Mistikus Cinta

3
Gurunya Prabu Joyoboyo 

Syaikh Maulana Ali Syamsuddin Al Washil
Di Kota Kediri terdapat tempat wisata religi yang terletak di jalan Dhoho yaitu makam Syeikh Sulaiman Syamsudin al Wasil atau Syeikh Ali Syamsu Zain yang dikabarkan sebagai Waliyullah, yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Wasil. Banyak yang tidak menyangka kalau di tengah pusat perbelanjaan tersebut terdapat makam yang menjadi salah satu wisata religi terkenal. Letaknya di tengah pemakaman umum lingkungan Setono Gedong di belakang Masjid Aulia. Tidak sulit untuk menuju ke lokasi makam karena cukup dengan berjalan kaki sekitar 100 meter ke arah barat melalui gang yang cukup lebar di tengah Jl. Dhoho. 

Makam Mbah Wasil selalu ramai dikunjungi peziarah terutama pada malam Jumat, lebih lebih pada Bulan Ramadhan. Bukan hanya dari wilayah Kediri Raya, para peziarah juga banyak yang berasal dari luar daerah bahkan dari luar Jawa dan luar negeri. Mereka datang untuk berdoa, membaca tahlil, membaca Al-Quran dan ada juga yang hanya sekedar ingin tahu. 

Sepenggal Kisah Perjalanan Syeikh Sulaiman Syamsudin al Washil atau Syeikh Ali Syamsu Zain atau Mbah Washil

Beliau hidup pada abad XI dimana Syeikh Sulaiman Syamsudin atau Syeikh Ali Syamsu Zein ini adalah guru dari Raja Kadiri Sri Aji Jayabaya. Beliau datang dari Negeri Persia datang ke tanah Jawa untuk menyebarkan ajaran Islam. Ini tercantum dalam serat Jangka Jayabaya. Dikabarkan bahwa Mbah Wasil adalah guru spiritual Jayabaya bahkan konon ia adalah tokoh yang mempunyai andil besar dalam ramalan Jayabaya. 

Mbah Wasil juga dikabarkan mempunyai empat pengikut setia dari Persia yang selalu menemaninya menyebarkan agama Islam. Keempat orang itu juga dimakamkan di kompleks pemakaman Setono Gedong di dekat makam Mbah Wasil. 

Sementara itu juga tidak diketahui kapan Mbah Wasil meninggal karena di nisan makam Mbah Wasil tidak tertulis nama, tanggal, tahun dan keterangan lainnya yang menunjukkan waktu beliau meninggal. Di nisan hanya tertulis kalimat Syahadat yang mengartikan bahwa mbah Wasil adalah orang Islam yang ditokohkan dan dihormati masyarakat sekitar sebagai penyebar agama Islam. 

Kemasyhuran beliau, karomah kewaliannya, energi barokah yang diradiasikan mampu mengikat dan menarik banyak Muslim untuk datang berdoa dan melantunkan ayat ayat Allah. Ini menunjukkan beliau adalah tokoh yang agung dan dekat dengan Sang Pencipta. Semoga keberadaan makam Syeikh Sulaiman Syamsudin Al-Wasil atau Syeh Ali Syamsu Zain ini bisa memancarkan cahaya ketenangan, kedamaian, keamanan dan kemakmuran khususnya di Kota Kediri termasuk bagi mereka yang rutin berziarah dan mendoakannya. 

Masyarakat Kediri menyebut beliau dengan nama Syaikh Maulana Syamsudin Al-Washil atau Mbah Washil atau Syeikh Syamsuddin atau Pangeran Mekkah atau Syeikh Sulaiman Syamsuddin Al-Washil, beliau di percaya sebagai tokoh penting dalam penyebaran agama Islam Kediri di masa lampau. Di ceritakan beliau bersama wali-wali yang lain bermaksud mendirikan sebuah Masjid Agung di Setono Gedong, sebagai tempat berkumpulnya para Auliya ketika berada di Kediri, setelah melalui proses musyawarah, maka diambil kesepakatan, bahwa secara gotong-royong upaya pembangunan Masjid di Setono Gedong akan di bangun dalam “waktu semalam”, sebelum terdengarnya ayam jantan berkokok.

Namun pekerjaan itu akhirnya mengalami kegagalan, saat beliau bersama para Auliya telah berhasil menyelesaikan pondasi dan lantai dasar dari bangunan Masjid, karena tanpa di duga terdengar suara keras....... dhug..dhug..dhug..!. Dan ternyata suara itu berasal dari seorang perawan kampung yang sedang memukul-mukul wakul (bakul) nasi, dengan maksud membersihkan sisa-sisa nasi.

