Di samping Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi, Syihabuddin Suhrawardi, orang harus menyebut nama Muhammad bin Ibrahim al-Qawami asy-Syirazi atau yang lebih dikenal dengan Mulla Shadra dalam jajaran sepuluh pemikir Muslim sejati.
Mulla Shadra lahir pada 1572 M. (979 H.) di kota Syiraz, wilayah selatan Iran, dalam lingkungan keluarga kaya. Konon, ayahnya adalah seorang pejabat di Istana Kerajaan Safawi, sebuah kerajaan Syiah yang berkuasa di Persia sejak 1501-1732 Masehi atau 907-1145 Hijriah. Pada 1640 M. (1050 H.), dalam perjalanan kakinya yang ketujuh menuju Mekkah untuk berhaji, Mulla Shadra terserang penyakit dan wafat di Basrah, Irak.
Sebagai anak tunggal, sejak masa kanak-kanak Mulla Shadra telah diarahkan ayahnya untuk berkonsentrasi menuntut ilmu. Segera setelah ayahnya meninggal, Mulla Shadra pindah ke kota Isfahan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, terutama dalam bidang-bidang ilmu rasional (missal : logika, teologi, dan filsafat) dan tradisional (misal : irfan, tafsir dan hadits). Guru pertamanya di Isfahan adalah Syaikh Baha’ ad-Din al-Amili atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Baha’i (1547-1622 M.). Pemikir Syiah asal Lebanon ini dikenal sangat rigorous dalam berargumen, selain juga gemar mengotak-atik astronomi, geometrid an arsitektur. Guru kedua Mulla Shadra adalah sobat sekalian rival Baha’i, yaitu Sayyid Muhammad Baqir atau lebih dikenal dengan Mir Damad (1543-1631 M.).
Syaikh Baha’i dan Mir Damad, ditambah Mir Findiriski, adalah para pelopor Mazhab Isfahan yang melambari pemikiran Mulla Shadra. Di reruntuhan bangunan yang berdiri pada periode Safawi di Isfahan terdapat lukisan dinding yang memperlihatkan ketiga tokoh terpandang ini di hadapan seekor singa. Lukisan ini merekam anekdot masyhur yang terjadi pada masa hidup ketiga tokoh yang memang sebaya ini. Menurut anekdot itu, ketika tiga orang ini sedang duduk-duduk berdiskusi di suatu ruangan istana, tiba-tiba seekor singa lepas dari kerangkengnya. Pada lukisan itu tampak Syaikh Baha’i bergerak menghindar, Mir Damad bersujud syukur dan Mir Findiriski yang acuh tak acuh dengan situasi sekitar. Tiga pemikir yang berkawan ini kemudian diminta untuk menjelaskan reaksi masing-masing. Syaikh Baha’i menjelaskan bahwa dia mengetahui singa tidak menyerang kecuali dalam keadaan lapar, tapi instingnya menggerakkannya untuk berjaga-jaga. Mir Damad menjelaskan bahwa dia bersujud syukur karena binatang buas tidak mungkin menyerang anak keturunan Nabi Muhammad SAW. Sementara Mir Findiriski yang juga anak keturunan Nabi menjelaskan bahwa dia bias menaklukan singa dengan kekuatan pengendalian diri. Terlepas dari ekstrapolasi hagiografisnya, hikayat ini dengan manis menampilkan zeitgeist periode Safawi yang melatari lahirnya filsafat Mulla Shadra.
Karakteristik paling menonjol dalam filsafat Mulla Shadra ialah penyatuan metode rasional-filosofis yang diwakili kalangan Peripatetik semisal Syaikh Baha’I dan metode spiritual-mistis yang diwakili kalangan Isyraqiyyah semisal Mir Damad dan Mir Findiriski di satu sisi, dan ajaran-ajaran Islam yang diyakininya di sisi lain.
Dalam karangannya yang berjudul Mafatih al-Ghaib, Mulla Shadra menuturkan :
“Banyak orang yang bergelut dalam ilmu pengetahuan menyangkal (adanya) ilmu gaib laduni (langsung dari sisi Allah) yang dipegang oleh salik dan urafa (yang lebih kuat dan lebih kukuh dibanding semua ilmu lain) dengan mengatakan : “Bagaimana mungkin ada ilmu tanpa proses belajar, berpikir dan berpandangan?”
Dalam magnum opus-nya, al-Asfar, Mulla Shadra bahkan menyatakan: “Teori-teori diskursif hanya akan mempermainkan para pemegangnya dengan keragu-raguan; dan kelompok yang datang belakangan akan melaknat kelompok yang datang sebelumnya, sehingga ‘Setiap umat yang masuk (ke dalam neraka) akan melaknat umat sebelumnya (yang telah ikut menyesatkannya)’ (QS. Al-A’raf : 38).
