Mengenang Ibnu Rusydi adalah mengenang masa kejayaan Islam, mengenang betapa dinamisnya transformasi ilmu, mengenang tokoh-tokoh besar semasanya. Mengenang suatu masa dimana ilmu, pengetahuan, kebudayaan, intelektualisme, profesionalisme lebih dihargai, lebih bernilai dari harta; emas dan permata.
Mengenang Ibnu Rusydi adalah mengenang suatu masa dimana kondisi ideal masyarakat; intelektual, pemikir tersebar di sudut-sudut kota, pelosok-pelosok desa. Pelajar-pelajar berdatangan dari daerah, negeri-negeri, baik yang dekat maupun yang jauh. Itulah kondisi masyarakat yang menjadi proyeksi dan tujuan diturunkannya al Quran. Kondisi sosial masyarakat tamadun atau madani, suatu komunitas masyarakat yang berperadaban.
Ibnu Rusydi dilahirkan pada tahun 520 H di kota Qordoba sebuah kota Metropolitan kala itu di Andalusia pada abad 6. Pada saat itu jika kita menyebut, Atena, Rowawi, Iskandariah, Badhdad, kita tidak bisa memisahkannya dari kota Qordoba. Sekitar 150 tahun sebelumnya Khalifah al Muntashir Billah, seorang Khalifah yang mempunyai perhatian besar pada dunia intelektualisme wafat (366 H), beliau adalah khalifah dari bani Umayah.
Al Muntashir Billah mengumpulkan berbagai literatur, membangun perpustakaan yang besar, yang belum pernah di bangun oleh seorangpun di Dunia ketika itu. Ibnu Khaldun dalam Muqadimahnya berkata: ” ... khalifah mengutus para saudagar dan para pedagang, dibekali uang untuk mencari, memburu kitab di berbagai daerah. Sehingga tak heran jika di Andalusia terkumpul ribuan kitab yang sebelumnya tidak pernah mereka ketahui.
Di kisahkan khalifah menghadiahkan sejumlah uang pada seorang ulama yang mengarang kitab Agghani, Abi al Faraj al Isfihani. Seorang ulama yang masih mempunyai hubungan darah dengan Bani Umayah. Selain dihadiahi uang emas seribu dinar, Abi al Faraj al Isfihani di beri salinan kitab itu sebelum di bawa ke Irak (untuk dibawa ke Andalusia).
Hal yang sama dilakukan pula pada Qadhi al Abhuri al Maliki atas jasanya dalam mensyarahi Mukhtashar ibnu Abdul Hikam. Demikian pula dengan ulama-ulama lainnya. Khalifah mengumpulkan para penulis yang handal, serta orang-orang ahli penjilid kitab. Hingga Andalus memiliki perpustakaan yang sangat lengkap. Sebuah capaian yang tidak dapat digapai oleh orang setelah maupun sebelumnya ...”.
Suri tauladan khalifah dalam mendedikasikan hidupnya untuk ilmu, dan semangatnya, perhatiannya dalam mengumpulkan kitab-kitab itu ditiru oleh para saudagar, dan para konglomerat di Andalusia. Baik mereka yang gemar membaca maupun tidak. Al Hadhrami mengisahkan satu kejadian yang membuatnya terkagum-kagum.
Al Hadhrami berkisah: ”suatu ketika aku singgah di kota Qordhoba, aku mendatangi pertokoan buku-buku di kota itu. Aku berharap aku bisa mendapatkan kitab yang sudah lama aku cari. Pucuk dicinta ulam ditiba, kitab yang kucari itu aku temukan. Tulisannya bagus, penjelasannya memukau. Aku senang tidak kepalang. Aku hargai kitab itu dengan sangat mahal, melebihi harga standar kitab itu. Tiba-tiba ada seseorang yang datang kemudian menawar kitab itu lebih mahal lagi. Mencapai harga yang sungguh tinggi sekali. Aku berkata: ’ wahai tuan siapa gerangan yang menawar kitab itu sebegitu tinggi?’.
Si penawar tadi mengajak sesorang kehadapanku, dia memakai pakaian yang bagus. Kemudian aku menghampirinya, aku menegurnya: ’tuan yang dimulyakan Allah, duhai tuanku yang alim. Jika tuan berminat untuk membeli kitab itu, aku tak jadi membelinya. Tuan telah menawarnya dengan harga yang tinggi sekali’. Orang itu menjawab: ’aku bukanlah seorang alim, tidak pula aku memahami apa isi dari kitab itu. Hanya saja aku membangun sebuah perpustakaan di kediamanku supaya aku lebih terhormat dalam pandangan para pemuka negeriku. Dalam perpustakaanku itu masih ada tempat yang kosong, aku kira cukup untuk kitab ini. Waktu aku melihat tulisannya yang rapi, sampulnya bagus aku tak memikirkan seberapa mahal harga kitab itu. Al Hamdulilah Allah telah memberiku harta yang melimpah”.
Dalam kondisi sosial seperti itulah Ibnu Rusydi tumbuh. Ibnu Rusydi pernah berkelekar pada Ibnu Zuhri seorang ulama sekaligus filsuf. Saat itu keduanya di hadapan al Manshur bin Abd Mu’min, Khalifah bani Muhawahidin. ”... aku tidak mengerti apa yang kau katakan wahai Ibnu Zuhri. Yang aku tahu jika seorang cendikiawan di Isybilah wafat kitab-kitabnya di jual ke Qordoba, disana pasti laku. Tapi jika ada orang yang wafat di Qordoba harta peninggalannya dijual di Isybilah, sebab disana pasti laku”.
Dua tokoh itu adalah cendekiawan muslim cemerlang. Kepakaran dan penguasaan mereka dalam berbagai cabang ilmu menjadi bukti pencapaian luar biasa Islam pada abad itu. Pakar-pakar kenamaan di Qordoba berusaha membentuk keluarga intelektual sehingga capaian yang telah mereka gapai di raih oleh anak cucunya.
Itu menjadi kebanggan tersendiri bagi mereka. Masyarakat dan para ulama di Qordoba menyebut Ibnu Rusydi al Jid (kakek), Ibnu Rusydi al Ibnu (anak), Ibnu Rusydi al hafid (cucu). Untuk membedakan antara kakek anak dan cucu, yang sama-sama di panggil Ibnu Rusydi. Demikian juga untuk menyebut keluarga intelektual lainnya, Ibnu Zuhri semisal. Mereka menyebut Ibnu Zuhri al Ashgar untuk membedakan dari Ibnu Zuhri al Hafid.
Pantaslah jika mereka berkata; 'bukanlah lelaki sejati orang yang berkata inilah bapaku orang terhormat, lelaki sejati adalah orang yang berkata inilah aku yang berkepribadian dan berkemampuan'.
Post a Comment Blogger Disqus