Penggerak Majelis Taklim di Tanah Betawi
Ia dikenal sebagai penggerak pertama Majelis Taklim di Tanah Betawi. Majelis taklim yang digelar di Kwitang, Jakarta Pusat, merupakan perintis berdirinya majelis taklim-majelis taklim di seluruh tanah air.
Setiap Minggu pagi kawasan Kwitang didatangi oleh puluhan ribu jamaah dari berbagai pelosok, tidak hanya dari Jakarta, saja namun juga dari Depok, Bogor Sukabumi dan lain-lain. Bagi orang Betawi, menyebut Kwitang pasti akan teringat dengan salah satu habib kharismatik Betawi dan sering disebut-sebut sebagai perintis majelis Taklim di Jakarta, tiada lain adalah Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi atau yang kerap disapa dengan panggilan Habib Ali Kwitang.
Jamaahnya makin hari makin bertambah banyak. Begitu pula dengan peringatan Maulid. Jamaah yang hadir setiap tahun bertambah banyak. Bak lautan manusia, mereka memadati setiap ruas jalan yang berada di sekitar kawasan Masjid Kwitang, Jakarta. Mereka seperti tersedot oleh pesona Simthud Durar.
Majelis taklim Habib Ali di Kwitang merupakan majelis taklim pertama di Jakarta. Sebelumnya, boleh dibilang tidak ada orang yang berani membuka majelis taklim. Karena selalu dibayang-bayangi dan dibatasi oleh pemerintah kolonial, Belanda. “Orang-orang Betawi sendiri baru menggelar majelis taklim setelah Habib Ali wafat. Sebelumnya tidak ada yang berani,” kenang K.H. Abdul Rasyid.
Maka, untuk mengenang jasa-jasa Habib Ali, tiga majelis taklim tersebut selalu membuka pengajian dengan membaca Surah Al-Fatihah, untuk dihadiahkan kepada almarhum.
Menurut beberapa habib dan kiai, majelis taklim Habib Ali Kwitang akan bertahan lebih dari satu abad. Karena ajaran Islam yang disuguhkan berlandaskan tauhid, kemurnian iman, solidaritas sosial, dan nilai-nilai keluhuran budi atau akhlakul karimah. Habib Ali, kata mereka, mengajarkan latihan kebersihan jiwa melalui tasawuf. Dia tidak pernah mengajarkan kebencian, hasad, dengki, gibah, ataupun fitnah. Sebaliknya, almarhum mengembangkan tradisi ahlulbait, yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, menghormati hak setiap manusia tanpa membedakan status sosial.
Menurut K.H. Abdul Rasyid, banyak ulama Jakarta yang menjadi murid almarhum. Mereka belajar di Madrasah Unwanul Falah di Kwitang yang didirikan tahun 1920, sebagai madrasah modern pertama bersama Jam’iyyatul Khair. Sementara itu, oleh Habib Abdul Rahman, cucu almarhum, madrasah yang telah ditutup saat revolusi fisik dahulu sudah dibuka kembali. “Tanah yang dulu jadi tempat madrasah yang didirikan kakek saya sudah dibebaskan. Sekarang tinggal membangun kembali,” kata Habib Abdul Rahman.
Dalam dakwahnya selama 80 tahun, Habib Ali selalu menganjurkan agar umat senantiasa berbudi luhur, memegang teguh ukhuwah Islamiah, dan meneladani keluhuran budi Rasulullah SAW. Ia juga menganjurkan kepada kaum ibu untuk menjadi tiang masyarakat dan negara, dengan mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya.
Habib Ali sendiri lahir di Kwitang, di jantung Jakarta Pusat pada 1286 H/1869 M. Dia adalah putra Habib Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi. Ayahandanya, yang kelahiran Semarang, adalah kerabat pelukis terkenal Raden Saleh Bustaman, seorang sayid dari keluarga Bin Yahya. Ketika ia mulai tumbuh remaja, ayahnya yakni Habib Abdurrahman wafat pada 1881, dimakamkan di sebidang tanah di Cikini, belakang Taman Ismail Marzuki – yang kala itu milik Raden Saleh.