Dalam sistem filsafat Mulla Shadra, metode rasional-filosofis tidak bias berdiri secara terpisah dari metode penyucian ruhani dan begitu pula sebaliknya; keduanya saling membutuhkan, sedemikian sehingga bila yang satu berjalan tanpa yang lain maka kerancuan dan kesesatan akan terjadi. Mulla Shadra menyatakan :
“Kaum sufi biasanya mencukupkan diri pada rasa dan intuisi (wijdan) dalam mengambil kesimpulan, sedangkan kami tidak akan berpegang pada apa yang tidak berdasarkan bukti demonstrative (burhan)”.
Kemudian dia mengatakan :
“Janganlah engkau peduli pada pelbagai kepura-puraan puak sufi, dan jangan pula engkau gandrung pada pelbagai celoteh para filosof gadungan. Hati-hatilah, wahai sahabatku, dari kejahatan kedua puak ini. Semoga Allah tidak mempertemukan kita dan mereka biarpun hanya sekejap mata”.
Di tempat lain, dia menyimpulkan :
“Oleh sebab itu, yang paling tepat ialah kembali kepada metode kami dalam memperoleh makrifat dan pengetahuan dengan memadu-padankan metode para filosof yang bertuhan (muta’allih) dan para mistikus yang beragama Islam”.
Upaya Mulla Shadra mendamaikan metode rasinal-filosofis dan spiritual-mistis dengan ajaran-ajaran Islam sesungguhnya berangkat dari keyakinan pada kebenaran Islam. Baginya, kebenaran Islam yang menggabungkan kekuatan rasional dengan kekayaan spiritual hanya bias dipahami dan diapresiasi melalui kedua metode ini secara seimbang. Dalam al-Mabda’ wa al-Ma’ad, Mulla Shadra secara singkat memaparkan keserasian bukti-bukti rasional dan ajaran-ajaran tradisional Islam. Pada karya utamanya, al-Asfar, secara ekstentif ia meneguhkan keserasian metode filosofis dan mistis dengan ajaran-ajaran Islam. Dalam al-Asfar, secara lantang ia menandaskan :
“Adalah mustahil hukum-hukum Syariat yang haq, Ilahi dan putih-bersih berbenturan dengan pengetahuan-pengetahuan yang mutlak aksiomatis; dan celakalah aliran filsafat yang prinsip-prinsipnya tidak selaras dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Mulla Shadra lahir pada 1572 M. (979 H.) di kota Syiraz, wilayah selatan Iran, dalam lingkungan keluarga kaya. Konon, ayahnya adalah seorang pejabat di Istana Kerajaan Safawi, sebuah kerajaan Syiah yang berkuasa di Persia sejak 1501-1732 Masehi atau 907-1145 Hijriah. Pada 1640 M. (1050 H.), dalam perjalanan kakinya yang ketujuh menuju Mekkah untuk berhaji, Mulla Shadra terserang penyakit dan wafat di Basrah, Irak.
Sebagai anak tunggal, sejak masa kanak-kanak Mulla Shadra telah diarahkan ayahnya untuk berkonsentrasi menuntut ilmu. Segera setelah ayahnya meninggal, Mulla Shadra pindah ke kota Isfahan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, terutama dalam bidang-bidang ilmu rasional (missal : logika, teologi, dan filsafat) dan tradisional (misal : irfan, tafsir dan hadits). Guru pertamanya di Isfahan adalah Syaikh Baha’ ad-Din al-Amili atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Baha’i (1547-1622 M.). Pemikir Syiah asal Lebanon ini dikenal sangat rigorous dalam berargumen, selain juga gemar mengotak-atik astronomi, geometrid an arsitektur. Guru kedua Mulla Shadra adalah sobat sekalian rival Baha’i, yaitu Sayyid Muhammad Baqir atau lebih dikenal dengan Mir Damad (1543-1631 M.).
