Sinergi Dakwah dengan Tarbiyah
Dakwah akan kering jika tanpa diairi dengan ta’lim. Dan dakwah akan menuai sukses jika bertanzhim.
Pembawaannya tenang, polos, murah senyum, apa adanya, senang bicara ilmu dan dakwah. Itulah yang tampak padanya saat kita bersua pertama kalinya. Saat alKisah tiba di kediamannya, habib muda ini tengah mengajar beberapa orang muridnya membaca kitab pelajaran bahasa Arab dan fiqih. Dialah Habib Husein bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Assegaf.
Ia dikenal sebagai muballigh, guru, dan pendidik. Di kediamannya yang berukuran sedang dan sederhana itu juga terdapat beberapa anak santri yang mukim. Mereka belajar di bawah asuhan Habib Husein langsung, yang memang sangat perhatian dengan dunia pendidikan anak-anak dan remaja.
Habib Husein lahir di Jakarta, 21 September 1972, tepatnya di daerah Pasar Minggu. Ada kisah menarik berkaitan dengan kelahirannya di kampung keluarga Al-Haddad, yang terletak di belakang kantor Bakin saat ini.
Suatu ketika sang kakek, yang terkenal sebagai guru besar ulama-ulama Indonesia, ‘Allamah Al-Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf, hijrah dari Solo ke Jakarta. Ia diminta Habib Salim bin Thaha Al-Haddad Pasar Minggu untuk membantu kegiatan majelisnya dalam beberapa tahun. Habib Ahmad, yang memang berkecimpung di dunia pendidikan, tentu sangat senang mendapatkan kehormatan besar itu. Selain mengajar, Habib Ahmad juga menjadi direktur madrasah Jamiat Kheir.
Setelah sekian tahun berada di Jakarta dan beberapa kota besar di Jawa, ia memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, Hadhramaut.
Habib Ahmad wafat dalam perjalanan pulangnya tersebut. Agar tak mati obor, kata orang Betawi, putra Habib Ahmad yakni Habib Muhammad mencoba merajut silaturahim yang telah dibangun ayahandanya dengan Habib Salim bin Thaha Al-Haddad. Ia rajin mendatangi majelis Habib Salim dan membantu kegiatan ta’lim di kampung Al-Haddad ini. Di situlah Allah menakdirkannya berumah tangga. Habib Muhammad menikah dengan seorang wanita dari keluarga Al-Haddad, Syarifah Ni’mah binti Hasyim Al-Haddad. Dari pernikahan itu, Habib Muhammad mendapatkan beberapa orang anak, di antaranya putra terkecilnya, tokoh figur kita kali ini, Habib Husein bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Assegaf.
Anak Angkat Habib Ali Johor
Habib Husein menempuh pendidikan dasarnya di Pasar Minggu. Saat baru beberapa bulan melanjutkan pendidikannya di SMP, ayahandanya, Habib Muhammad, wafat.
Amminya (pamannya), Habib Abdullah, yang banyak aktif di Kantor Rabithah Alawiyah, sangat dekat dengan ketua Rabithah saat itu, Habib Syech bin Ali Al-Jufri. Habib Syech sering mondar-mandir ke Malaysia, menemui salah seorang sahabatnya, seorang alim dan pendidik yang kaya raya, Habib Ali bin Hasan Alatas, yang mengasuh madrasah peninggalan kakeknya, Habib Hasan bin Ahmad Alatas Johor.
Pada suatu kesempatan, Habib Ali bin Hasan Alatas meminta tolong kepada Habib Syech Al-Jufri agar dicarikan seorang anak untuk dijadikan anak angkatnya. Habib Syech meminta tolong kepada ‘Ammi Abdullah, apakah putra Habib Muhammad, yakni tokoh figur kita ini, bersedia menjadi anak angkat Habib Ali Johor dan tinggal bersamanya di Johor Malaysia.
Singkat cerita, Habib Husein muda menjadi anak angkat Habib Ali bin Hasan Alatas. Ia bersekolah di Madrasah Al-‘Attasiah, sekolah Islam tertua di Malaysia, yang dibangun Habib Hasan bin Ahmad Alatas, seorang hartawan yang dikenal dermawan. Bahkan keterkenalan namanya diabadikan untuk sebuah pulau di kepulauan Malaysia dengan nama Pulau Hasan bin Ahmad Alatas. Habib Ali sendiri, yang tak lain cucu Habib Hasan, dikenal sebagai ketua jawatan pengusaha (seperti Kadin) se-Malaysia. Habib Ali sangat concern dengan dunia pendidikan. Ia juga senang berkumpul dengan para ulama.