Suara itu terdengar cukup keras dan gaduh, membuat beberapa ayam jantan berkokok bersahut-sahutan, padahal waktu malam belum berganti pagi, dan akhirnya pembangunan Masjid Agung Setono Gedong itu tidak di teruskan. Menyadari akan hal itu, ada diantara Auliya (sebagian versi; Mbah Washil) mengeluarkan “kalam-sabdo”. (Wallahu A’lam).

Tercantum (Versi lain) dalam sebuah sumber tertulis yang tersimpan di Museum Pusat Jakarta dengan sebutan nama Ngali Syamsu Zein. Dari teks tersebut di ketahui bahwa Maulana Ali Syamsudin pada abad XI, membahas kitab musyarar atas permintaan undangan Raja Kediri waktu itu, yang bernama Sri Aji Jayabaya. Tersebut dalam kitab Pramana Siddhi karangan Prabu Jayabaya, Prabu yang menciptakan Jangkaning Jaman, ramalan tentang jaman yang akan datang..,

“… Mereka mengabdi kepada Syekh Maulana Ngali Samsu Jen, raja pandhita di tanah Ngerum..” (Serat Babad Kadhiri hal : 11)

Tersebut juga dalam kitab Musarrar :

“… Lajeng angguru sayekti Sang Prabu Jayabaya Mring Sang raja pandhitane Rasane Kitab Musarar...”.

“…Raja Pandhita apamit Musna saking palenggahan...”.

Terjemahan:

“…Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita. Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua...”.

“…Raja Pandita pamit dan musnah dari tempat duduk...”

Dari keterangan di atas, maka terjadilah suatu “kewajaran”, berkaitan dengan opini masyarakat yang mengatakan bahwa :

“Syekh Washil merupakan wali keturunan Arab asal Persia, orang pertama yang membawa agama Islam ke Jawa, khususnya di daerah Kediri. Masa hidup Syekh Wasil setara dengan masa hidup pujangga Jawa ternama, yang juga seorang raja di kerajaan Kediri pada waktu itu, yaitu Prabu Sri Aji Jayabaya”.

Berarti masa hidup Syekh Wasil lebih dahulu dari pada masa "Wali Songo". Sehingga, apa yang di ceritakan sebagian masyarakat, bahwa Prabu Jayabaya pada akhirnya memeluk agama Islam mengikuti Syekh Wasil, ada benarnya. (Wallahu A’lam).

Makam Mbah Washil

Makam Mbah Washil, berada di Jl. Dhoho, letaknya di tengah pemakaman umum Desa Setono Gedong, di sebelah barat Masjid Auliya Setono Gedong (belakang Masjid), komplek makam tersebut lebih di kenal dengan sebutan “Makam Auliya Setono Gedong

Beberapa versi mengenai Mbah Washil, jika ditinjau dari legenda Situs Makam Setono Gedong :

Versi I :

Mbah Wasil adalah tokoh penyebar agama Islam abad XI, yang hidup sezaman dengan para Wali Songo. Beliau seorang Maulana (Pembesar) berkebangsaan Arab dari kota Mekah.

(Teori ini kemungkinan yang menjadi pijakan dalam penamaan (laqab) Mbah Washil dengan nama panggilan “Pangeran Mekkah”).

Alkisah..
Mbah Washil akan di jadikan pemimpin di negara tempat tinggalnya, tetapi beliau menolak, sebab beliau lebih cinta pada Allah SWT. Kemudian beliau mengasingkan diri atau hijrah ke Nusantara di pulau Jawa, tepatnya di Desa Setono Gedong Kediri Jawa Timur. Beliau di mungkinkan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan Drajat yang merupakan putra kedua dari Sunan Ampel. Pendapat ini didasari oleh dua (2) indikasi :

Pertama :
Adanya kesamaan arsitektur bangunan dan ornamentasi yang terdapat di kompleks bangunan Setono Gedong dengan kompleks bangunan makam Sunan Drajat di Lamongan.

Kedua :
Istri Sunan Drajat adalah Retno Ayu Condro Sekar, adalah Putri Adipati Kediri yang bernama Suryo Adilogo.

Dalam Versi ini, digambarkan selain menyebarkan agama Islam, Mbah Washil dan para Sunan bermaksud mendirikan sebuah Masjid Agung di Setono Gedong, sebagai tempat berkumpulnya para Auliya ketika berada di Kediri, setelah melalui proses musyawarah, maka diambil kesepakatan, bahwa secara gotong-royong upaya pembangunan Masjid di Setono Gedong akan di bangun dalam “waktu semalam”, sebelum terdengarnya ayam jantan berkokok.

