Mistikus Cinta

0
Syeikh Ibnu Atha'illah mengatakan:

"Tidak ada ibadah yang lebih bermanfaat bagimu daripada zikir. Sebab, zikir adalah ibadah yang dapat dilakukan orang tua dan orang sakit yang sudah tidak mampu lagi berdiri, rukuk, dan sujud.

Maka, bersihkan cermin hatimu dengan khalwat dan zikir hingga kelak kau berjumpa dengan Allah SWT. Hatimu harus selalu ingat Allah sehingga cahaya menyinarimu. 

Jangan seperti orang yang ingin menggali sumur, kemudian dia menggali di satu tempat sedalam satu jengkal lalu menggali di tempat lain sedalam satu jengkal pula. Jadi, airnya tidak akan pernah keluar. Tetapi, galilah di satu tempat sehingga airnya memancar.

Hai hamba Allah, agamamu adalah modal bagimu. Janganlah engkau menyia-nyiakan modalmu, sibukkan lisanmu dengan berzikir mengingati-Nya, sibukkan hatimu  dengan cinta kepada-Nya, dan sibukkan tubuhmu dengan mentaati-Nya. 

Tanamlah wujudmu di tempat menanam hingga benih muncul dan tumbuh. Siapa yang memperlakukan hatinya sebagaimana petani memperlakukan tanahnya, pasti hatinya bersinar."

| Sumber: Kitab Taj Al-'Arus


Sekilas Tentang Kitab Tajul Arus, Panduan Lengkap Penyucian Jiwa  (Kitab Taj al-Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufuz)

Dalam kesehariannya, setiap orang pasti pernah mengalami saat-saat bercahaya, ketika hati dan jiwanya diliputi iman, kekhusukan, dan perasaan dekat dengan Tuhan. Namun sayangnya, seiring dengan pergaulan dengan sesama manusia dan makhluk lainnya secara perlahan cahaya keimanan dan kedekatan tersebut mulai meredupkan. Akhirnya, embusan-embusan kencang angin keduniawian memadamkan dan menggelapkan hati dan jiwa.

Padahal, semestinya cahaya iman dan kedekatan kepada Tuhan -Allah- senantiasa menyertai manusia dalam seluruh hidupnya. Ia harus mewarnai seluruh perjalanan hidupnya dengan warna yang jelas, warna keimanan yang selalu menyertainya baik saat sadar maupun alpa, ketika berdagang, saat berteman maupun bermusuhan, ketika suka maupun duka, dan baik itu di saat sendiri maupun di keramaian.

Saat ini, diakui ataupun tidak kita hidup di zaman yang mana hakikat agama (islam) diyakini hanya dengan akal, tidak dengan hati. Banyak orang yang mengaku “zuhud beribadah” tapi tidak disertai ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan. Banyak wanita berlomba-lomba dalam urusan dunia. Mereka pandai dan menguasai berbagai urusan, tetapi “bodoh” dalam urusan agama. Banyak para pedagang dikuasai sifat tamak. Mereka hanya memikirkan keuntungan materil saja. Praktek riba merajalela dalam aneka transaksi sehingga orang tak lagi memedulikan bagaimana harta didapatkan, apalagi mengurus masalah zakat.

Maka dari itu, saat ini penyucian hati adalah sebuah kebutuhan, solusi wajib untuk dilakukan. Kita perlu meluangan waktu sejenak setiap hari untuk muhasabah (introspeksi) dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Kita butuh jeda sejenak untuk mengevaluasi diri sehingga kita mengenal di mana kita berada, ke mana perjalanan kita berakhir, serta bagaimana kita menyaikapi perhitungan amal di hari akhir.

Dalam kitab ini Ibnu Athaillah berbicara tentang akhlak dan punyucian jiwa secara rinci dan mendalam. Dalam pembahas taubat misalnya. Ibnu Athaillah merincinya dalam beberapa bagian seperti makna taubat, pilar-pilar taubat, perintah untuk bersegera bertaubat, hingga waktu terbaik untuk bertaubat.

Disamping itu, kitab ini juga menghimpun pesan-pesan penting yang disarikan dari al-Qur’an dan Al-Hadits. Ini bisa dilihat dari selipan-selipan penulis yang mencantumkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadist Nabi dalam lembaran demi lembaran kitab ini.

Kitab yang merupakan kumpulan beberapa pesan dan hikmah seperti yang terhimpun dalam karya Ibnu Athaillah yang paling fenomenal, al- Hikam. Hanya saja, gaya bahasanya lebih mudah dibanding al-Hikam.

Lebih-lebih ketika tema demi tema yang mana dalam al-Hikam yang bertebaran dan belum tersusun secara sistematis disusun rapi dalam kitab ini. pendek kata, beberapa bagian yang membahas tentang tema yang sama, penulis himpun dalam satu bab.

Model pembahasan dalam kitab ini pun cukup menarik untuk dicermati. Yakni mengikuti model pembahasan yang dipergunakan oleh Syekh Muhammad al-Ghazali dalam buku al-Janib al-athifi min al-Islami dan pendekatan Dr Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya al-Hikam al-Atha’iyyah yang mana keduanya menghindari istilah tasawuf karena istilah ini agak sensitif bagi sebagian orang yang lebih mementingkan nama dan simbol ketimbang subtansi.

Nutrisi ruhani yang diusung dalan kitab ini tak cuma padat, tetapi juga sarat kiasan-kiasan sehingga pembaca bisa segera terbangun dari ketidaksadaran tanpa dibayangi rasa bosan. Dengan bahasa renyah nan aplikatif khas pesantren, kitab ini sangat layak dibaca dan dimiliki oleh para ustadz dan guru-guru agama sebagai panduan lengkap penyucian jiwa.

Kitab ini bukan hanya berkeinginan untuk memaparkan cara-cara penyucian jiwa. Kitab ini lebih berkeinginan untuk menciptakan generasi penerus yang tak hanya pintar dalam keduniaan, tetapi juga dalam masalah keagamaan, khususnya akhlak dan moral. Sebagaimana ujar penulis dalam “Pendahuluan” kitab ini.

Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Mistikus Blog dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:




Anda sedang membaca Syeikh Ibnu Atha'illah Tentang Keutamaan Dzikir | Silahkan Like & Follow :
| | LIKE, SHARE, SUBSCRIBE Mistikus Channel
| Kajian Sufi / Tasawuf melalui Ensiklopedia Sufi Nusantara, klik: SUFIPEDIA.Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Instagram | Facebook.

Post a Comment Blogger Disqus

Post a Comment

 
Top