Adapun kakeknya, Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi, dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat. Dia menikah di Semarang. Dalam pelayaran kembali ke Pontianak, ia wafat, karena kapalnya karam. Adapun Habib Muhammad Al-Habsyi, kakek buyut Habib Ali Kwitang, datang dari Hadramaut lalu bermukim di Pontianak dan mendirikan Kesultanan Hasyimiah dengan para sultan dari klan Algadri.
Simthud Durar
Dua tahun setelah sang ayah wafat, Habib Ali Kwitang yang saat itu masih berusia 11 tahun, berangkat belajar ke Hadramaut. – sesuai wasiat ayahandanya yang kala itu sudah wafat. Tempat pertama yang dituju adalah rubath Habib Abdurrahman bin Alwi Alaydrus. Di majelis mulia itu ia juga membaca kitab kepada Habib Hsan bin Ahmad Alaydrus, Habib Zen bin Alwi Ba’abud dan Syekh Hasan bin Awadh bin Makhdzam.
Di antara para gurunya yang lain di Hadramaut yaitu Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (penyusun Simthud Durar), Habib Ahmad bin Hasan Alatas (Huraidah), dan Habib Ahmad bin Muhsin Al-Hadar (Bangil). Selama 4 tahun, Habib Ali Kwitang tinggal di sana, lalu pada tahun 1303 H/1886 M ia pulang ke Betawi.
Pulang dari Hadramaut, ia belajar kepada Habib Utsman bin Yahya (mufti Batavia), Habib Husein bin Muhsin Alatas (Kramat, Bogor), Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Umar bin Idrus Alaydrus, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas (Pekalongan), Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor (Bondowoso).
Ketika terjadi perang di Tripoli Barat (Libya), Habib Utsman menyuruh Habib Ali Kwitang untuk berpidato di masjid Jami’ dalam rangka meminta pertolongan pada kaum muslimin agar membantu umat Islam yang menderita di Tripoli. Padahal pada waktu itu, Habib Ali Kwitang belum terbiasa tampil di podium. Tapi, dengan tampil di podium atas suruhan Habib Utsman, sejak saat itu lidahnya fasih dalam memberikan nasehat dan kemudian ia menjadi dai.
Setelah itu, ia pergi ke Kota Pekalongan untuk berkunjung kepada Habib Ahmad bin Abdullah Al-Aththas. Saat itu hari Jum’at, selepas shalat Jum’at, Habib Ahmad menggandeng tangan Habib Ali dan menaikkannya ke mimbar. Habib Ali lalu berkata pada Habib Ahmad, ”Saya tidak bisa berbicara bila antum berada di antara mereka.” Habib Ahmad lalu berkata kepadanya, ”Bicaralah menurut lidah orang lain”(seolah-olah engkau orang lain).
Ia mulai melaksanakan maulid akhir Kamis bulan Rabiul Awwal setelah wafatnya Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi sejak tahun 1338 H/1920 M sampai 1355 H/1937 M di madrasah Jamiat Kheir. Kemudian pada tahun 1356 H/1938 M ia membangun masjid di Kwitang yang dinamakan masjid Ar-Riyadh. Lalu maulid dipindahkan ke masjid tersebut pada tahun 1356 H. Ia mengusahakan pada kawan-kawan dari keluarga Al-Kaf agar mewakafkan tanah masjid itu, sampai ia menulis surat kepada Sayyid Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin agar berangkat ke Hadramaut untuk berbicara dengan mereka. Setelah Sayyid Abubakar bernegosiasi, akhirnya masjid itu diwakafkan, sehingga tanah itu sampai sekarang tercatat sebagai wakaf pada pemerintah Hindia Belanda.