Namun pekerjaan itu akhirnya mengalami kegagalan, saat beliau bersama para Auliya telah berhasil menyelesaikan pondasi dan lantai dasar dari bangunan Masjid, karena tanpa di duga terdengar suara keras.......dhug..dhug..dhug..!. Dan ternyata suara itu berasal dari seorang perawan kampung yang sedang memukul-mukul wakul (bakul) nasi, dengan maksud membersihkan sisa-sisa nasi.

Suara itu terdengar cukup keras dan gaduh, membuat beberapa ayam jantan berkokok bersahut-sahutan, padahal waktu malam belum berganti pagi. Dan ahirnya pembangunan Masjid Agung itu tidak di teruskan, hasilnya hanyalah sebuah pondasi, area di atas pondasi itu sempat difungsikan sebagai sarana dan prasarana ibadah, dan tempat pertemuan para wali waktu berkumpul di Kediri.

Hal tentang Masjid ini dapat dilihat dari bentuk susunan batu yang tertata dan pola denah bangunan yang mengarah ke bentuk bangunan Masjid, yaitu berbentuk persegi panjang. Karena pembangunan masjid terhenti, akhirnya material yang rencananya akan di gunakan untuk membangun masjid itu di bawa kembali oleh para wali guna menyelesaikan pembangunan Masjid Demak dan Masjid Cirebon. Dan pondasi yang urung di buat Masjid sampai saat ini masih terlihat keberadaannya, bahkan setelah mengalami pemugaran dan berbentuk pendopo, terasa nyaman di buat leyeh-leyeh.

Versi II :

Mbah Washil adalah seorang tokoh penyebar Islam yang di makamkan di Setono Gedong. Sedangkan situs Setono Gedong sendiri merupakan bekas candi, dan pada era penyebaran agama Islam, oleh para Wali situs itu di alih fungsikan sebagai pondasi masjid.

Ciri-ciri candi yang masih tersisa dari Situs Setono Gedong adalah sebuah lapik arca berhiaskan relief garuda, lengkap dengan padmasana-nya.

Padmasana adalah pahatan kelopak bunga teratai yang merupakan simbol kesucian dalam agama Hindu dan Budha. (Tapi versi ini kurang mendapatkan uplouse dari masyarakat ataupun ahli sejarah karena dasar yang di gunakan masih terkesan subyektif dengan berbagai argument yang sangat minim).

Versi III :

Mbah Washil, sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli di mungkinkan adalah seorang ulama besar keturunan Arab yang datang dari Persia (Ngerum), beliau datang ke Kediri untuk membahas kitab Musyarar atas undangan dari Raja Kediri Sri Aji Jayabaya. Di yakini bahwa Beliau adalah guru spiritual Raja Kediri Sri Aji Jayabaya, dan merupakan orang pertama yang menyebarkan agama Islam di Kediri. Bahkan konon Syekh Ali Syamsudin yang penulisan namanya di dalam “Serat Jangka Jayabaya” dengan nama Syeh Ngali Syamsu Zein adalah tokoh yang mempunyai andil besar dalam pembuatan buku ramalan “Serat Jangka Jayabaya”. Sebagian ahli sejarah lebih condong mengatakan bahwa Mbah Washil hidup setara dengan hidup Raja Kediri yang juga seorang pujangga Jawa ternama yaitu Sri Aji Jayabaya yang petilasannya berada di Pamenang Kediri, yaitu pada abad XI (baca: Tentang Mbah Washil versi lain). Salah satu sejarawan yang berani memastikan bahwa Syekh Washil adalah ulama atau Imam besar pada sekitar abad 11-12 M, adalah Prof. Dr. Habib Mustopho, Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Malang (UM), yang melakukan penelitian tentang Syekh Washil dengan basis data historis dan arkeologis, kesimpulan itu antara lain di peroleh dari prasasti berhuruf Jawa Kuno atau epigraf yang terdapat di makam Syekh Wasil :

“Al-Imam Al-Kamil Al-Syafi`i Madzhaban Al-Arabi Nisban wahuwa Tajd Al-Qudaa”, sayang sekali, bagian terakhir dari kalimat prasasti itu sudah terhapus oleh ulah tangan-tangan manusia. Akibatnya, kalimat pada sekian baris terakhir yang di antaranya menyebut tanggal dan tahun kematian Syekh Wasil, tidak bisa terbaca dengan baik.

