Mistikus Cinta

1
KH. Bisri Musthofa
Ulama Serba Bisa dengan Karya Besar

Mengenang seorang tokoh yang telah tiada, tentunya bukan sekedar mengenangnya sebatas bernostalgia. Pelajaran apa yang dapat kita petik dari tokoh yang bersangkutan. Barangkali itulah yang penting. Kita bisa belajar dari jejak langkahnya, perjuangannya, dan karya-karya yang telah dihasilkannya.

Dalam konteks itu, KH. Bisri Musthofa – yang akrab dipanggil Mbah Bisri – patut kita kenang dan kita teladani. Apalagi, KH. Bisri Musthofa adalah satu dari sedikit ulama Islam Indonesia yang memiliki karya besar. Beliaulah pengarang Kitab Tafsir Al Ibriz li Ma’rifat Tafsir Al Quran Al Al’Aziz. Kitab tafsir ini selesai ditulisnya tahun 1960, dengan jumlah halamam setebal 2270, yang terbagi dalam tiga jilid besar.

Sebenarnya masih banyak karya-karya lain yang dihasilkannya lebih dari 54 karya tulisnya. Tidak hanya mencakup bidang tafsir, tapi juga bidang yang lain, seperti tauhid, fiqh, tasawuf, hadits, tata bahasa Arab, sastra Arab dan lain-lain.

Selain itu, KH. Bisri Musthofa juga dikenal sebagai seorang orator atau ahli pidato. KH. Saifuddin Zuhri dalam bukunya melukiskan, Kiai Bisri mampu mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit, menjadi begitu gampang, mudah diterima semua kalangan baik orang kota maupun desa. Hal-hal berat menjadi begitu ringan, dan sesuatu yang membosankan menjadi mengasyikkan. Sedangkan, sesuatu yang kelihatannya sepele menjadi amat penting. Berbagai kritiknya sangat tajam, meluncur begitu saja dan menyegarkan. Yang menarik, pihak yang terkena kritik tidak marah, karena disampaikan dengan sopan dan menyenangkan.

KH. Bisri Musthofa dilahirkan di Desa Sawahan, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1915. Nama aslinya Masyhadi. Nama Bisri ia pilih sendiri sepulang dari menunaikan ibadah haji di kota suci Mekah. Ia putra pertama dari empat bersaudara pasangan H. Zaenal Musthofa dengan istri keduanya yang bernama Hj. Katijah. Tidak diketahui jelas silsilah kedua orangtuanya sama-sama cucu dari Mbah Syuro, seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai tokoh kharismatik di Kecamatan Sarang. Namun, sayang sekali, tentang Mbah Syuro ini pun tidak ada informasi yang pasti dari mana asal-usulnya.

Di usianya yang ke-20, KH. Bisri Musthofa dinikahkan oleh gurunya yang bernama Kiai Cholil dari Desa Kasingan, tetangga Desa Sawahan, dengan seorang gadis bernama Ma’rufah, yang saat itu berusia 10 tahun. Gadis ini tidak lain adalah puteri Kiai Cholil sendiri. Belakangan diketahui, inilah alasan Kiai Cholil tidak memberikan izin kepada KH. Bisri Musthofa untuk melanjutkan studi ke pesantren Termas, yang waktu itu diasuh oleh Kiai Dimyati. Dari perkawinannya inilah, KH. Bisri Musthofa dianugerahi delapan anak. Yakni, Cholil, Musthofa, Adieb, Faridah, Najihah, Labib, Nihayah dan Atikah. Cholil (KH. Cholil Bisri) dan Musthofa (KH. Musthofa Bisri) merupakan dua putra KH. Bisri Musthofa yang paling dikenal masyarakat sebagai penerus kepemimpinan pesantren yang dimilikinya. KH. Bisri Musthofa wafat pada tanggal 16 Februari 1977.

KH. Bisri Musthofa

Belajar Dari Banyak Guru di Mekah

KH. Bisri Musthofa lahir dari lingkungan pesantren, karena memang ayahnya seorang Kiai. Sejak umur tujuh tahun, ia belajar di sekolah Jawa “Ongko Loro” di Rembang. Di sekolah ini, KH. Bisri Musthofa tidak sampai selesai. Ketika hampir naik kelas dua, ia terpaksa meninggalkan sekolah, karena diajak oleh orang tuanya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Rupanya, inilah masa dimana ia harus merasakan kesedihan mendalam, karena dalam perjalanan pulang di pelabuhan Jedah ayahnya yang tercinta wafat setelah sebelumnya menderita sakit di sepanjang pelaksanaan ibadah haji.