Di madrasah Al-Attasiah, sering ada pertemuan ulama-ulama tingkat dunia. Tokoh-tokoh ulama besar seperti Habib Hasan Asy-Syathri, Habib Salim Asy-Syathri, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Habib Umar Bin Hafidz, dan banyak kiai dari Indonesia sering hadir dalam berbagai kesempatan di Madrasah Al-Attasiah. “Alhamdulillah, ana berkesempatan mengenal langsung mereka, menyentuh tangan mereka, tabarruk kepada mereka...,” katanya penuh syukur.
Di Al-Attasiah, Habib Husein belajar dengan sungguh-sungguh. Selama tujuh tahun ia bersekolah di sana, di bawah asuhan dan bimbingan sejumlah guru yang tak hanya pandai mengajar dengan pengetahuannya, tapi juga mendidik dengan akhlaqnya. Di antara guru-gurunya ialah Habib Muhsin bin Umar Alatas Lawang, Habib Zein Al-Habsyi, Habib Ahmad Nasim Alatas. Semua guru sangat berkesan baginya, namun, “Habib Muhsin Alatas-lah yang mengasuh ana selama tujuh tahun dengan segala perhatiannya,” ujarnya mengenang masa-masa belajar.
Setelah menempuh pendidikan Tsanawiyah hingga lulus Aliyah, pada tahun 1993 ia disuruh memilih untuk melanjutkan pendidikan, ke Mesir atau lainnya. “Pada saat itu Malaysia lebih banyak berhubungan dengan Al-Azhar Mesir, sehingga ana ikuti apa yang ditawarkan Habib Ali bin Hasan Alatas, yakni ke Al-Azhar,” kata Habib Husein.
Sebelumnya ia sempat mengajar selama setahun di Malaysia. Honor mengajar itu dikumpulkannya demi pulang kampung menengok ibu dan saudara-saudaranya di Jakarta.
Setelah itu ia kuliah di Al-Azhar, mengambil jurusan bahasa Arab. Inilah jurusan yang sangat tidak diminati mahasiswa asing (non-Arab), karena tingkat kesulitan pada hafalan-hafalan syair Jahili, Andalusi, dan sebagainya. Belum lagi hafalan Al-Qur’an, hadits, dan berbagai kerumitan dalam gramatika. “Tapi lantaran cinta dan suka, ana jalani itu. Ana paling hobi membaca. Jika ke perpustakaan atau toko buku, ana bisa berjam-jam menghabiskan satu buku untuk ana baca. Ke toko buku bisa dari pagi sampe sore, padahal yang dibeli cuma satu-dua buku,” kata Habib Husein sedikit bergurau.
Habib Husein rutin menyambangi majelis-majelis ilmu yang diasuh Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi, Syaikh As’ad, Syaikh Muhammad Hasan, dan beberapa ulama lainnya. Bahkan ada rauhah (majelis) Habib Ali bin Abdurrahman Al-Jufri di Kairo yang rutin dihadirinya. Begitu pula jika Habib Umar Bin Hafizh datang berkunjung, ia tak akan menyia-nyiakan waktunya untuk ber-muwajahah (tatap muka). “Mesir itu kota ilmu, ilmu apa saja ada. Pokoknya, masya Allah... tapi ana tetap merajut hubungan dengan habaib yang alim-alim ini, agar tak putus dengan akar kita,” demikian kata Habib berputra tujuh orang ini.
Selama kuliah di Mesir, ia merasakan beban berat menuntut ilmu. Mahasiswa Indonesia, tak seperti mahasiswa Malaysia, umumnya agak sulit secara ekonomi. Kalau Malaysia sangat diperhatikan, baik oleh pemerintahnya maupun pribadi-pribadi yang dermawan. Mereka disokong bantuan dan beasiswa yang memadai.
Alhamdulillah, perhatian Habib Ali bin Hasan Alatas, ayah angkatnya, sangat besar. Habib Ali banyak membantunya di tanah rantau, di Negeri Seribu Menara itu.
Setelah enam tahun menimba ilmu di Mesir dan berhasil menamatkan pendidikannya, ia kembali ke Malaysia.
Panggilan Dakwah
Sebagaimana lazimnya, ia diharuskan mengabdi di almamaternya itu. Ia mengajar berbagai materi ilmu-ilmu Islam dengan kitab-kitabnya. Ia juga menyambi untuk mengajar di Singapura. Hingga hari ini ia masih berkunjung ke Singapura untuk keperluan mengajar tersebut.
Setelah mengabdi di Al-Attasiah, almamaternya, selama tujuh tahun, pada tahun 2004 ia pulang ke tanah air.
Ia sempat mengajar agama dan bahasa Inggris di sebuah sekolah elite di kawasan utara Jakarta selama tiga tahun. Namun ia ingin fokus menggeluti dakwah, mengajar anak-anak pribumi muslim, yang terpinggirkan.