Ukuran tanah masjid itu adalah seribu meter persegi. Habib Ali Habsyi juga membangun madrasah yang dinamakan Unwanul Falah di samping masjid tersebut yang tanahnya sekitar 1500 meter persegi dan membayar sewa tanah sebesar 25 rupiah setiap bulan. Kesimpulannya, pekerjaan-pekerjaan dan perbuatan-perbuatannya mengherankan orang yang mau berfikir. Shalatnya sebagian besar dilakukannya di masjid tersebut.
Habib Ali menunaikan haji 3 kali. Pertama tahun 1311 H/1894 M di masa Syarif Aun, kedua tahun 1343 H/1925 M di masa Syarif Husein, dan ketiga tahun 1354 H/1936 M di masa Ibnu Saud dan pergi ke Madinah 2 kali.
Habib Ali sebagaimana para habaib lainnya juga suka melakukan surat menyurat dengan para ulama dan orang-orang sholeh serta meminta ijazah dari mereka. Dan para ulama yang disuratinya pun dengan senang hati memenuhi permintaan Habib Ali karena kebenaran niat dan kebagusan hatinya. Ia memiliki kumpulan surat menyurat yang dijaga dan dinukilkan (dituliskan ) kembali.
Sayyid Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin dalam Rikhlatu Asfar menyebutkan perasaan kecintaan dan persahabatan yang sangat erat. Dalam catatan perjalanan itu, Sayyid Abubakar mencatat saat-saat perjalanan (rikhlah) mereka berdua ke berbagai daerah seperti ke Jawa, Singapura dan Palembang.”Saya juga menghadiri pelajaran-pelajarannya dan shalat Tarawih di masjid. Tidak ada yang menghadalangi saya kecuali udzur syar’i (halangan yang diperbolehkan oleh syariat).”
Pada salah satu surat Sayyid Abubakar ketika Habib Ali Kwitang di Hadramaut, menyebutkan, “Perasaan rindu saya kepadamu sangat besar. Mudah-mudahan Allah mempertemukan saya dan engkau di tempat yang paling disukai oleh-Nya.”
Ternyata setelah itu, mereka berdua dipertemukan oleh Allah di Makkah Al-Musyarrafah. Keduanya sangat bahagia dan belajar di Mekah, mengurus madrasah dan majelis taklimnya diserahkan kepada menantunya, Habib Husein bin Muhammad Alfaqih Alatas. Di Mekah ia mendapat ijazah untuk menyelenggarakan Maulud Azabi, karya Syekh Umar Al-Azabi, putra Syekh Muhammad bin Muhammad Al-Azabi.
Setelah Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, penyusun Simthud Durar, wafat pada 1913, pembacaan Maulid Simthud Durar pertama kali digelar di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, di majelis taklim yang diasuh Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi. Belakangan Maulid Simthud Durar dibaca di majelis taklim di Tegal, Jawa Tengah, kemudian di Bogor, selama beberapa tahun, lalu di Masjid Ampel, Surabaya.
Tahun 1919, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, pelopor peringatan Maulid dengan membaca Simthud Durar, wafat di Jatiwangi. Sebelum wafat ia berpesan kepada Habib Ali Al-Habsyi agar melanjutkannya. Maka sejak 1920 Habib Ali Kwitang mulai menggelar Maulid dengan membaca Simthud Durar di Tanah Abang. Ketika Ar-Rabithah Al-Alawiyah berdiri, perkumpulan itu mendukung Maulid tersebut. Dan sejak 1937 acara Maulid diselenggarakan di Masjid Kwitang – yang kemudian disiarkan secara khusus oleh RRI Studio Jakarta.
Sebagai pecinta maulid sejati, dalam menghadiri peringatan Maulid SAW, Habib Ali Kwitang juga pernah membeda-bedakan pengundangnya. Tentang hal ini Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf pernah menceritakan dalam sebuah kesempatan. Suatu malam, rumah Habib Ali Kwitang diketuk oleh seseorang yang bermaksud mengundangnya menghadiri selamatan sekaligus maulidan. Istri Habib Ali lah yang membukakan pintu.