Dalam versi ini juga dikabarkan bahwa Mbah Wasil mempunyai empat pengikut setia dari Persia (Wali Arba`) yang selalu menemaninya menyebarkan agama Islam. Keempat orang pengikut Mbah Washi itu juga dimakamkan di kompleks pemakaman Setono Gedong di dekat makam Mbah Wasil sebelah selatan (Wallahu A`lam)

Versi IV :

Dalam Kitab “Majmu’at As-Silsilati ahada asyara min Al-auliy”, (Kumpulan Silsilah atau nasab sebelas orang Auliya). Kitab kecil itu memuat di dalamnya silsilah Mbah Washil yang dalam penulisannya di sebut “Sayyidina Sulaiman Al-Washil Al-Kamil Al-Hafidzh Al-Qur’an Wa al-Kutub fi Setono Gedhong”, (Sayyid Sulaiman yang telah mencapai derajat wushul yang sempurna yang hafal Al-Qur’an dan Kitab-Kitab Agama di Setono Gedhong). Disebutkan dalam kitab tersebut bahwa Mbah Washil adalah keturunan ke-6 dari Sayyidina Ihsan Nawawi (Sunan Bayat Solo), dan keturunan ke-25 dari Nabi Muhammad Saw.

Kitab tersebut di susun oleh KH. M. Mubasysyir Mundzir (Mbah Mundzir), yang mashur di kalangan Ulama pada saat itu sebagai Ulama Ahli Ilmu Nasab (Silsilah), beliau adalah seorang tokoh pendiri dan pengasuh Pondok-Pesantren Ma’unahsari Bandarkidul Kediri.


Sumber :
Juru kunci Makam Setonogedhong dan salah satu kiai Pondok Lirboyo, Kediri.






Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Mistikus Blog dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:




Anda sedang membaca Syaikh Maulana Ali Syamsuddin Al Washil | Silahkan Like & Follow :
| | LIKE, SHARE, SUBSCRIBE Mistikus Channel
| Kajian Sufi / Tasawuf melalui Ensiklopedia Sufi Nusantara, klik: SUFIPEDIA.Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Instagram | Facebook.

Post a Comment Blogger Disqus

  1. Pernah mendengar obrolan ringan seorang kiai sepuh dari Gunungkidul Yogyakarta bahwa Syaikh Maulana Ali Syamsudin itu sebenarnya "Empu Panuluh". Kelihatannya ini menarik untuk dikaji mengingat sang kyai kelihatannya juga cukup memiliki pengaruh dibelakang layar NU. (Dengar-dengar bersama Habib Abdillah alhadad Pondok Al-Khowas Prambanan, Gus Sholah dan Gus Dur juga pernah sowan ke kyai sepuh ini). Saya kira NU atau sejarawan ada baiknya melacak siapa sebenarnya "Empu Panuluh" itu sebagai sumbangan sejarah. Dengan kata lain sejarah Islam di Indonesia ternyata sudah dimulai jauh sebelum Demak atau jauh sebelum akhir Kerajaan Majapahit. Maka bersambung dengan disertasi penelitian Prof. Dr. Sutjipto Wirjosuparto, bahwa Mpu Panuluh pujangga Kadiri pada awal abad ke-12 ternyata juga dijumpai beberapa kata-kata bahasa Arab dalam kitab sastra karangannya dalam Kakawin Ghatotkacashraya. Jika ini benar, maka seperti Sunan Kalijaga generasi sesudahnya --- Syaikh Ali Syamsudin tentu meggunakan pendekatan adaptif dalam penyebaran agama Islam agar mudah diterima penduduk Nusantara. Bukankah Sunan Kalijaga juga menggunakan isi sastra Hindu (wayang, kakawin Mahabarata, Ghatotkacashraya dll) dalam menyebarkan agama Islam? Ini metode paling efektif sebab kitab-kitab seperti itu hanya boleh dibaca dan diketahui oleh mereka dari golongan kasta brahmana dan ksatria, sementara oleh para wali (Syaikh Ali Syamsudin, Sunan Kalijaga dll) kemudian disebarkan ke rakyat jelata (kasta sudra) sehingga mereka tertarik dan dapat memahami apa yang disampaikan sang wali dalam menyebarkan agama Islam. Jadi tidak langsung menggunakan dalil-dalil agama seperti dakwahnya orang sekarang. Dulu lebih meggunakan pendekatan kultur apa yang menjadi kebiasaan dan keyakinan masyarakat pada masa itu ….

    ReplyDelete
  2. Crita di atas brarti gak klop..Walisongo itu abad 15...mbah wasil konon XI..itupun blum ada bukti

    ReplyDelete
  3. Bukannya mbah washil aka syech syamsudin dr mesir ya.. pernah baca penelitian sejarahwan ugm..

    ReplyDelete

 
Top