Syaikh Baha’i dan Mir Damad, ditambah Mir Findiriski, adalah para pelopor Mazhab Isfahan yang melambari pemikiran Mulla Shadra. Di reruntuhan bangunan yang berdiri pada periode Safawi di Isfahan terdapat lukisan dinding yang memperlihatkan ketiga tokoh terpandang ini di hadapan seekor singa. Lukisan ini merekam anekdot masyhur yang terjadi pada masa hidup ketiga tokoh yang memang sebaya ini. Menurut anekdot itu, ketika tiga orang ini sedang duduk-duduk berdiskusi di suatu ruangan istana, tiba-tiba seekor singa lepas dari kerangkengnya. Pada lukisan itu tampak Syaikh Baha’i bergerak menghindar, Mir Damad bersujud syukur dan Mir Findiriski yang acuh tak acuh dengan situasi sekitar. Tiga pemikir yang berkawan ini kemudian diminta untuk menjelaskan reaksi masing-masing. Syaikh Baha’i menjelaskan bahwa dia mengetahui singa tidak menyerang kecuali dalam keadaan lapar, tapi instingnya menggerakkannya untuk berjaga-jaga. Mir Damad menjelaskan bahwa dia bersujud syukur karena binatang buas tidak mungkin menyerang anak keturunan Nabi Muhammad SAW. Sementara Mir Findiriski yang juga anak keturunan Nabi menjelaskan bahwa dia bias menaklukan singa dengan kekuatan pengendalian diri. Terlepas dari ekstrapolasi hagiografisnya, hikayat ini dengan manis menampilkan zeitgeist periode Safawi yang melatari lahirnya filsafat Mulla Shadra.
Karakteristik paling menonjol dalam filsafat Mulla Shadra ialah penyatuan metode rasional-filosofis yang diwakili kalangan Peripatetik semisal Syaikh Baha’I dan metode spiritual-mistis yang diwakili kalangan Isyraqiyyah semisal Mir Damad dan Mir Findiriski di satu sisi, dan ajaran-ajaran Islam yang diyakininya di sisi lain.
Dalam karangannya yang berjudul Mafatih al-Ghaib, Mulla Shadra menuturkan :
“Banyak orang yang bergelut dalam ilmu pengetahuan menyangkal (adanya) ilmu gaib laduni (langsung dari sisi Allah) yang dipegang oleh salik dan urafa (yang lebih kuat dan lebih kukuh dibanding semua ilmu lain) dengan mengatakan : “Bagaimana mungkin ada ilmu tanpa proses belajar, berpikir dan berpandangan?”
Dalam magnum opus-nya, al-Asfar, Mulla Shadra bahkan menyatakan: “Teori-teori diskursif hanya akan mempermainkan para pemegangnya dengan keragu-raguan; dan kelompok yang datang belakangan akan melaknat kelompok yang datang sebelumnya, sehingga ‘Setiap umat yang masuk (ke dalam neraka) akan melaknat umat sebelumnya (yang telah ikut menyesatkannya)’ (QS. Al-A’raf : 38).
Dalam sistem filsafat Mulla Shadra, metode rasional-filosofis tidak bias berdiri secara terpisah dari metode penyucian ruhani dan begitu pula sebaliknya; keduanya saling membutuhkan, sedemikian sehingga bila yang satu berjalan tanpa yang lain maka kerancuan dan kesesatan akan terjadi. Mulla Shadra menyatakan :
“Kaum sufi biasanya mencukupkan diri pada rasa dan intuisi (wijdan) dalam mengambil kesimpulan, sedangkan kami tidak akan berpegang pada apa yang tidak berdasarkan bukti demonstrative (burhan)”.
Kemudian dia mengatakan :
“Janganlah engkau peduli pada pelbagai kepura-puraan puak sufi, dan jangan pula engkau gandrung pada pelbagai celoteh para filosof gadungan. Hati-hatilah, wahai sahabatku, dari kejahatan kedua puak ini. Semoga Allah tidak mempertemukan kita dan mereka biarpun hanya sekejap mata”.
Di tempat lain, dia menyimpulkan :
“Oleh sebab itu, yang paling tepat ialah kembali kepada metode kami dalam memperoleh makrifat dan pengetahuan dengan memadu-padankan metode para filosof yang bertuhan (muta’allih) dan para mistikus yang beragama Islam”.
Upaya Mulla Shadra mendamaikan metode rasinal-filosofis dan spiritual-mistis dengan ajaran-ajaran Islam sesungguhnya berangkat dari keyakinan pada kebenaran Islam. Baginya, kebenaran Islam yang menggabungkan kekuatan rasional dengan kekayaan spiritual hanya bias dipahami dan diapresiasi melalui kedua metode ini secara seimbang. Dalam al-Mabda’ wa al-Ma’ad, Mulla Shadra secara singkat memaparkan keserasian bukti-bukti rasional dan ajaran-ajaran tradisional Islam. Pada karya utamanya, al-Asfar, secara ekstentif ia meneguhkan keserasian metode filosofis dan mistis dengan ajaran-ajaran Islam. Dalam al-Asfar, secara lantang ia menandaskan :
“Adalah mustahil hukum-hukum Syariat yang haq, Ilahi dan putih-bersih berbenturan dengan pengetahuan-pengetahuan yang mutlak aksiomatis; dan celakalah aliran filsafat yang prinsip-prinsipnya tidak selaras dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Post a Comment Blogger Disqus