Orang tersebut lalu menyampaikan maksudnya untuk mengundang sang habib sepuh itu. Namun istri Habib Ali menggeleng, “Maaf, Habib sedang kurang enak badan. Saat ini beliau sudah akan tidur.”
Dengan tampak memelas orang itu memohon, “Tolong, Bu. Jama’ah sudah terlanjur berdatangan ke tempat saya, sementara ustadz kampung saya yang sedianya akan memimpin acara tersebut berhalangan hadir.
Belum lagi sang wanita tuan rumah itu menjawab, tiba-tiba Habib Ali Kwitang telah berdiri di belakangnya dengan pakaian lengkap. Ulama sepuh itu segera mengajak sang pengundang itu berangkat.
Ternyata rumah pria itu terletak di kawasan kumuh, dekat rel kereta api. Sesampainya di tempat itu, Habib Ali pun langsung memimpin pembacaan maulid dan menyampaikan taushiah. Betapa senangnya sang tuan rumah dan para tamu karena acara sederhana mereka dihadiri seorang ulama ternama yang karismatik.
Kemudian tibalah acara penutup, yakni makan bersama. Hidangan malam itu adalah nasi putih hangat dengan lauk belut goreng. Habib Ali Kwitang pun tertegun. Ia tak suka belut, namun ia tak ingin mengecewakan tuan rumah yang tentu sudah bersusah payah menyiapkan makanan itu.
Maka habib sepuh itu berkata dengan santun, “Wah menunya lezat sekali. Saya jadi teringat istri dan anak-anak saya. Maaf, Pak. Bolehkah makanan saya ini dibungkus dan dibawa pulang, agar saya bisa memakannya bersama keluarga di rumah?”
Tuan rumah yang mengira Habib Ali menyukai belut pun segera membungkuskan nasi dan belut tersebut. Dengan ucapan terima kasih yang tak terhingga ia mengantarkan sang habib. Pagi harinya, matahari belum lagi sepenggalah ketika rumah Habib Ali Kwitang diketuk. Dengan bergegas Habib Ali membukakan pintu. Ternyata yang mengetuk pintu itu adalah sang pengundang Maulid tadi malam.
“Maaf, Bib. Nampaknya Habib sangat menyukai belut. Kebetulan saya pedagang belut. Sebagai tambahan ucapan terima kasih keluarga kami atas kehadiran habib tadi malam, kami memberikan sekedar luk untuk Habib sekeluarga,” kata orang itu sambil menyerahkan seember besar belut segar.
Kembali Habib Ali terbengong-bengong menyaksikan kepolosan tamunya itu. Dengan menampakkan senyum gembira, Habib Ali pun menerima pemberian itu sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali.
Dengan Ulama
Betapa erat hubungan antara ulama Betawi dan para habaib, dapat kita simak dari pernyataan (alm) K.H. M. Syafi’i Hadzami tentang dua gurunya, Habib Ali Al-Habsyi dan Habib Ali Alatas (wafat 1976). “Sampai saat ini, bila lewat Cililitan dan Condet (dekat Masjid Al-Hawi), saya tak lupa membaca surah Al-Fatihah untuk Habib Ali Alatas,” katanya.
Supaya dekat dengan rumah Habib Ali, gurunya yang tinggal di Bungur, Kiai Syaf’i Hadzami pindah dari Kebon Sirih ke Kepu, Tanah Tinggi. Ia juga tak pernah mangkir menghadiri majelis taklim Habib Ali di Kwitang, Jakarta Pusat. Ketika ia minta rekomendasi untuk karyanya, Al-Hujujul Bayyinah, Habib Ali bukan saja memujinya, tapi juga menghadiahkan sebuah Al-Quran, tasbih, dan uang Rp 5.000. Kala itu, nilai uang Rp 5.000 tentu cukup tinggi.
Demikianlah akhlaq para orangtua kita, akhlaq yang begitu indah antara murid dan guru. Kala itu para habib bergaul erat dan tolong-menolong dengan para ulama Betawi. Akhlaq yang sangat patut kita teladani sebagai generasi penerusnya.
