Ahli Ilmu dan Amal dari Pasuruan
Kota Pasuruan mendapat keberkahan dari Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf, seorang ulama yang menggerakan majelis ilmu. Ia seorang ahli ilmu dan amal, sehingga dakwahnya diterima oleh masyarakat luas
Dalam sebuah acara haul Alwi bin Segaf Assegaf, seorang waliyullah di Kebon Agung (Pasuruan), Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf seorang mufti yang mukim di Jeddah pernah berkata pada hadirin, “Bahwa kalian semua, utamanya masyarakat Pasuruan patut bersyukur kepada Allah SWT. Setelah kalian ditinggal Habib Alawy bin Segaf Assegaf, kalian mendapatkan Habib Jafar bin Syaikhon Assegaf. Dan setelah Habib Jafar wafat, kini pengantinya diteruskan oleh menantunya, yakni Habib Abdul Qadir bin Husin Assegaf.”
Di majelis Haul tersebut, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf meneguhkan maqam seorang awliya dari Pasuruan, yakni Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf. Sangat wajarlah kalau Habib Abdul Qadir mendapatkan maqam yang sedemikian tinggi di sisi Allah SWT. Hal itu tentu bukan satu hal yang berlebihan dan semua itu bukan diperoleh dengan gratis. Kemuliaannya itu diperoleh dari hasil jerih payahnya. Sehingga ia mendapatakan bisyarah (ganjaran) dari Allah SWT.
Hingga saat ini, sekalipun Habib Abdul Qadir telah wafat puluhan tahun yang lalu, namun kiprah dakwahnya dalam memakmurkan majelis ilmu semakin semarak di rumahnya yang terletak di Jl. Wahid Hasyim Gg. VII, atau tepatnya di sebelah barat masjid Jami Al-Anwar, Kota Pasuruan.
Sampai sekarang berbagai macam keagamaan mulai pembacaan kitab Ihya Ulumuddin, Maulid, Burdah dan peringatan Khotmil Qur’an tiap malam Ramadhan adalah rintisan dari Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf. Kini majleis-majelis dakwah itu masih diteruskan oleh salah satu putranya yakni Habib Taufiq bin Abdul Qadir bin Husein Assegaf yang membuat kota yang bergelar kota santri itu makin bersinarkan ilmu dan syiar dakwah.
Habib Abdul Qadir bin Husein sendiri dilahirkan di Seiwun pada 1320 H. Ia merupakan putra dari Habib Husein bin Segaf Assegaf dan Hababah Salma binti Husin bin Alwy Assegaf. Ayah Habib Abdul Qadir ini masih satu saudara sekandung dengan Alawy bin Segaf Assegaf yang makamnya di Kebon Agung (Pasuruan).
Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan keluarga yang sarat dengan nilai-nilai religius. Keluarga dari Habib Abdul Qadir adalah ahlu ‘ilm wa ahlu amal. Pada usia yang sangat kecil ia sudah belajar Al-Quran dengan kedua orangtuanya. Ia belajar pertama kali dengan berguru pada Syeikh Hasan bin Abdullah Baraja’.
Seiring dengan berjalan usianya ia tidak henti-hentinya menuntut ilmu dari orang yang alim ke orang alim yang alim yang ada di sekitar Hadramaut. Guru-guru dari Habib Abdul Qadir diantaranya adalah Habib Muhammad bin Hadi Assegaf, Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf, Habib Hasan bin Abdurrahman Assegaf, Habib Alawy bin Abdullah bin Husin Assegaf, Habib Muhammad bin Hasan Aidid dan ulama-ulama yang ada di Tarim, Hadramaut.
Setelah sekian lama ia belajar menuntut ilmu agama, ia sempat berdiam diri di sebuah tempat yang bernama Basalim di Seiwun. Hingga ia mendengar keberadaan seorang auliya’ yang ada di Pasuruan. Rupanya ia ingin berkunjung dan bertemu dengan Habib Jafar bin Syaikhon Assegaf. Ia kemudian datang dari Hadramaut menuju Indonesia pada untuk menemui Habib Jafar di Pasuruan.
Begitu sampai di Indonesia, ia langsung menuju Pasuruan, Jawa Timur. Ketika itu Habib Jafar sedang menemui tamunya, diantaranya Habib Ahmad bin Ali Assegaf (alm) yang merupakan pendamping setia Habib Jafar. Begitu datang Habib Abdul Qadir, Habib Ahmad berkata kepada Habib Jafar, ”Ya Habib Jafar, kini kita kedatangan seorang tamu yang shalih yakni Habib Abdul Qadir bin Husin Assegaf, seorang soleh, ahli ilm dan amal dari Hadramaut.”
Kemudian diceritakan seluruh kebaikan Habib Abdul Qadir oleh Habib Ahmad bin Ali Assegaf. Lalu Habib Ahmad melanjutkan, “Kesempatan Habib Abdul Qadir datang di tempat ini. Lebih baik, jangan biarkan Habib Abdul Qadir meninggalkan kota ini. Caranya, kawinkan dengan salah satu putri Habib. Supaya dia berdiam di sini dan kelak meneruskan engkau, wahai Habib Jafar.”
Habib Jafar tidak menanggapi pernyataan dari pendamping setianya itu dan ia diam saja. Sampai Habib Abdul Qadir pamitan dan siap berangkat ke kota yang lain. Habib Ahmad bertambang bingung, “Kok tidak ditahan sama sekali?”
Setelah melepas Habib Abdul Qadir meneruskan perjalanan ke Jakarta, Habib Ahmad kembali berkata kepada Habib Jafar, “Sayang, kenapa tidak tahan tadi. Coba kalau dia menjadi menantu Habib, ia bisa meneruskan engkau, wahai Habib Jafar.”
