menjaga Jarak Dengan Kekuasaan
Salah satu pendakwah di Kramat Empang adalah Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad. Ia dikenal sebagai salah satu habib yang menjaga jarak dengan kekuasaan
Suatu ketika Van der Plas, Gubernur Jendral Hindia Belanda pada sekitar tahun 1940-an datang ke kota Bogor untuk merayu seorang ulama yang sangat alim agar mendukung program-program penjajahan Belanda. Van der Plas datang dengan menyamar sebagai orang biasa bertandang ke rumah Habib Alwi. Selepas mengetok pintu, ia dipersilahkan masuk. Setelah mengutarakan maksud kedatangannya dan bercerita panjang lebar, tentang program penjajah Belanda, sang tuan rumah diam saja tak keluar kata sepatah pun. Sang tuan rumah sudah tahu maksud kedatangan dari sang tamu asing yang menyamar ini agar bisa menunjukan seorang ulama yang nantinya akan diperalat untuk mendukung penjajahan Belanda.
Rupanya Van der Plas tidak kehilangan akal, ia tetap merayu agar bisa diketemukan dengan seseorang yang yang alim. Tentu saja, sang tuan rumah tidak mau bekerja sama dengan penjajah Belanda, apalagi mendukung program-program penjajahan yang jelas-jelas sedang ditentang oleh sebagian besar para ulama yang ada di tanah di Jawa ini.
Agar sang tamu pergi dari rumahnya, Habib Alwi akhirnya mengeluarkan syiasah (strategi), di mana ia akan menunjukan seorang ulama yang sebenarnya sangat getol dan gigih berjuang melawan Belanda. Habib Alwi pun berkata, ”Pergilah ke tanah Jawa di bagian timur, di sana akan kamu jumpai seorang yang alim di Jombang. Ia seorang ulama dan kyai besar, KH Hasjim Asya’ri namanya,” kata Habib Alwi dengan enteng.
Tentu saja jawaban dari sang habib, membuatnya malu bukan main, karena sudah tertebak tujuannya, akhirnya ia pulang dengan muka merah padam dan tak berhasil membujuk sang tuan rumah yang terkenal alim dan kasyaf (mampu melihat hijab) itu.
Sang Habib yang alim dan tawadhu serta mempunyai semangat nasionalisme itu adalah Habib Alwi bin Muhammad Thohir bin Umar Al-Haddad. Ia dilahirkan di kota Qeidun, Hadramaut, pada tahun 1299 H. Sanad keturunan dari Habib Alwi masih termasuk suatu silsilah dzahabiyyah, sambung-menyambung dari ayah yang wali ke kakek wali, demikian seterusnya sampai bertemu dengan Rasulullah SAW.
Sebagaimana kebanyakan para Saadah Bani Alawi, Habib Alwi dibesarkan dan dididik oleh ayahnya sendiri Habib Muhammad bin Thohir bin Umar Al-Haddad. Kakeknya, Habib Thohir bin Umar Al-Haddad adalah seorang ulama besar di kota Geidun, Hadramaut. Sedangkan sang ayah adalah seorang Wali min Auliyaillah dan ulama besar yang hijrah dari kota Geidun, Hadramaut ke Indonesia dan menetap di kota Tegal. Habib Alwi banyak membaca buku dibawah pengawasan dan bimbingan ayah dan kakek, sehingga diberi ijazah oleh ayah dan kakeknya sebagai ahli hadist dan ahli tafsir.
Setelah digembleng oleh ayahnya, ia lalu berguru kepada:As-Syaikh Abdullah bin Abubakar Al-Murahim Al-Khotib (di kota Tarim), As-Syaikh Abud Al-Amudi (di kota Geidun). Setelah itu ia memulai pengembaraannya di sekitar kota-kota di Hadramaut untuk menuntut ilmu dan menghiasi kemuliaan nasabnya dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat.
Habib Alwi keliling dari satu kota ke kota yang lain untuk mengambil ilmu dari ulama-ulama besar yang dijumpainya. Guru-guru yang pernah ia datangi adalah: Habib Husain bin Muhammad Albar (di Gerain), Habib Umar bin Hadun Al-Atthas (di Masyhad), Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas (di Huraidhah), Habib Muhammad bin Abdullah Al-Atthas (di Maula Amed), Habib Umar Maula Amed (di Maula Amed), Habib Abdillah bin Umar bin Sumaith (di Syibam), Habib Abdullah bin Hasan bin Shaleh Al-Bahar (di Thi Usbuh), Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi (di Hauthoh Ahmad bin Zein), Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi (di Ghurfah), Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur (Mufti Hadramaut), Habib Idrus bin Alwi Alaydrus, Habib Abdul Qodir bin Ahmad Al-Haddad (di Tarim).
Itulah guru-guru beliau yang ada di Hadramaut, dimana mereka semua kebanyakan adalah ulama-ulama besar dan tidak jarang pula yang termasuk Wali min Auliyaillah. Suatu saat, ia ingin sekali menunaikan ibadah Haji dans lalu berziarah ke datuk beliau termulia Rasulullah SAW.
Setelah mendapat ijin dari kakek beliau abib Thohir bin Umar Alhaddad, berangkatlah ia menuju ke kota Makkah dan Madinah. Setelah menunaikan keinginannya, timbullah niat beliau untuk belajar dari para ulama besar yang ada di dua kota suci tersebut. Lalu ia menuntut ilmu disana dengan berguru kepada As-Syaikh Said Babshail, As-Syaikh Umar bin Abubakar Junaid, Habib Husin bin Muhammad Al-Habsyi (Mufti Syafi’iyah pada masa itu).