Pada 1960, KH Syafi’i Hadzami berhasil menulis sebuah kitab berjudul Al-Hujajul Bayyinah (argumentasi-argumentasi yang jelas). Untuk karyanya ini, ia meminta rekomendasi kepada Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi alias Habib Ali Kwitang. Setelah membaca naskah kitab tersebut, Habib Ali bukan hanya memberikan rekomendasi dalam bahasa Arab, melainkan juga memberikan sebuah Al-Quran, tasbih, dan uang sebesar Rp 5.000 kepadanya – nilai yang cukup besar untuk ukuran saat itu.
Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi wafat 23 Oktober 1968 dalam usia 102 tahun. Ketika itu, TVRI menjadi satu-satunya stasiun televisi yang menyiarkan berita duka cita. Ribuan orang berbondong-bondong melakukan takziah ke kediamannya di Kwitang, Jakarta Pusat, yang sekaligus menjadi majelis taklim tempat ia mengajar.
Sejumlah menteri dan pejabat tinggi negara berdatangan memberikan penghormatan terakhir. Sejumlah murid almarhum dari seluruh Jawa, bahkan seluruh Indonesia dan luar negeri, juga datang bertakziah. Sebelum jenazah di makamkan di Masjid Ar-Riyadh, yang dipimpinnya sejak ia muda, Habib Salim bin Jindan, yang sering berdakwah bersama almarhum, membaiat Habib Muhammad, putra almarhum, sebagai penerusnya. Ia berpesan agar meneruskan perjuangan almarhum dan memegang teguh akidah Alawiyin.
Ada kisah menarik sebelum almarhum wafat. Suatu hari, ia minta tiga orang kiai kondang asal Jakarta maju ke hadapannya. Mereka adalah K.H. Abdullah Syafi'i, K.H. Thahir Rohili, dan K.H. Fathullah Harun. Habib Ali mempersaudarakan mereka dengan putranya, Habib Muhammad. Dalam peristiwa mengharukan yang disaksikan ribuan jemaah itu, Habib Ali berharap, keempat ulama yang dipersaudarakan itu terus mengumandangkan dakwah Islam.
Harapan Habib Ali menjadi kenyataan. Habib Muhammad meneruskan tugas ayahandanya memimpin majelis taklim Kwitang selama 26 tahun. K.H. Abdullah Syafi'i, sejak 1971 hingga 1985, memimpin Majelis Taklim Asy-Syafi'iyah, dan K.H. Thahir Rohili memimpin Majelis Taklim Ath-Thahiriyah. Sedangkan K.H. Fathullah Harun belakangan menjadi ulama terkenal di Malaysia.
Tidak mengherankan jika ketiga majelis taklim tersebut menjadikan kitab An-Nasaih ad-Diniyyah, karya Habib Abdullah Alhadad, seorang sufi dari Hadramaut, penyusun Ratib Hadad, sebagai pegangan. Sebab, kitab itu juga menjadi rujukan Habib Ali Kwitang.
“Meskipun kitab kuning ini telah berusia hampir 300 tahun, masalah-masalah yang diangkat masih relevan,” kata K.H. Abdul Rasyid bin Abdullah Syafi'i, yang meneruskan Majelis Taklim Asy-Syafi'iyah.
Kini Asy-Syafi’iyah memperluas kiprahnya dengan membuka Universitas Asy-yafi’iyah di Jatiwaringin, Jakarta Timur. Sedangkan K.H. Abdul Rasyid A.S. membuka Perguruan Ilmu Al-Quran di Sukabumi. Sementara kakaknya, Hajjah Tuty Alawiyah A.S., yang pernah menjadi menteri urusan peranan wanita pada kabinet Habibie, meneruskan kegiatan dakwahnya dalam Badan Koordinasi Majelis Taklim se-Jabotabek.
Sumber : http://syahiircenter.blogspot.com/p/kisah-ulama.html
Post a Comment Blogger Disqus