Ia sadar, kehidupan ekonominya akan berbalik 180 derajat. Namun panggilan dakwah itu begitu besar, “Hati ana hanya mau berkhidmah untuk dakwah dan mengajar anak-anak negeri ana, Indonesia, yang ana cintai. Karena merekalah yang butuh sentuhan tarbiyah dari kita, sebagaimana habaib kita di masa lalu mencontohkan,” katanya. Sehingga ia mengajukan pengunduran diri dari sekolah elite tersebut.
Suatu ketika ia bermimpi. Dalam mimpinya itu, ada suara berkata, “Ya Husein, ente sebaiknya jualan genteng aja.”
Setelah bermusyawarah dengan sang istri, ia mendapat jawaban, “Habib kan Assaggaf, atap, nah atap itu berkait dengan genteng. Genteng dan atap itu menaungi yang di bawahnya, agar tak kehujanan dan kepanasan.” Dari mimpi itulah ia mendapati makna yang mendalam bahwa ia memang harus berkhidmah dalam dakwah. Menaungi masyarakat dengan ilmu dan dakwah agar selamat dari murka dan adzab, membimbing mereka ke jalan Allah, Rasul, dan salaf yang shalih.
Habib Husein lalu membuat payung bagi kegiatan dakwahnya ini dengan nama “Ahbabu Rasulillah SAW”. Kegiatannya pun beragam. Memadukan tabligh, ta’lim, dan tanzhim. Dengan melakukan ta’lim, misalnya, ia membimbing santri-santrinya dengan pengajian kitab secara keliling, membangun pondok tahfizh Qur’an, hadits, fiqih, serta bahasa.
“Santri-santri ana emang belum seberapa banyak. Tapi di antara mereka ada yang sudah piawai dalam bahasa Arab, hafal sekian juz Al-Qur’an, hafal kitab Matn Zubad, dan seratus hadits. Target ana, mereka bisa memimpin masyarakat dalam hal dakwah dan ibadah,” kata habib yang juga pernah menangani sebuah pondok di Megamendung, Bogor, ini. Putranya sendiri, yang digemblengnya sejak dua tahun belakangan ini, telah hafal 10 juz Al-Qur’an, kitab Zubad, dan setengah bagian dari kitab hadits Riyadhush Shalihin. Begitu juga dengan beberapa anaknya yang lain, dengan hafalan Al-Qur’an yang beragam jumlah juznya.
Selain mengajarkan bahasa Arab, Habib Husein juga membekali santrinya dengan bahasa Inggris. Tetapi dari itu semua, yang ia tekankan adalah hafalan Al-Qur’an dan hadits. Karena itu pintu gerbang bagi pendalaman ilmu-ilmu lainnya.
Dakwah dengan Tanzhim
Selain concern pada pendidikan, Habib Husein juga menekankan dakwahnya dengan tanzhim. Yaitu berlatih berorganisasi, aktif melakukan hubungan sosial, menjalin hubungan erat dengan berbagai komponen masyarakat.
Misalnya, ia menjalin komunikasi yang intens dengan FPI (Front Pembela Islam), MER-C, Majelis Ustadz Arifin Ilham, dan berbagai kompenen dakwah lainnya, untuk bersinergi. “Kita ini jangan eksklusif. Kita kudu peka dengan apa yang terjadi di masyarakat. Lihat tuh, anak-anak yatim, Palestina, kemaksiatan di masyarakat... siapa yang harus turun tangan kalau bukan kita semua. Kita sentuh mereka dengan dakwah bil hikmah wal maw’izhatil hasanah,” ujarnya.
Habib Husein pernah didatangi seorang pendeta, yang ingin mengujinya dan mengkritisi gerakan dakwahnya. Ia pun menyambut kedatangan si pendeta. Ia hanya berkata, “Silakan buka Injil Anda, biar saya menyimaknya. Lalu akan saya jawab kekeliruan-kekeliruan Anda, dengan dalil dari Injil Anda juga.”
Si pendeta terkesiap dengan kata-kata sang habib, dan dia pun ngeloyor pergi begitu saja, seolah menyadari bahwa dia telah kalah sebelum bertanding.
Habib Husein bin Muhammad Assegaf memang seorang dai dan pendidik sejati. Dakwah baginya kering jika tanpa diairi dengan ta’lim. Dan dakwah akan sukses jika bertanzhim. Kini ia berdakwah seperti halnya datuknya, ‘Alimul ‘Allamah Faqidul ‘Ilm Wattarbiyah Asy-Sya’ir Al-Adib Al-Habib Ahmad bin Abdullah Asseggaf rahimahullah rahmatal abrar, yang disebut murabbi dan mu’allim yang penuh inspirasi. (Sumber : Majalah alKisah)
Post a Comment Blogger Disqus