Setelah dirasa cukup menuntut ilmu disana, timbullah keinginannya untuk berhijrah ke Indonesia, sebagaimana yang dilakukan sebelumnya oleh ayah beliau Habib Muhammad. Sesampainya di Indonesia, ia lalu berziarah ke makam sang ayah, yakni Habib Muhammad bin Thohir Al-Haddad yang wafat di kota Tegal, Jawa Tengah, pada tahun 1316 H.
Keinginannya untuk selalu menuntut ilmu seakan tak pernah luntur dan pupus terbawa jaman. Inilah salah satu kebiasaan beliau untuk selalu mencari dan mencari ilmu dimanapun beliau berada. Tidaklah yang demikian itu, kecuali beliau mencontoh para Datuk beliau yang gemar menuntut ilmu, sehingga mereka bisa menjadi ulama-ulama besar.
Diantara para guru dari Habib Alwi yang ada di Indonesia adalah Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (di Surabaya), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor (di Surabaya, yang kemudian beliau dikawinkan dengan anaknya), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas (di Bogor), Habib Salim bin Alwi Al-Jufri (menetap di Manado), Habib Idrus bin Husin bin Ahmad Alaydrus (wafat di India dalam dakwahnya).
Di Indonesia, ia memilih untuk menetap di kota Bogor dan berguru pada Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas (di Bogor) atau yang lebih dikenal sebagai Habib Kramat Empang, Bogor. Habib Alwi selain menjadi murid keyangan Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas (di Bogor), ia berdakwah dan menyebarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat.
Habib Alwi dikenal sebagai seorang ulama besar dan ahli hadits. Di kota Bogor banyak mengadakan majlis-majlis taklim dan mengajarkan tentang Al-Islam. Habib Alwi sebagaimana ulama-ulama salaf pada umumnya, tidak hirau dan ingin dekat dekat dengan penguasa atau kekuatan politik mana pun.
Ini dibuktikan dengan sekelumit kisah Habib Awi ketika diundang oleh Presiden RI pertama, Ir. Soekarno untuk hadir di istana Bogor. Pada awalnya, Habib Alwi menolak untuk datang ke istana. Karena utusan presiden terus datang kepadanya dan memaksa, akhirnya Habib Alwi datang ke istana Bogor dan bertemu langsung dengan Soekarno.
Saat itu, Ir. Soekarno memang sedang menghadapi kesulitan yang besar, oleh pertikaian partai politik dan konfrontasi partai-partai kepadanya semakin gencar. Begitu Habib Alwi datang di istana, Soekarno langsung meminta doa agar masalah-masalah yang sedang dihadapinya bisa selesai. Mendengar permintaan dari sang Presiden, Habib Alwi menyatakan akan mendoakannya.
Setelah Habib Alwi pulang ke rumah, selang beberapa hari kemudian masalah yang menimpa Soekarno ternyata telah selesai di luar perkiraan Presiden. Soekarno merasa, terselesaikan masalah yang menimpanya itu, berkat doa dari Habib Alwi sehingga ia ingin bertemu kembali dan sekaligus ingin menyampaikan hadiah.
Kemudian diutuslah salah seorang ajudan Presiden mendatangi Habib Alwi untuk hadir kembali ke istana Presiden, karena ingin bertemu dan menyampaikan hadiah. Sebetulnya, Habib Alwi sangat berkeberatan untuk datang ke istana Bogor, ia menyampaikan penolakan itu secara halus. Tapi, sang ajudan Presiden kembali merayunya untuk tetap hadir ke istana, karena ini perintah Presiden. Akhirnya, Habib Alwi datang ke istana Bogor dan bertemu kembali dengan Presiden. Soekano waktu itu sangat gembira sekali menyambut Habib Alwi, dan menyatakan akan mengabulkan permintaan dari Habib Keramat dari Bogor itu. “Apa saja permintaan dari Habib inginkan, akan saya kabulkan,” kata Soekarno kepada Habib Alwi sebagai wujud terima kasih atas doa Habib Alwi.
Mendengar pernyataan dari sang Presiden pertama RI itu, Habib Alwi seolah tak percaya dan malah bertanya balik, ”Benarkah setiap permintaan dari saya akan dilaksanakan?”
“Ya,” jawab Soekarno dengan mantap.
“Tolong saya jangan dipanggil lagi ke istana. Kapan presiden memerlukan sesuatu hal, utus saja ajudan untuk datang ke rumah. Jadi tidak mengganggu waktu saya dan waktu dari presiden,” kata Habib Alwi.
Mendengar perkataan Habib Alwi, Soekarno merasa terharu sekali, karena ia baru saja menyaksikan seorang yang alim dan begitu tawadhu, akhirnya Soekarno hanya bisa menjawab, ”Hanya itu permintaan Habib? Habib harus tahu, 100 juta rakyat Indonesia ingin bertemu dan berusaha masuk ke istana Bogor ini, hanya ingin berjumpa dengan saya? Tapi Habib, menolak masuk ke Istana.”
Itulah kepribadian dari akhlak seorang ulama yang alim, terhadap penguasa tetap menjaga jarak, tidak silau dan ingin dekat dengan kekusaan atau politik karena ingin meniru jejak ajaran nenek moyang (jejak para kaum salaf).
Sampai akhirnya ia dipanggil oleh Allah menuju ke haribaan-Nya. Habib Alwo wafat di kota Bogor tahun 1373 H dan dimakamkan di Kompleks Masjid An nur berdampingan dengan sang guru tercinta, yakni Habib Abdullah bin Mukhsin Al-Atthas.
Sumber : http://syahiircenter.blogspot.com/p/kisah-ulama.html
Setya Sastrodimedjo
Post a Comment Blogger Disqus