Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Jepara.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M di Pulau Bawean. Karya Sastra Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr.
Sunan Bonang juga menggubah tembang Tombo Ati yang kini masih sering dinyanyikan orang. Ada pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya. Referensi B.J.O. Schrieke, 1916, Het Boek van Bonang, Utrecht: Den Boer
G.W.J. Drewes, 1969, The admonitions of Seh Bari : a 16th century Javanese Muslim text attributed to the Saint of Bonang, The Hague: Martinus Nijhoff.
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha.
Ia kemudian menetap di Bonang --desa kecil di Lasem, Jawa Tengah-- sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar.
Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.
Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wujil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'itsbat (peneguhan).
Raden Maulana Makdum Ibrahim, atau yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Bonang, adalah seorang putera dari Sunan Ampel.
Berbicara tentang Sunan Bonang yang namanya didepannya tercantum kata-kata Maulana Makdum, mengingatkan kita kembali kepada cerita di dalam sejarah Melayu. Konon kabarnya dalam sejarah Melayu pun dahulu ada pula tersebut tentang cendekiawan islam yang memakai gelar Makdum, yaitu gelar yang lazim dipakai di India. Kata atau gelar Makdum ini merupakan sinonim kata Maula atau Malauy gelar kepada orang besar agama berasal dari kata Khodama Yakhdamu dan infinitifnya (masdarnya) khidmat. dan maf'ulnya dikatakan makhdum artinya orang yang harus dikhidmati atau dihormati karena kedudukannya dalam agama atau pemerintahan Islam di waktu itu.
Salah seorang besar yang mengepalai suatu departemen ketika terjadi pembentukan adat yang berdasarkan Islam, tatkala agama Islam memasuki lingkungan Minangkabau, berpangkat Makdum pula. Rupanya Makhdum atau Mubaligh Islam yang berpangkat atau bergelar Makhdum itu datang ke Malaka dalam abad ke XV, ketika Malaka mencapai puncak kejayaannya. Kembali mengenai diri Sunan Bonang disamping beliau adalah putera Sunan Ampel juga menjadi muridnya pula. Adapun daerah operasinya semasa hidupnya adalah terutama Jawa Timur.
Disanalah beliau mulai berjuang menyebarkan agama Islam. Beliau adalah putera dari Sunan Ampel dalam perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, seorang putera dari Arya Teja, salah seorang Tumenggung dari kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban. Menurut dugaan Sunan Bonang dilahirkan dalam tahun 1465 M, serta wafat pada tahun 1525 M.
Maulana Makhdum Ibrahim, semasa hidupnya dengan gigih giat sekali menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Timur, terutama di daerah Tuban dan sekitarnya. Sebagaimana halnya ayahnya, maka Sunan Bonang pun mendirikan pondok pesantran di daerah Tuban untuk mendidik serta menggembleng kader-kader Islam yang akan ikut menyiarkan agama Islam ke seluruh tanah Jawa. Konon beliaulah yang menciptakan gending Dharma serta berusaha mengganti nama-nama hari nahas/sial menurut kepercayaan Hindu, dan nama-nama dewa Hindu diganti dengan nama-nama malaikat serta nabi-nabi. Hal mana dimaksudkan untuk lebih mendekati hari rakyat guna diajak masuk agama Islam.
Di masa hidupnya, beliau juga termasuk penyokong dari kerajaan Islam Demak. Serta ikut pula membantu mendirikan Masjid Agung di kota Bintoro Demak.
Adapun mengenai filsafat Ketuhanannya, adalah :
"Adapun pendirian saya adalah, bahwa imam tauhid dan makrifat itu terdiri dari pengetahuan yang sempurna, sekiranya orang hanya mengenal makrifat saja, maka belumlah cukup, sebab ia masih insaf akan itu. Maksud saya adalah bahwa kesempurnaan barulah akan tercapai hanya dengan terus menerus mengabdi kepada Tuhan. Seseorang itu tiada mempunyai gerakan sendiri, begitu pula tidak mempunyai kemauan sendiri. Dan seseorang itu adalah seumpama buta, tuli dan bisu. Segala gerakannya itu datang dari Allah."
Ada kitab yang disebut Suluk Sunan Bonang yang berbahasa prosa Jawa Tengah-an, tetapi isinya mengenai hal-hal agama islam. Di mana kalimatnya agak terpengaruh oleh bahasa Arab. Besar kemungkinan kitab ini adalah berisi kumpulan atau himpunan catatan dari pelajaran-pelajaran yang pernah diberikan oleh Sunan Bonang semasa hidupnya kepada murid-muridnya. Di dalam dongeng-dongeng diceritakan, bahwa pada suatu ketika pernah ada seorang pendita hindu yang datang untuk mengajak berdebat dengan sunan bonang, bahkan kemudian pendeta hindu itupun akhirnya bertaubat serta menyatakan dirinya masuk ke dalam agama Islam.
Pada masa hidupnya dikatakan bahwa Sunan Bonang itu pernah belajar ke Pasai. Sekembalinya dari Pasai, Sunan Bonang memasukkan pengaruh Islam ke dalam kalangan bangsawan dari keraton Majapahit, serta mempergunakan Demak sebagai tempat berkumpul bagi para murid-muridnya.
Sunan Bonang perjuangannya diarahkan kepada menanamkan pengaruh ke dalam. Siasat dari Sunan Bonang adalah memberikan didikan Islam kepada Raden Patah putera dari Brawijaya V, dari kerajaan Majapahit, dan menyediakan Demak sebagai tempat untuk mendirikan negara Islam. Adalah tampak bersifat politis dan Sunan Bonang rupanya berhasil cita-citanya mendirikan kerajaan Islam di Demak. Hanya sayang sekali harapan beliau agar supaya Demak dapat menjadi pusat agama Islam untuk selama-selamanya kiranya tidak berhasil.
Post a Comment Blogger Disqus