Sepulang dari tanah suci, KH. Bisri Musthofa sekolah di Holland Indische School (HIS) di Rembang. Tak lama kemudian, dipaksa keluar oleh Kiai Cholil (Guru di Pondok dan belakangan jadi mertua), dengan alasan sekolah tersebut milik Belanda, dan kembali lagi ke sekolah “Ongko Loro” sempat mendapatkan sertifikat dengan masa pendidikan empat tahun. Pada Usia 10 tahun (tepatnya pada tahun 1925), KH. Bisri Musthofa melanjutkan pendidikannya ke pesantren Kajen, Rembang. Pada tahun 1930, KH. Bisri Musthofa belajar di pesantren Kasingan pimpinan Kiai Cholil.

Setahun setelah dinikahkan oleh Kiai Cholil dengan puterinya Ma’rufah itu, KH. Bisri berangkat lagi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama-sama anggota keluarga dari Rembang. Namun, seusai haji, KH. Bisri Musthofa tidak pulang ke tanah air, melainkan memilih bermukim di Mekah dengan tujuan menuntut ilmu di sana.

Di Mekah, pendidikan yang dijalani KH. Bisri Musthofa bersifat non formal. Ia belajar dari satu guru ke guru lain secara langsung dan privat. Di antara guru-gurunya itu, terdapat ulama-ulama asal Indonesia yang telah lama mukim di Mekah. Secara keseluruhan guru-gurunya di Mekah adalah:
  1. Syeikh Baqir, asal Yogyakarta. Dari gurunya ini, KH. Bisri belajar Kitab Lubbil Ushul, “Umdatul Abrar, tafsir al-Kasysyaf”. 
  2. Dari Syeikh Umar Hamdan al-Maghriby, ia belajar Kitab Hadits Shahih Bukhari dan Muslim. 
  3. Dari Syeikh Ali Maliki belajar Kitab al-Asybah waal-Nadha’ir dan al-Aqwaal al-Sunnan al-Sittah. 
  4. Dari Sayid Amin belajar Kitab Ibnu Aqil. 
  5. Dari Syeikh Hassan Massath belajar Kitab Minhaj Dzawin Nadhar. 
  6. Dari Sayid Alwi belajar tafsir Al-Quran al-Jalalain. 
  7. Dari KH. Abdullah Muhaimin belajar Kitab Jam’ul Jawami.
Dua tahun lebih KH. Bisri menuntut ilmu di Mekah, dan pulang ke Kasingan, tepatnya pada 1938, atas permintaan mertuanya. Setahun kemudian, mertuanya, Kiai Cholil, meninggal dunia. Sejak itulah KH. Bisri menggantikan posisi guru dan mertuanya itu sebagai pemimpin pesantren.

Dalam mengajar para santrinya, ia melanjutkan sistem yang dipergunakan kiai-kiai sebelumnya, yaitu menggunakan sistem balagh (bagian) menurut bidangnya masing-masing. Beberapa kitab yang diajarkan langsung kepada para santrinya adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Alfiyah Ibn Malik, Fath al-Mu’in, Jam’ul Jawami, Tafsir al-Quran, Jurumiyah, Matan’Imrithi, Nadham Maqshud, Liqudil Juman, dan lain-lain.

Selain kegiatan mengajar di pesantren, Ia juga aktif pula memberikan ceramah-ceramah dalam berbagai pengajian. Penampilannya diatas mimbar amat mempesona para hadirin yang ikut yang ikut mendengarkan ceramahnya. Karena itu, ia sering diundang untuk memberikan ceramah dalam berbagai kesempatan di luar daerah Rembang, seperti Kudus, Demak, Lasem, Kendal, Pati, Pekalongan, Blora dan daerah-daerah lain di Jawa Tengah.

Murid-Muridnya 

KH. Bisri Musthofa memiliki banyak murid. Di antara murid-muridnya yang menonjol adalah:
  1. KH. Saefullah (pengasuh sebuah pesantren di Cilacap), 
  2. KH. Muhammad Anshari (Surabaya), 
  3. KH. Wildan Abdul Hamid (pengasuh pesantren Kendal), 
  4. KH. Basrul Khafi, 
  5. KH. Jauhar, 
  6. Drs. Umar Faruq, S.H. (Dosen IAIN di Jakarta), 
  7. Drs. Fathul Qorib (Dosen IAIN di Medan), 
  8. H. Rayani (pengasuh pesantren al-Falah Bogor), dan lain-lain.
Jumlah tulisan-tulisan hasil karyanya yang ditinggalkan mencapai lebih kurang 54 buah judul, meliputi tafsir, hadits, aqidah, fiqh, sejarah nabi, balaghah, nahwu, sharf, kisah-kisah, syi’iran, doa, tuntunan modin, naskah sandiwara, khotbah-khotbah dan lain-lain.