Mendengar kecemasan dari Habib Ahmad, Habib Jafar dengan suara yang keras dan pandangan jauh ke depan berkata, ”Terbanglah kemana pun engkau suka, wahai burung! Tapi ingat, kendalimu ada di tangan saya. Sewaktu–waktu saya tarik dari Pasuruan, ia akan kembali ke kota ini. Ia tidak akan tingalkan tempat ini!”
Itulah perkataan dari seorang Waliyyulah, dan keyakinan dari Habib Jafar ini akhirnya terbukti. Walaupun, Habib Abdul Qadir sempat menikah di Jakarta, namun usia perkawinan itu tidak berlangsung lama. Habib Abdul Qadir akhirnya kembali ke Pasuruan dan menikah dengan salah satu putri Habib Jafar yang bernama syarifah Rugayah binti Habib Jafar Syekhon Assegaf. Dari perkawinan ini ia mempunyai 7 anak (3 putra, 2 putri).
Ibadahnya
Berbicara ibadahnya Habib Abdul Qadir sangat mengagumkan, sulit di jaman sekarang seorang ahli ibadah seperti ia. Dalam sebuah risalah, surat yang ditulis dari Habib Muhammad kepada Habib Ahmad tentang ibadah yang paling utama dari Habib Abdul Qadir di bulan suci Ramadan. “Hari-hari di bulan Ramadan selalu diisi dengan ibadah. Di setiap pertengahan malam ia bertahajud sampai 45 sebelum fajar, setelah itu ia baru melaksanakan sahur dengan keluarga. Setelah shalat Subuh berjamaah di masjid Jami’ Al-Anwar, ia berziarah ke makam Habib Jafar yang terletak persis di barat Masjid sampai terbit matahari.
Dan pulang beristirahat sejenak, di pertengahan shalat Dhuha dan tidak beranjak dari mihrabnya sampai datangnya waktu shalat Zhuhur. Setelah Zhuhur berjamaah, ia membaca 2 juz dari Al-Quran dan terus berada di mighrab sampai Ashar. Dan setelah waktu Ashar shalat di masjid dan raukhah, membaca kitab dan jelaskan isi kitabnya dan ada ulama yang menterjemahkan kepada orang-orang yang hadir.
Setelah itu 20 menit menjelang buka, ia selalu mengajak para fakir dan miskin dan diajak untuk berbuka bersama dan setelah itu ia shalat Maghrib berjamaah. Sekitar 30 menit waktu sebelum shalat Isya, ia baru makan bersama dengan keluarga sampai datang waktu Isya. Setelah waktu Isya, ia keluar rumah dan jamaah diajak membaca Surat Yasin, Ratibul Haddad, Ratib Attas, shalat Isya, shalat Tarawih, shalat Witir dan dilanjutkan dengan shalat Tasbih. Ibadah-ibadah rutin ini, diamalkan secara istiqamah selama bulan Ramadhan.
Habib Abdul Qadir dikenal orang sebagai ahli dzikir, membaca Quran, maulid, Qasidah Al Muthoriah. Sampai sekarang setiap Jum’at sore membaca maulid di tempat ia. Bahkan dalam berpergian (safar), ia tidak ketinggalan wiridnya. Bahkan dalam membaca maulid jika waktunya tidak sampai, ia tetap berdiri sekalipun harus berdiri di kendaraan saat Mahalul Qiyam, walau ia susah payah untuk mengerjakan kebiasaan itu.
Ia juga menjaga shalat jama’ah tidak pernah ditinggalkan, kalau tidak mendapatkan jamaah, ia rela membayar orang-orang fakir untuk diajak shalat jamaah, karena itu adalah sunnahnya Rasulullah SAW. Ia sangat menjaga sunnah-sunnah Rasulullah SAW, hampir-hampir tidak ada amalan sunnah yang ia tingalkan. Apa yang menjadi sunnah nabi, ia selalu berusaha untuk mengerjakan.
“Kalau masuk masjid dengan mendahulukan kaki kanan, kalau ia lupa salah mendahulukan kaku ketika masuk atau keluar masjid, ia tak segan-segan akan mengulanginya lagi agar sama dengan sunnahnya Nabi Muhammad SAW. Demikian juga dalam bersiwak. Siwak tidak pernah ketinggalan, di setiap tempat ada siwak mulai di atas sajadah, almari, kamar, khawatir tidak bersiwak. Demikian menjaga sunnah nabi SAW, ” demikian kata Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf menantu Habib Abdul Qadir.
Tradisi berdzikir dibawa sampai jelang wafat pada waktu ba’da Asar, 19 Syawal 1399 H. Kota Pasuran berduka ditinggalkan oleh Habib Abdul Qadir bin Husin Assegaf. Diakhir umurnya sebelum meninggalkan dunia yang fana, ketika detik-detik terakhir, selang beberapa menit sebelum wafat, ia sempat masuk ke kamar dan memerintahkan salah satu keluarga memanggil Habib Ahmad bin Ali Assegaf untuk masuk ke dalam kamar .
Dibuka seluruh jendela dan ia terbaring dan membaca ayat Al-Qur’an yakni QS At Taubah 128-129. Ketika sampai bacaan la illa hu…ketika itulah ruhnya dicabut oleh Alah SWT.
Tentunya, tidak pandai mengagumi tapi mampu meneladaninya.Paling tidak dengan belajar untuk meneladani kehidupan mereka. Semoga kita dapat mengambil berkahnya, sehingga dapat kita tiru dan kita contoh segala kebaikannya.
Sumber : http://syahiircenter.blogspot.com/p/kisah-ulama.html
Setya Sastrodimedjo
Post a Comment Blogger Disqus