Karya-karya tersebut dicetak oleh beberapa perusahaan percetakan dan penerbit, yang biasa menerbitkan buku-buku pelajaran santri atau kitab kuning. Di antaranya penerbit Salim Nabhan Surabaya, Progresif Surabaya, Toha Putera Semarang, Raja Murah Pekalongan, Al-Ma’arif Bandung, dan yang terbanyak dicetak oleh percetakan Menara Kudus. Karyanya yang paling monumental adalah Tafsir al-Ibriz (3 Jilid), di samping kitab Sulamul Afham (4 Jilid).

Kenangan Lucu KH. Achmad Shofwan

KH. Achmad Shofwan, LC, pimpinan Pondok Pesantren Terpadu Daarul Muttaqien Surabaya mengenang KH. Bisri Musthofa sebagai ulama yang serba bisa. “Beliau juga dikenal sebagai tokoh intelektual Islam, dan pernah menjadi anggota MPRS. Mbah Bisri adalah guru saya, dan saya banyak belajar dari beliau. Banyak kiat-kiat cerdas yang saya pelajari dari beliau. Saya menjadi seperti sekarang karena pernah belajar pada beliau”, ujar KH. Shofwan yang tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada KH. Bisri Musthofa.

KH. Bisri Musthofa, kenang KH. Shofwan, semasa hidupnya punya sisi-sisi human interest yang selalu diingatnya. Sehari-harinya berpenampilan necis dan modern, jauh dari gambaran kiai tradisional. Ini terutama kalau sedang bertugas di Jakarta. Semasa mudanya, selain pak Yai Shofwan juga ajudan Mbah Bisri, dan karena itu sering satu mobil dengan ulama terkenal itu.

“Kalau dalam perjalanan dengan mobil itu saya ngantuk dan tertidur, Mbah Bisri menciprati saya dengan air dari termos yang selalu dibawanya. Dengan begitu, mata saya melek, dan tidak tertidur lagi. Melihat itu, beliau ketawa-ketawa”, tutur KH. Shofwan mengenang sambil tertawa.

Suatu hari, Shofwan muda kepingin sekali masuk gedung MPR, padahal ada aturan selain anggota MPR siapa pun yang tak berkepentingan dilarang masuk. Tapi, ia kepingin sekali masuk dan tahu suasana di dalam gedung. Dalam perjalanan di dalam mobil ke gedung MPR, ia mengutarakan keinginan itu. Apa reaksi KH. Bisri? Tidak melarang. “Kalau begitu, kamu tetap di dalam mobil saja, saya akan atur supaya kamu diijinkan masuk. Tas saya akan saya tinggal dan nanti kamu yang bawa”, kata KH. Bisri Musthofa.

Lalu KH. Bisri menghampiri petugas sekuriti gedung, dan berkata, “Tolong Anda ke sopir saya di mobil itu, dan suruh antar tas saya ke ruangan saya”. Maka, petugas keamanan gedung MPR itu menghampiri Yai Shofwan yang menunggu di mobil, dan menyampaikan pesan agar membawa tas KH. Bisri ke dalam gedung MPR. Yai Shofwan dengan senang membawa tas, dan masuk ke gedung MPR. Ternyata, dengan cara itulah, ia bisa masuk gedung MPR yang menjadi keinginannya sejak lama.

“Itulah kiat cerdas KH. Bisri. Beliau memang tak pernah kehilangan akal. Kalau mengenang kejadian puluhan tahun lalu itu, saya ketawa sendiri”, ujar KH. Achmad Shofwan.




Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Mistikus Blog dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:




Anda sedang membaca KH. Bisri Musthofa | Silahkan Like & Follow :
| | LIKE, SHARE, SUBSCRIBE Mistikus Channel
| Kajian Sufi / Tasawuf melalui Ensiklopedia Sufi Nusantara, klik: SUFIPEDIA.Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Instagram | Facebook.

Post a Comment Blogger Disqus

 
Top